#FF tentang logika dan perasaan
“Berapa kali kau
jatuh cinta?”
Aku menatapnya
sekilas, lalu kembali serius menatap es jeruk yang tengah kuaduk-aduk dengan
sedotan berleher angsa.
“Nay?”
“Hm?” aku
menggumam pendek, malas menjawab.
“Boleh kutebak?
ehm…”
“Dua.” aku
menyela, mengacungkan kedua jari tengah dan telunjukku di depannya. Persis di
depan wajahnya. Lucu sekali ekspresinya, kaget melihat jariku tiba-tiba
mengacung. Aku tertawa kecil.
“Kenapa
memangnya?”
Dia mendengus,
“Aku nggak percaya.”
“Baguslah. Kalau
kau percaya jadi musyrik ntar.” aku terkekeh, dia mendelik sebal.
Sekali lagi,
tatapannya menyelidik, “Berapa?”
Persis orang
depresi yang tengah diinterogasi, aku menghela napas panjang pendek, ikut
sebal. Eh, bukankah yang sebal seharusnya aku ya?
“Mau apa emang?”
tanyaku balik setelah menyesap sedikit es jerukku yang tinggal separuh. Lihat
saja, tak sampai sepuluh menit aku pasti memesan es jeruk gelas ketiga.
Kelewatan memang rasa cintaku pada es jeruk ini.
Dia menyunggingkan
senyum, “Siapa saja mereka?”
Lah? pertanyaan
sebelumnya aja aku belum jawab, ini udah ngasih pertanyaan selanjutnya aja, Rama
dudul!
Aku menyebutkan nama,
dia mengangguk-angguk kagok. Ada rasa penasaran teramat sangat di wajahnya.
Lucu aku melihatnya. Selalu menarik melihat mimik penasaran sahabat laki-lakiku
ini.
“Kenapa? Nggak
percaya lagi?” aku memotong sedikit kubuat ketus nadanya, padahal dalam hati
tertawa geli.
Rama, sahabat
laki-laki yang kupelihara dari kecil, menggaruk-garuk tak gatal kepalanya.
Wajar, dia bingung. Dua orang yang kusebutkan tadi tak ada satupun nama mantan
pacarku yang kuputuskan setahun lalu.
“Itu…”
“Iya, Radit nggak
ada.”
Masih
menggaruk-garukkan tangan, Rama memasang tampang bloon, tampak bingung,
“Maksudnya?”
Aku tersenyum
lebar, mengangguk-anggukkan kepala pasti. Tanganku kuangkat sebelah, memanggil
pramuniaga toko, apalagi kalau tidak untuk es jeruk?
“Kau tahu rasa
yang pura-pura, Ram?” aku melempar tanya pada Rama yang tampak terkejut dengan
pertanyaanku.
Dia berpikir
—tampak berpikir. Lalu menggeleng. Sudah kuduga.
“Aku pura-pura
sayang sama Radit. Nggak cuman sayang, tapi semuanya.” aku tertawa kecil. Satu,
melihat Rama yang melongo mendengar pernyataanku. Dua, melihat pramuniaga yang
datang membawa dua gelas es jeruk untukku.
“How come?” Rama
mendesis tak percaya. Semakin tak percaya saat melihatku mengedikkan bahu,
terkekeh seraya mengibaskan tangan.
“Pelarian
barangkali. Kejam banget ya aku?” aku masih terkekeh, tak melihat raut wajah Rama
yang berubah pucat, entahlah apa maknanya.
“Ram, cinta itu nggak
bisa dipaksa. Dan, itu kejadian. Aku nggak bisa cinta sama Radit meski udah
delapan bulan jalan. Lagipula, saat itu Radit datang karena aku kesepian tanpa
teman. Kau yang pindah tempat kuliah, kakakku yang juga begitu. Terus aku sama
siapa? Radit itu pelarianku. Dia yang selalu ada kapanpun. Dan, itu
menguntungkanku.”
