#FF you'd better choose me

Kekasihmu tak mencintai dirimu sepenuhnya
dia selalu meninggalkan dirimu sendiri

Aku mengatupkan bibirku rapat. Seksama mendengarkan cerita Reza yang mengalir lesu dari mulutnya. Hembusan napasnya berat dan tak teratur. Miris.

"Jadi gimana kelanjutannya?" tanyaku hati-hati. Mataku menatapnya takut-takut. Takut pertanyaanku makin mengganggu pikirannya.

Reza menarik napas pelan, terdengar tak mampu menghirup napas.

Sesakit itu hatimu, Za?

Wajahnya yang muram ditunjukkan padaku. Kepalanya menggeleng pelan. "Menurutmu harus gimana?" tanyanya balik.

Aku mengerjap. Eh? Kok nanya aku sih?

Lalu berdehem. "Kamu sayang dia?" tanyaku memancing jawaban yang sudah bisa dipastikan makin membuat nyeri ulu hatiku.

Satu. Dua. Tiga. Reza mengangguk mantap. Tuh kan benar! "Banget malah, Ra. Bukannya kamu tau itu?" tanyanya makin dalam menusuk relung.

Mengapa kau mempertahankan cinta pedih menyakitkan
Kau masih saja membutuhkan dia, membutuhkan dia

Aku memutar-mutar bola mataku, kebiasaan jika sedang gugup luar biasa. Gugup dengan apa yang akan terlontar dari mulutku. "Aku gak tau itu, Za." jawabku berbohong. Tentu saja aku tau itu! Sangat tau bahkan. Tapi, apa bisa aku setega itu dengan perasaanku sendiri?

Reza tampak terkejut dengan jawabanku. Kepalanya diputar ke samping hingga dapat melihatku dengan jelas. Alisnya dinaikkan beberapa inch. "Bagaimana bisa? Bukankah kau tau semua ceritaku dan Tiwi?" tanyanya tak percaya.

Itu karena... Aku menelan ludahku dengan berat. Semacam ada ganjalan luar biasa menyakitkan untuk mengakuinya. "Aku lupa. Maaf." sahutku akhirnya setelah mencoba menguasai diri.
Aku tau itu tidak akan mengakhiri semua tanya yang ada dalam pikiranku. Semua tanya yang tak terjawab olehmu, Za.

Reza menatapku heran, lalu mengangguk maklum. "Oh, maaf. Mungkin terlalu seringnya aku bercerita tentang aku dan Tiwi membuatmu lupa segala detail ceritanya." ujarnya mengambil kesimpulannya sendiri.

Gak begitu, Za. Aku hapal betul semua cerita tentangmu dan Tiwi. Tapi terlalu sakit kalau aku mengatakannya.

"Maaf, Za." kataku setengah berbisik.

Reza mengangguk. "No problemo. Aku hanya masih gak terima aja diputusin hanya karena jarak. Bayangin deh, Ra, hanya karena jarak. JARAK!!" Reza berteriak mengucap kata jarak. Ada emosi terselip di dalam kalimatnya. Aku tau itu.

Aku menyentuh pundaknya, menenangkan. "Dinginkan kepalamu, Za." sahutku seraya melempar senyum. Senyum pahit berbalut ketenangan. Mungkin aku bisa menjadi pecundang sejati untuk masalah hati saat ini, "ada sebagian orang yang tak bisa bertahan dengan jarak, Za. Kamu harus tau itu. Dan, paham akan hal itu. Salah satunya adalah Tiwi. Dia kalah dengan komitmen yang sudah kalian bangun sejak awal. Dia kalah oleh jarak." aku menerangkan Reza akan teoriku. Teori. "dan kamu, berbanggalah pada dirimu sendiri. Kamu mampu menjaga komitmen itu. Sendiri. Bukankah itu artinya predikat setia layak disematkan atasmu?" tanyaku menenangkan hatinya. Dan, hatiku tentunya.

Reza menatapku lama. Lamat-lamat dan lama. Seolah meneropong apa yang ada di balik bola mata hitamku. Kebohongan. Kebohongan akan suatu ketenangan.

"Kenapa?"

"Thanks for being my best friend I ever had!" ucapnya seraya tersenyum tulus. Tulus tanpa beban.

Aku mengangguk. Lemah. Dan, tersenyum pahit.

Kau harusnya memilih aku
Yang lebih mampu menyayangimu, berada di sampingmu

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan