Posts

Showing posts from January, 2012

#FF buncahan --cemburu--

Dini mengerang kesakitan, "Duuuh, makanya hati-hati dong. Main lempar aja!" sahutnya setengah berteriak menahan sakit. Cowok di depannya meringis, "Maaf, Dinooo, gak sengaja." ujarnya memelas. Dini cemberut. Mulutnya mengerucut. "Gak sengaja apaan. Orang gue tau lo sengaja lempar bola sambil mata meleng liat cewek tadi." sungutnya. Ardi -cowok itu- meringis -lagi. "Iya, iya, maaf, Dinooo. Lo mau apa deh, gue beliin?" tanyanya setengah merajuk pada Dini -sahabatnya- yang tengah memasang muka sebal seratus persen. "Buang tuh bola, dodol! Gue yakin deh, kalau ada seribu cewek cantik lewat sini, gue bakalan seribu kali kena bola yang lo lempar!" Dini melotot sedikit menyindir. Ardi tertawa. Tangannya meraih kepala Dini. Mengusap-ngusapnya kasar. Lalu meletakkan di dadanya. Gue bisa mati, Ardi bodoh! Gimana gue bisa bertahan hidup kalau separuh nyawa gue ada di detak jantung yang kian cepat ini? Gimana gue bisa hidup kalau lihat lo sering ng

#FF dalam kilau senja

Duk duk duk! Aku duduk memandang lapangan basket yang ada di depanku seraya tersenyum, tak berkedip. Ada seseorang yang sangat kurindukan di sana. Bermain basket dan berulang kali three point. Upik namanya. Bagaimana mungkin aku bisa melepas pandanganku dari cowok tampan beda usia dua tingkat? Berulang kali usahaku gagal mengusirnya dari pikiranku. Terlalu sulit. Aku mengenalnya sejak aku belum pernah sekalipun melihatnya. Yah, sedikit konyol memang. Aku lebih dahulu mengenal mamanya yang pernah mampir ke rumah barang sebentar untuk menjenguk ayahku yang waktu itu baru saja operasi hernia. Sedikit kutangkap percakapan beliau dengan ibuku mengenai anak-anaknya. Termasuk Upik. Sepertinya tampan. Aku masih saja tersenyum memandang lapangan basket dari tempatku duduk. Banyak kenangan yang seketika menyemburat lepas dari anganku. Kenangan yang kukatakan manis tapi juga menyedihkan. Upik. Aku mengulanginya kembali. Upik. Upik. Upik... abu. Ups! Lagi, dia hadir di depanku kini, tersenyum mem

#FF arti pada secangkir teh

Rama menyodorkan secangkir teh panas pada klien yang bertandang di kantornya. Seorang gadis cantik yang datang dari Jakarta. "Coba kau rasakan teh mutu Internasional ini." ujarnya seraya mempersilakan Puput untuk meminumnya. Segera Puput mengambil cangkir keramik putih dengan logo PTPN XII dan menyeruputnya. "Bagaimana?" Rama tersenyum penuh arti. "Tiada tara." Puput mengulum senyum. Mulutnya masih menuntaskan kecapannya akan teh mutu Internasional. "bagaimana Anda menyebutnya ini adalah mutu Internasional?" tanyanya setelah tuntas mengecap rasa. Rama tersenyum. "Karena ini adalah teh dengan cita rasa paling sempurna yang ada di perkebunan kami." "Hanya itu?" Puput menautkan kedua alis. Rama mengangkat kedua alisnya. "Tentu tidak. Teh ini dibuat dengan proses yang cukup lama. Sehari penuh." "Bagaimana dengan yang lain?" "Sama. Teh dari perkebunan kami kesemuanya diolah selama sehari penuh." Rama m