“Kata orang, cinta
datang karena terbiasa ya? Kata orang yang mana tuh? Kok aku enggak?” aku
menagih jawab pada Rama yang hanya diam.
“Ya jelas aku
enggak, Ram. Kan separuh hatiku ada di Beni. Tujuh tahun tanpa balas dan aku
masih menunggunya.” sebersit kenangan itu menyemburat lepas, berlarian di
benakku, ingin kutangkap satu persatu, namun tak kuasa.
“Kadang, cinta tak
butuh logika, Ram. Di saat Radit cinta setengah mati dan berjanji mencintai
sampai mati padaku, aku malah mengabaikan, memilih yang tak kunjung berbalas.
Tapi kau mau apa? Berulang kali kau bilang lupakan Beni, tapi aku nggak bisa,
kau masih mau memaksa?” lagi-lagi aku melempar tanya pada Rama yang hanya
mendengarkan penjelasanku. Lalu menggeleng. Selalu begitu.
“Aku, sepenuh
hatiku, sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mencintai Beni sepanjang
hidup, Ram. Sama seperti yang dilakukan Radit, bukan? Kami sama kok sebenarnya.
Sama-sama bodoh.”
Helaan napas
panjang Rama memecah sunyi di antara kalimatku. “Cinta bukan seperti itu, Nay.”
akhirnya ia berkomentar setelah aku memutuskan untuk berhenti berceloteh. Terlebih
lagi, sepertinya lidahnya gatal jika tidak menanggapi ocehanku barusan.
“Adanya logika
pada cinta itu yang membantumu untuk kembali menjejaki tanah setelah kau
terlampau jauh bermain-main dengan perasaan. Kau tahu jika keduanya saling
bersisian?” Rama melempar tanya, matanya menatapku tajam, ekspresinya serius.
Sungguh baru sekarang kulihat wajahnya seserius ini.
Seperti enggan
meluncur dari kerongkongan, segera kusesap es jerukku, menenangkan gelagat karena
kalimatku disangkal ditambah lagi dengan tatapan matanya yang sukses membuatku
salting.
“Nay, percayalah,
apa yang kau lakukan itu tidak lebih dari sekedar bodoh. Kau terlalu
mengedepankan perasaan, hingga membuat logikamu lumpuh. Dan, itu bukan cinta
yang sebenarnya. Tapi nafsu.”
Glek! es batu mungil-mungil
berhasil terjun bebas melewati kerongkongan, barusan apa katanya? aku bodoh?
logikaku lumpuh? kurang asem sekali Rama.
Rama melempar senyum
tulus yang kurasa hanya kreasinya untuk mengerem kalimat-kalimat yang akan diucapkan
berikutnya. Aku melongo, menatapnya tak kalah serius.
“Bagaimanapun, dalam suatu hubungan, perasaan
dan logika itu diperlukan, Nayla. Itu sudah diatur Tuhan. Logika sebagai
pembeda dengan makhluk lain agar kita bisa berpikir jernih dan maju, sedangkan
perasaan sebagai bentuk bahwa kita diciptakan dengan hati. Tuhan memberikan kasih sayang setiap Ia hendak menciptakan
suatu makhluk, terlebih itu manusia. Menyelipkannya pada hati masing-masing
lalu kita menyebutnya hati nurani atau perasaan.”
Benar kan,
kalimatnya panjang. Rama yang kukenal memang seperti ini. Jika ia serius
mendengarkan ocehanku tanpa komentar bukan berarti ia tidak mau berkomentar,
tapi ia tengah mencermati kalimat perkalimatku, lalu membalasnya dengan kalimat
yang lebih panjang.
Rama meraih
gelasku, menyesap pelan. “Haus, Nay.” ucapnya kemudian seraya tersenyum.
Aku tertawa kecil.
Siapa yang tak tahu, ngomong panjang lebar tak membuat haus? Tapi, jika Rama
yang tengah haus di tengah ceramahnya, itu artinya aku harus siap telinga dan
bergelas-gelas jus jeruk untuk kemudian melanjutkan mendengar celotehannya. Biasa
ini sih, sampai kebal rasanya.
