#FF silly-pity
Aku menyemprotkan beberapa kali spray ke bajuku. Aku tersenyum menantikan sebuah pertemuan yang kunantikan. Setiap sore. Pukul lima sepulang mengaji. Rutin. Tak pernah tidak.
Aku mengenalnya awal Minggu lalu. Saat ia bertandang di tempatku berada kini. Kami tersenyum. Saling melempar senyum. Dan, bertatap mata. Seolah saling mengirimkan impuls-impuls untuk menjadi satu kesatuan diri.
Pertemuan sore ini dia tak banyak berubah. Masih tampan dengan penutup kepala khas. Tingkahnya jenaka berbalut senyum manis yang selalu disunggingkan padaku. Kami tersenyum. Lagi-lagi tersenyum beriringan. Duduk berdua dengan banyak pasang sorot mata memandang iri. Aku menikmatinya. Dia juga, tampaknya. Setidaknya itu yang kutangkap dari ujung matanya.
Kami tersenyum. Hanya saling melempar senyum. Membuat ribuan pasang mata menatap gemas dan iri.
Percakapan sore ini tak banyak berbeda dengan sore-sore sebelumnya. Dia tertawa. Kami tertawa. Percakapan yang renyah didendangkan. Selalu. Setiap sore.
Kurasa aku tidak sedang jatuh cinta. Begitupun dia. Kami hanya saling melempar senyum. Lalu masuk pada dunia berikutnya dan selanjutnya. Hanya karena saling melempar senyum. Ribuan pasang mata menatapku gemas dan iri.
Aku tertawa. Kami tertawa. Kami sama-sama menertawakan mereka. Bodoh ya? Sebegitu mudahnya mereka tertipu dengan sandiwara kami. Selalu. Setiap sore kami selalu saling melempar senyum dan tertawa. Apalagi kalau tidak untuk menertawakan mereka? Menertawakan mereka yang rela mengikuti alur sandiwara kami. Sandiwara antara ustadz dan murid.
Aku mengenalnya awal Minggu lalu. Saat ia bertandang di tempatku berada kini. Kami tersenyum. Saling melempar senyum. Dan, bertatap mata. Seolah saling mengirimkan impuls-impuls untuk menjadi satu kesatuan diri.
Pertemuan sore ini dia tak banyak berubah. Masih tampan dengan penutup kepala khas. Tingkahnya jenaka berbalut senyum manis yang selalu disunggingkan padaku. Kami tersenyum. Lagi-lagi tersenyum beriringan. Duduk berdua dengan banyak pasang sorot mata memandang iri. Aku menikmatinya. Dia juga, tampaknya. Setidaknya itu yang kutangkap dari ujung matanya.
Kami tersenyum. Hanya saling melempar senyum. Membuat ribuan pasang mata menatap gemas dan iri.
Percakapan sore ini tak banyak berbeda dengan sore-sore sebelumnya. Dia tertawa. Kami tertawa. Percakapan yang renyah didendangkan. Selalu. Setiap sore.
Kurasa aku tidak sedang jatuh cinta. Begitupun dia. Kami hanya saling melempar senyum. Lalu masuk pada dunia berikutnya dan selanjutnya. Hanya karena saling melempar senyum. Ribuan pasang mata menatapku gemas dan iri.
Aku tertawa. Kami tertawa. Kami sama-sama menertawakan mereka. Bodoh ya? Sebegitu mudahnya mereka tertipu dengan sandiwara kami. Selalu. Setiap sore kami selalu saling melempar senyum dan tertawa. Apalagi kalau tidak untuk menertawakan mereka? Menertawakan mereka yang rela mengikuti alur sandiwara kami. Sandiwara antara ustadz dan murid.
Comments