#FF bulan kertas
Rama menuntunku pelan berjalan menuju sebuah tempat yang masih rahasia katanya. Aku tersenyum mendengar kalimatnya yang berarakan di telingaku. Pelan dan menggelitik.
"Sampai sejauh mana aku harus berjalan pelan seperti ini, Rama?" tanyaku tak sabar dengan kejutannya. Genggaman tangannya lembut dan erat. Menunutunku dengan sabar dan pasti. Sesaat kemudian, tak sampai lima menit langkahnya terhenti. Begitupun aku.
"Sampai sejauh mana aku harus berjalan pelan seperti ini, Rama?" tanyaku tak sabar dengan kejutannya. Genggaman tangannya lembut dan erat. Menunutunku dengan sabar dan pasti. Sesaat kemudian, tak sampai lima menit langkahnya terhenti. Begitupun aku.
"Coba buka matanya." bisiknya pelan.
Aku membuka mataku dan seketika terperangah dengan apa yang ada di depanku. Sebuah taman dengan dekorasi cantik berhiaskan kerlap-kerlip lampu. Meja kayu di tengah taman dengan dua kursi dan di tengahnya ada wax place. Penuh lilin. Dan, beraromaterapi. Segar.
Aku menyelipkan senyum di balik wajahku yang terkejut. "Apa ini, Rama?" tanyaku setengah tak percaya.
Cowok itu melempar senyum. Lalu mendorong kursi, menyuruhku duduk. Disusul dengan dirinya.
Aku mengikutinya patuh. Wajahku masih penuh tanya. Memandangnya penasaran. Ingin segera mendapat jawaban.
"Ini apa?" ulangku menagih jawaban, tak sabar.
Rama masih tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kotak merah. "Ini." sahutnya seraya menyodorkan kotak merah di depanku yang nyaris membuat jantungku melompat. Lalu membukanya dan berniat memasangkan sebuah jam tangan keperakan pada tangan kananku.
Tanpa disadari aku menarik tanganku dan menyimpannya dalam pangkuan, "Eng..."
Rama tersenyum dan mengangguk maklum, "I love you for the very first time I saw you." ujarnya kemudian, pelan nyaris tak terdengar. Kemudian tangannya meraih gelas berisi anggur merah, mengangkatnya, mengajakku bersulang tanpa menghiraukan kalimat gamangku.
Aku mengerjap-ngerjap meminta penjelasan. Tak menggubris ajakan bersulangnya. "Ada apa dengan ini semua, Rama? Beri aku penjelasan, tolong." pintaku tak mengerti.
Rama menghela napas. Gelas ia turunkan. Garis senyumnya perlahan pudar. Matanya serius menatapku kali ini. Lalu berdehem. "Maaf, aku terlambat, Bi. Aku terlambat menjemputmu. Aku pikir dengan meninggalkanmu sendiri, tanpa suatu kabar apapun dariku akan memberikanmu pengertian bahwa aku pergi untuk kita. Untuk cinta kita. Demi masa depan kita. Aku pikir kamu tahu itu, Bi." Rama tertunduk. Tangannya mencengkeram gelas erat-erat.
"Apa?" aku menutup mulutku yang terbuka lebar tak percaya. Tak pernah tahu alasan klise semacam itu. Bahkan kalimat perpisahan lima tahun lalu pun dia tak pernah mengucapkan. Kalimat perpisahan yang mungkin akan mengubah jalan ceritaku. Lalu, mengapa harus malam ini? Malam yang seharusnya memingitku untuk tidak pergi dengan siapapun.
"Rama..." aku merasakan pipiku memanas, ingin rasanya aku membaur dalam peluknya, menangis dalam dekapannya. Tapi enggan. Sebuah cincin berukiran namaku dan tunanganku menahanku. Menahanku untuk tidak bergerak mendekat padanya. Seseorang yang selalu ada di setiap menitku. Dulu.
Comments