“Contoh nyata nih,
Nay. Kau yang tujuh tahun menunggu Beni tanpa balas dan bahkan dia sekarang
menjadi calon bapak, apa itu berguna? Enggak kan?”
Kerucut di mulutku
nyata sekali, aku sebal dibuat contoh nyata begini.
“Mau contoh lagi?
Kau yang biasa berjam-jam menghabiskan waktu di depan computer hanya untuk
bermain di sosmed, apa itu berguna?”
Cepat kujawab
pertanyaan yang jelas sekali menyindir keseharianku yang lebih dari delapan jam
di depan computer hanya untuk bermain-main di sosmed. “Berguna!! Aku…”
Rama mengacungkan
tangannya, tanda kalimatnya tak mau disela. “Sebentar sih, jangan nyela dulu.”
Errr… Gatal hatiku
pengen menggaruk wajahnya yang kini memasang tampang innocent.
“Maksudku, boleh
aja kamu berjam-jam main di depan computer buat cari temen dan ikut banyak
komunitas, tapi ada yang lebih penting dari itu. Kau suka menulis, kan? Kenapa
nggak menulis saja?”
“Aku nulis kok,
ngeblog!” aku protes, bersungut-sungut.
Dia melotot. “Dibilang
sebentar sih, masih nyela aja.”
“Abisnya kau…”
“Sebentar.”
Asem! aku
mengerucut-lemaskan mulut, sewot sekali.
Rama tampak
berpikir-pikir sebelum melanjutkan kalimatnya yang kupotong beberapa kali. Kutebak,
dia lupa sampai dimana celotehannya. Diam-diam aku terkikik, nyukurin.
Decakan gemasnya
terdengar, artinya dia benar-benar lupa dimana kalimatnya terputus. Aku tertawa
akhirnya, nggak jadi sewot.
“Kebanyakan disela
sih.” sungutnya bête.
Aku masih tertawa,
meraih gelas lalu menandaskan isinya. “Udah, ceramah mulu sih, telinga panas
begini.” sahutku seraya mengibaskan tangan.
“Ya, pokoknya,
kamu mikirlah pakai logika. Jangan kebanyakan main perasaan, nggak baik.” Rama
nggak mau kalah rupanya, dia mengambil inti kalimatnya langsung.
“Bawel ya.” aku
menjulurkan lidah, mengejek.
Kau tahu, apa yang
dia lakukan setiap kalah debat kecil seperti ini? Dia mengusap-ngusap kepalaku
hingga rambutku berantakan. Sama seperti sekarang, aku hanya tertawa-tawa dari
seberang meja, menikmati gelitikan tangannya di rambutku.
“Andre gimana, Nay?”
tanyanya kemudian setelah menghentikan gelitikannya.
“Oh itu. Iya, dia
juga masih ada di separuh hatiku, berdampingan dengan Beni, tapi rasanya tak
sebesar pada Beni.” aku menjawab santai dibarengi nyengir. Sementara Rama,
hanya menggelengkan kepalanya.
“Lalu, bagaimana dengan laki-laki yang sering mengajakmu jalan?” susah payah Rama bertanya, kulihat.
Matanya sedikit meredup.
“Oh itu. Hanya
selingan, Ram. Biasa.” aku tertawa kecil, —lagi. Membuatnya semakin tergeleng-geleng.
Ah, cinta,
selogis-logisnya katamu, kadang kau masih butuh hati dan perasaan untuk
berpikir lebih. Tak usah menyangkal lebih jauh kau logis dalam hal yang rumit
kata orang, —cinta. Karena pada dasarnya, logika dan perasaan itu bersisian.
Hanya saja kau sering kali mengingkarinya. Menunjukkan kelebihanmu,
mengesampingkan perasaan. Begitu sebaliknya. Padahal, makhluk tak berakalpun mengenal arti
pentingnya perasaan. Lalu, mengapa kau yang berakal mengingkarinya?
Comments
menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !