Nostalgia: Kue Rangin
Percaya bahwa jajanan yang banyak dikenal dengan ragam nama ini mulai jarang ditemukan?
Seharusnya Anda percaya. Karena kue yang di Surabaya disebut dengan Rangin, di Bandung Bendros, di Jakarta Pancong, dan di beberapa tempat disebut Gandos ini memang mulai jarang ditemukan. Kue yang terbuat dari tepung ketan, santan, kelapa parut, gula, dan garam ini cukup melegenda. Hanya saja, pengaruh modernisasi mampu membuat kue enak dan gurih ini perlahan mulai tersingkir. Para penggemarnya pun mau tak mau harus rela meluangkan waktu untuk mencarijika tengah merindu jajanan masa kecil yang biasa disajikan langsung dari loyang ini.
Untuk loyang, Rangin (demikian saya menyebutnya sesuai asal) biasa dicetak dalam mini loyang serupa cetakan Pukis. Hanya, jika Pukis disajikan persatuan, Rangin biasa disajikan bergandengan--bersisian (?) satu sama lain. Setelah matang, Anda akan dipersilakan memilih antara rasa gurih--tanpa gula atau manis yang biasa ditaburi gula di atasnya. Karena merupakan jajanan tradisional, kemasan kue Rangin ini pun juga masih konservatif, yakni dengan menggunakan kertas.
Umumnya, penjual Rangin ini biasa memikul dagangan, mayoritas (atau bahkan seluruh penjualnya?) adalah laki-laki paruh baya, dan berjalan berkeliling sambil meneriakkan nama kuenya. Meski tidak seluruhnya demikian, karena ada penjual yang juga menjajakakan dagangannya menggunakan gerobak. Perporsi, harga yang ditawarkan cukup beragam karena bergantung pada pesanan. Di sekitar rumah, saya menemukan perslice seharga Rp 250 dengan cetakan agak besar. Sedangkan pada penjual yang lain (menggunakan gerobak) Rp 200 dengan cetakan yang jauh lebih mini dan tipis.
Tertarik untuk membelinya? Saran saya, coba datang ke Taman Bungkul atau Tugu Pahlawan saat Minggu pagi, di sana banyak penjual Rangin yang bisa dengan mudah ditemukan. Untuk penampakan, berikut kue Rangin jepretan saya.

Comments