#FF seandainya

Raisa tersenyum masygul mendengarkan Gilang bercerita dengan nada yang berapi-api. Semangat juang empat lima! “Lo percaya sama cerita gue, kan, Ra?” tanyanya bersemangat. Raisa mengangguk pelan. “Itu artinya lo ngedukung gue, kaaan?” Lagi, Raisa mengangguk. “Yaaah, lo jangan ngangguk aja dong, Ra. Komentar apa gitu misalnya biar gue makin pede.” Gilang menyenggol lengan Raisa tak sabar. “Misalnya?” Raisa membuka mulut, bertanya balik. “Kok lo balik nanya gitu, sih?” “Trus?” Raisa terdiam. Matanya memandang sendu pada kedua bola mata Gilang yang bercahaya. Berbanding terbalik dengan keadaannya. Gilang terdiam. Menyembunyikan semangatnya. “Lo kenapa, Ra?” Raisa menggeleng. Sakit. Gue sakit, Lang. Seandainya lo tahu betapa ngilu dan nyerinya mendengar semua cerita-cerita lo tentang dia. Seandainya lo paham arti tatapan mata gue saat in

#FF Jauh

Jauh. Aku mendesah pelan mengeja sebuah kata yang super pendek namun bermakna panjang. Jauh. Aku mengeja lagi. Kali ini dengan desahan berat cukup panjang. Ternyata sependek dan sesingkat itu pikiranmu. Kenapa bisa? Lalu kenapa aku? Kenapa harus kita? Seandainya kau tahu seberapa paranoidnya aku memikirkan satu kata sialan dan brengsek itu. Terlebih dari bibir mungilmu. "Kita putus." "Kenapa?" "Jauh." "Apa?" "Karena rasanya akan berbeda jika kita berjauhan." "Coba ulangi lagi?" "Iya, karena kita jauh." "Lalu kau mau apa?" "Putuskan aku. Jauh. Kita jauh." Cukup. Kau mengulangnya lagi dan lagi. Sebuah kata yang tak kumengerti maksud dan artinya. Kenapa bisa? Lalu kenapa aku? Kenapa kita? Dengarkan aku, aku sama sekali tak pernah mempermasalahkan jarak kita. Bukankah aku selalu hadir jika kau membutuhkan aku? Bukankah aku rutin menelponmu? Bukankah aku sering mengirim pesan singkat padamu? Bukankah k

#FF siluet pada hujan

Malam tadi hujan. Seperti malam-malam sebelumnya. Aku selalu termangu di balkon kamarku. Dan, balkon kantorku. Sama rasanya. Hening. Senyap. Namun ramai. Aku selalu mencintai hujan. Bau tanah basah. Gemerisiknya. Dan, warna-warni dalam larian kecil anak-anak hujan. Terkadang, aku menaruh sedih terhadap mereka. Beradu nasib demi materi yang tak sebanding. Tapi, sering aku iri pada mereka. Betapapun hidupnya jauh lebih bebas dibandingkan aku. Sekalipun sudah bekerja. Kadang, hidup memang perlu mengalah dengan keadaan. Hujan. Lima huruf yang selalu membuatku seketika termangu dan berpangku pada keadaan. Ada kamu di balik hujan. Ada kita di dalamnya. Ada banyak cerita tentangmu. Tentang kita. Dan, kini harus serta merta kuhapus seiring waktu berotasi meninggalkan kenangan lalu. Aku mencumbui hujan. Seperti aku mencumbui dan melumat habis rasamu. Aku memeluk hujan. Seperti aku merengkuh dan berpagutan denganmu. Aku rindu rasa manis yang tertanam lembut di bibirmu. Seolah aku melumat bulat-b

#FF amplop kusam

Hai Hunny... Surat darimu baru sampai malam tadi. Mungkin kita adalah sepasang kekasih konvensional yang tak tau waktu. Ah, tapi biarlah. Bukankah itu unik, Hunny? Hunny, kurasa kau tau bagaimana senangnya aku menerima surat bersampul coklat sedikit lusuh darimu. Aku yakin kau selalu mengerti bagaimana ekspresiku jika suratmu sampai di tanganku. Aku mengecupnya terus bahkan pernah sampai pagi. Aku masih ingat ketika hal itu aku ceritakan padamu. Kau tertawa tak hentinya. Tawamu renyah. Mata bulatmu menyipit. Aku menyukai itu. Menyukai setiap jengkal hal yang kau lakukan. Aku masih ingat, saat kau tertawa sejenak. Lalu marah. Karena aku melukaimu melalui kataku yang kurasa konyol. Tapi tidak bagimu. Maaf, Hunny, mungkin aku keterlaluan. Aku hanya didera rasa takut kehilanganmu yang berlebihan. Sehingga aku ingin kau terus tertawa di sisiku. Tujuannya satu, membuatmu terus ada dan tak sampai bosan denganku. Hunny, ada apa denganmu? Ada apa dengan cintamu? Mengapa amplop surat cinta kita

