#opini Menulis Itu...




... terapi jiwa.
Seringkali kita mendengar bahwa dengan menulis kita bisa menumpahkan segala unek-unek yang ada di kepala. Yep, itu benar sekali. Tapi, tahukah kalian bahwa ada sebagian dari unek-unek itu yang kadang susah sekali kita tumpahkan dalam bentuk tulisan? Sama seperti sebuah kisah yang gak semuanya bisa kita umbar ke banyak orang. Acap kalinya kita berpikir berulang kali untuk menyaring kalimat-kalimat yang tak selayaknya kita ucapkan. Sama persis dengan sebuah tulisan.

Berbicara tentang tulis menulis, bagi saya menulis adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Bayangkan saja, menulis jawaban ujian jika tidak dengan konsentrasi yang tinggi apa jadinya? *ya iyalah :p*
Yep, pernah saya mencoba menulis di tengah keramaian, hasilnya memang ada, tapi terpecah-belah meskipun sudah berusaha untuk memusatkan pikiran pada satu titik. Betul, masing-masing orang berbeda-beda bagaimana dirinya memusatkan pikiran pada satu titik, tapi buat saya, keramaian adalah perusak konsentrasi nomer dua di dunia setelah perintah bos *ketahuan di kantor sering curi-curi waktu nulis :))*

Masih berbicara mengenai tulis menulis, selain menulis adalah sebagai pekerjaan yang membutuhkan tingkat konsentrasi tinggi, bagi saya, menulis adalah kebutuhan. Yep, saya menyebutnya kewajiban. Bukan sesumbar, tapi saya memang mewajibkan diri saya sendiri untuk menulis setiap hari. Selain menambah kosa kata setiap harinya, juga melatih bagaimana saya berbahasa dengan orang lain, dan melatih kepiawaian diri dalam merangkai kata *yang terakhir kok jadi semacam pujangga ya? :p*

Mewajibkan diri dalam menulis setiap hari, meskipun hanya satu kalimat, terbukti melatih saya untuk terus mengeksplorasi apa-apa saja yang ada dalam diri saya. Adalah otodidak yang pada akhirnya mengantarkan saya untuk menerbitkan sebuah buku antologi yang berjudul Lollypop Love dan mendapatkan banyak komentar, baik berupa pujian, saran, maupun cercaan.

Sebenarnya, apa sih tujuan saya menulis?

Jelas, saya ingin mengeksplorasi buah dari hayalan-hayalan saya setiap harinya. Saya tidak ingin membiarkannya menguap begitu saja. Saya ingin hayalan saya terbingkai indah pada satu wadah bernama buku.

Bagaimana dengan materi?

Jujur, pikiran awal saya adalah berorientasi pada materi. Tapi, setelah saya mengenal kata lebih jauh dan dalam, pikiran yang berorientasi pada materi itu seketika musnah. Yang saya tahu, mempunyai sebuah karya, terlebih itu buku, kepuasannya jauh menandingi apapun di dunia ini *so far sih :p* termasuk keinginan untuk mempunyai pacar atau menikah dalam waktu dekat :). Yep, beberapa orang mengatakan itu mustahil dan hanya menyenangkan diri sendiri, tapi, coba rasakan, kepuasan itu ada di dasar hati.

Lalu, pujian, saran, dan cercaan?

Beberapa jam yang lalu saya mendapatkan twit dari seseorang yang mengatakan bahwa buku saya tak lebih dari sekedar sampah dan layak untuk dibakar. Sedangkan partner saya adalah hasil dari saya yang salah pilihan. Dan, dia juga mengatakan bahwa saya adalah orang yang sok. Jelas, seketika meruntuhkan mood saya di pagi hari. Bayangkan, jam 5 pagi saya membaca kalimat tersebut. Mau marah iya, mau nangis iya, tapi buat apa?
Saya ingat ada pepatah:

Karena nila setitik rusak susu sebelanga
Saya mencoba meredamkan diri, menghibur diri. Wajar jika pada satu hal ada seseorang yang tidak menyukai hal tersebut. Tidak pernah ada di dunia ini semua orang atau semua sample yang menyatakan menyukai atau setuju pada satu hal, pasti terdapat beda. Sesuai selera.
Jujur, kalimatnya pedas, tapi saya bersyukur mendapat kalimat itu. Karena kalimat tersebut merupakan kalimat cambukan bagi saya agar bisa terus berkarya tanpa henti. Nanti, saya ingin buktikan kepadanya bahwa buku saya tidak selayaknya mendapat julukan sampah. Nanti, jika masa itu tiba. Terima kasih :)

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan