#2
Farah tengah duduk di
meja belajarnya dengan laptop yang menampilkan laman blognya, tempat dia
memajang apa saja yang menjadi fokus usahanya. Di blog tersebut, banyak
ditunjukkan hasil kreasi kue kering dan cup
cake yang pernah dibuat, kreasi kain flannel
yang baru beberapa gelintir hasilnya, juga kreasi pernak-pernik yang tidak
sepenuhnya merupakan hasil buatannya. Biasanya, dia mengambil beberapa barang
dari Pasar Grosir Surabaya, lalu dijual kembali dengan harga yang relative
murah tapi tetap menguntungkan. Tapi, jika tengah longgar, tak jarang dia ikut
merancang jalinan pernak-pernik untuk dibuat hiasan jilbab.
Tak hanya sibuk
merancang template baru untuk
blognya, sesekali dia juga membuka laman sosial media, sekadar posting, komen,
lalu tertawa-tawa. Bisa ditebak, bahwa sebagai wirausaha meski masih
menghasilkan untung minim, Farah sangat menikmati hidupnya. Bukan berarti
karena dia masih mendapatkan jatah bulanan atau santunan dari orang tuanya,
tapi sepanjang hari yang membuatnya senang dan bahagia adalah adanya dukungan
dari orang-orang terdekat –meski kadang ibunya ikut menciutkan nyali– atas apa
yang dia kerjakan sampai saat ini. Terlebih untuk Book a Book.
Oh, iya, selain sibuk
dengan usaha kecil-kecilannya, Farah juga membuka bimbingan belajar bagi anak
TK dan SD di perpustakaannya saat malam tiba. Biasanya, dia mengajar seminggu
tiga kali, yakni setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Bukan tanpa alasan mengapa
dia melakukan hal itu. Sederhana saja, dia hanya ingin meluangkan waktu dengan
melakukan hal yang berguna semasa hidupnya. Persis dengan apa yang dilakukan
Eko, inspirator yang membuat hatinya tergerak untuk membuka perpustakaan tak
bebayar.
KedekatanFarah pada
anak-anak ini memang sangat menguntungkan. Terlebih bagi Sabrina yang menjadi
selalu merasa mempunyai banyak teman di manapun dia berada. Loyalitas Farah
terhadap dunia anak-anak terbentuk sejak menunggu kehadiran Sabrina, lalu
diaplikasikan saat dia sekolah, dan kembali didalami saat mempunyai
perpustakaan sendiri. dia mencintai anak-anak, buku, juga apa saja yang
berbentuk keindahan. Termasuk… laki-laki.
Farah menghentikan
gerakan menggeser telunjuk di atas track
pad saat mendengar ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk datang dari
ibunya yang mengatakan bahwa belau membutuhkan kiriman pulsa yang biasa dibeli
pada anaknya sendiri. Hitung-hitung pelaris, begitu kata ibunya selalu.
Tak sampai sepuluh detik
Farah membaca sms dari ibunya, dia membalasnya dengan memasukkan deretan angka
bercampur huruf di menu sms, melayani pesanan ibunya. Lalu menyusul sms pribadi
yang akan membuat ibunya tersenyum gemas ingin mencubit pipi sulungnya.
Pulsa sudah dikirim, kanjeng
putri.
Sambil tertawa kecil
Farah meletakkan ponselnya kembali di sisi laptop. Dia selalu senang jika bisa
menggoda ibunya hingga membuat ibunya bergegas memberikan pelototan tajam bonus
cubitan gemas di pipinya.
Baru saja Farah
meletakkan ponselnya dan beralih serius pada layar laptop, ponselnya kembali
bordering, kali ini sebuah telepon masuk dari nomor tak dikenal. Tanpa pikir
panjang, Farah pun langsung mengangkatnya, berharap dari pelanggan online shop yang akan memesan produknya.
Suara di seberang
terdengar renyah saat Farah menekan tombol hijau, lalu menyapa dengan sapaan
formal tapi santai seperti halo selamat
malam. Saking renyahnya, Farah bahkan langsung mengulum senyum saat
mendengarnya.
“Kita belum sempat
bertukar nomor telepon, Farah,” suara itu milik Randy, laki-laki yang mengajak
Farah makan siang sesaat setelah berkunjung ke perpustakaan yang dikelola.
Di sisi lini kabel yang
tidak Randy tahu bagaimana raut wajah si penerima telepon, Farah menyunggingkan
senyum dengan sebelah tangan menggaruk-garuk tengkuknya, tersenyum grogi
bercampur malu-malu.
“Tapi, aku menyimpan
kartu namamu,” Randy berdeham, suaranya agak aneh karena menyambi dengan
melempar senyum.
Farah mengangguk kecil
yang pasti gerakannya tidak bisa dilihat oleh lawan bicaranya. “Baguslah kalau
begitu. Sekali datang dapat banyak informasi. Mulai dari nama lengkap, alamat
rumah, juga nomor telepon,” ujarnya simpul. “Hanya saja ada satu yang belum
kamu ketahui,” sambil menahan tawa, dia menggantungkan kalimatnya.
“Apa?”
Sebelah tangan Farah
menutup mulut, menahan tawa sebisa mungkin sebelum menjawab. Lalu, ketika
tawanya mulai mereda, dia buru-buru memberikan jawaban. “Alamat menuju hatiku.”
Sekali jawab, lelaki
itu ikut tertawa mengimbangi tawa Farah yang lepas kendali.
“Semoga Sabrina nggak
kayak kamu,” Randy menyelipkan kalimat yang seketika membuat Farah mengerem
tawa berganti menjadi sahutan wooo
panjang, tidak terima dengan pernyataan Randy.
***
Comments