Abstraksi
Pagi ini aku bertemu dengannya, kekasih yang telah kupacari sejak satu tahun lalu. Sebagai kekasihku, dia teramat sangat perhatian. Setiap saat datang menjemputku, mengajakku makan, dan bersenang-senang. Meski usia pacaran kami baru berumur satu tahun, hubungan kami keren sekali. Bahkan, sekitarku yang melihat saat kami tengah berpacaran pun sering berbisik-bisik dengan pandangan... Ehm, iri.
Aku bersyukur sekali kau tahu? Memiliki pacar yang begitu perhatian hingga membuat banyak orang iri. Apalagi saat aku tengah tersenyum-senyum dengan pandangan penuh cinta pada pacarku. Mereka, orang-orang yang melihatku-kami, pasti langsung berbisik-bisik, melempar pandangan iri, dan... Sst apalagi? Tindakan iri juga mereka lakukan. Salah satunya adalah seperti saat ini.
Orang-orang itu memandangku, saling berbisik, lalu terakhir kudengar mereka bahkan menghinaku. Rasanya, saat aku mendengarnya, ingin kutampar wajah mereka satu persatu. Tapi kata pacarku sebaiknya jangan. Karena mereka hanya iri dengan romantisme kami.
Yang kuingat--paling kuingat, ada satu kalimat hinaan atau iri yang ditujukan padaku--kami. Kalimat itu dilontarkan oleh seorang bapak-bapak berpakaian hijau berkacamata. Dia datang bersama dua orang lainnya. Satu kukenali, satu lagi aku tak tahu. Saat itu, bapak-bapak itu berkata. "Tingkat gangguannya cukup kronis. Tapi, jika tidak sampai melukai dirinya sendiri dan mengasingkan diri, maka belum cukup mengkhawatirkan sehingga disebut schizophrenia. Jadi biarkan dia bermain-main dengan gulingnya."
Hahaha, guling? Bodoh. Ini pacarku, bukan guling. Dasar sinting, bahkan saking tak sukanya dia dengan pacarku, dia sampai menghina pacarku seperti guling. Dasar gila.
Comments