#FF senyuman pagi

Selamat pagi, Sayang... Pagi ini aku terbangun dengan senyum merekah, Sayang. Aku tau, kau masih saja mencintaiku, bukan? Dan itu lagi-lagi. Lalu berlanjut lagi. Hingga pagi lagi. Aku juga tau, hal terindah di dunia ini adalah dicintai olehmu. Apalagi? Ah, iya, dicumbui oleh bau khas tubuhmu juga indah. Sangat indah bahkan. Seperti saat itu. Kau merengkuhku erat dalam pelukmu. Menenggelamkan wajahmu pada leherku. Ah, indah. Sayang, aku yakin kau tau, setelah lama kita saling berpagut, lalu kita berayun dalam. Itu adalah masa aku percaya sepenuhnya pada dirimu. Katamu, cinta adalah saling percaya, dan aku percaya denganmu. Percaya dengan segala cerita abstrak kita. Lalu apalagi? Aku terus mencintaimu juga hingga tetes-tetes embun pagi mengering mungkin. Ah, iya, semalam itu indah ya, Sayang? Kita menari saling bercumbu dengan malam di bawah gerimis. Lebih tepatnya di bawah temaram lampu jalan. Kau tau itu sukaku. Dan, kita tenggelam dalam tarian. Bibir kita bertemu, sedikit mencecap. Ak

#FF langit pada langit

langit gelap menyergap serupa asap, sesaat aku terlelap. hei, langit intip aku semenit, lihat aku merayap manja pada jarit memadu kasih sengit. kau tahu, sayang? bayangmu membayang menelusup masuk gamang, tidakkah kau lihat dengan gamblang? langit menangis seperti hatiku terhujam miris, menggodam raga ironis lihat aku merayu tangis. hei, langitku, peluk aku membeku usap peluhku raih ragaku. sadarku, cinta tak hanya diam, seperti langit menghujam bumi menerkam tak ada senyap, hanya kelam. langitku sayang bawa aku terbang melayang tinggi meraih bintang, agar kutahu betapa indah disayang. bruk! aku ambruk, jatuh tertunduk, lesu terduduk. aku tahu langit sayang, kasihmu slalu membayang seperti langit menyergap awan layang. sayang, kau bukan langit biru di ujung perang, kau tak akan pernah sama dengan langit mengarak awan. hingga aku sadar, aku harus beranjak meninggalkan rupamu yang menawan. aku, awan.

FF: Dear Sayang...

dear sayang, entah seberapa sering aku mengeja namamu dalam hariku, entah seberapa sering aku memutar kenangan kita, entah seberapa lama aku diam memandangi rintik hujan kala sore hingga malam menjelma, entah seberapa lama aku duduk menatap lampu jalanan dengan siluet gerimis ditempa, dan entah seberapa sering aku berpikir ada apa dengan kita? dear sayang, seandainya aku mendongeng segala hal di balik apa yang kamu ketahui, apa kamu akan percaya? seandainya aku berceloteh tentang apa yang kuperbuat dan aku lemah karena itu, apa kamu akan percaya? seandainya aku mengeja namamu terus menerus seiring aku mengeja hari-hariku tanpamu, apa kamu akan percaya? seandainya aku berpaling darimu meski sebenarnya aku tak mampu, apa kamu akan percaya? seandainya aku tak menghentikan semburat cerita kita tanpa ego dan memintamu untuk tetap disini, apa kamu akan percaya? dear sayang, terlalu rumit jika aku bercerita tentang hal ini padamu, aku tak lagi bisa lengkap berceloteh, rasa it