Opini: Jungkir Balik Dunia Anak
Meski belum memiliki anak, saya boleh, ya, sedikit beropini mengenai dunia anak-anak zaman sekarang yang cukup membuat saya was-was. Mengapa demikian? Karena saya memiliki adik bungsu yang sehari-harinya banyak menghabiskan waktu dengan saya. Namanya Tita, usianya 7 tahun.
Kehadiran Tita ini memang memiliki kegembiraan tersendiri bagi keluarga kami yang kelimanya sudah berumur. Keceriaan, kecerewetan, celotehan, dan tingkah-tingkah ajaib Tita jujur saja membuat kami bangga. Dia bocah yang cerdas dan pintar--bagi kami. Kemampuan menyerap kejadian sekitar bisa dengan cepat dia pahami.
Sayangnya, berkembangnya kemampuan itu membuat kami--khususnya saya-- semakin khawatir. Bagaimana tidak? Seharinya Tita banyak mencontoh hal-hal aneh dari televisi. Semisal, menirukan lagu sekaligus gaya anak-anak yang menyanyikan lagu yang tidak sesuai umurnya. Lucu? Tidak. Dulu zaman saya kecil usia anak-anak diberi lagu yang sesuai dengan umurnya. Tema lagunya pun beragam. Entah tentang dunia anak, pendidikan, dan keluarga. Semuanya dikemas cocok sesuai umur anak-anak. Tidak seperti zaman sekarang.
Lain lagu, lain acara televisi. Dibesarkan di bawah bayang-bayang simbak membuat Tita kerap dipertontonkan acara televisi sejak usia dua tahun. Sering--bahkan setiap hari-- sepulang sekolah (Tita sekolah sejak usia dua tahun dan itu setiap hari; memanfaatkan fasilitas PAUD milik keluarga, maklum) dia dicekoki acara televisi apa saja asal diam dan tidak merecoki simbak yang tengah bekerja. Sebuah kesalahan besar seharusnya diketahui bahwa usia rawan balita sebaiknya jangan dipertontonkan acara televisi. Alasannya;
1. Mereka belum paham komunikasi satu arah. Sehingga menyebabkan anak akan mencerna sendiri bahasa yang didapat lalu mengaplikasikannya pada saat melakukan komunikasi dua arah dengan keluarga atau temannya. Contoh: ekspresi marah dan umpatannya.
2. Bahasa yang dibawa oleh gambar bergerak susah dipahami. Sehingga memaksa kemampuan otak anak untuk terus mengikuti apa yang terpapar di hadapannya hingga dia benar-benar paham sendiri.
3. Permainan gambar bergerak di televisi sama halnya melatih otot mata anak untuk terbiasa melihat tontonan dari layar--yang tentu saja mempercepat kerusakan mata anak.
4. Dampak. Sadarkah kita bahwa televisi memiliki dampak buruk yang sangat besar bagi anak-anak? Kecenderungan balita adalah melihat, merekam, dan mempraktekkan (meniru) apa saja yang telah dia lihat. Bayangkan jika saat itu kondisi anak bersama dengan simbak dan ada adegan iklan yang mempertontonkan hal yang tak layak? Gambar bergerak semacam kartun saja sebaiknya dihindari, apalagi gambar iklan yang didominasi orang dewasa?
Ini sekadar opini. Apa yang menjadi alasan tersebut semata-mata karena terjadi pada adik saya, Tita. Tita memang tumbuh luar biasa dibanding teman seusianya--setidaknya itu menurut pantauan kami-- tapi dia juga tumbuh di luar kendali.
Dia hobi menirukan apa yang dilihatnya di televisi. Mulai menyanyi lagu bukan untuk anak-anak, menirukan kalimat iklan, bahkan mengucapkan dialog orang dewasa. Miapah? Ciyus, ini mengancam keberadaan kami, para dewasa. Apa-apa yang seharusnya dijelaskan nanti, otomatis memaksa kami memutar otak agar pertanyaannya tetap terjawab tapi di koridor anak-anak. Seperti tentang kenapa wanita berdarah dan harus memakai pampers (menstruasi)? Selain itu, dampak psikis yang diberikan televisi menular ke dia. Haaah, enelan, stres! :/
Nggak perlu panjang lebar, singkatnya begini saja. Usia balita adalah usia tumbuh kembang anak yang optimum. Mereka selaluuuu meniru apa saja yang dilihat dan didengarnya. Memperbanyak kosa kata anak dengan metode bercerita bisa menjadi bahan pembelajaran utama di sisi mengajak anak untuk selalu berkomunikasi dua arah. Ini pengalaman kami juga. Jika Tita biasa dicekoki acara televisi nggak bermutu sejak usia dua tahun saat rumah dalam kondisi sepi, maka saat keluarga ada di rumah, kemampuan verbalnya diasah. Bercerita, dongeng, dan mengajaknya bicara panjang lebar membuat anak merasa dihargai. Terlebih jika dilibatkan dalam pembicaraan keluarga sesuai porsinya. Misal, menanyakan pilihan menu makanan. Dia mau tempe atau tahu. Meski terkesan memilih-milihkan makanan, hal tersebut membuat anak merasa memiliki pendapat yang juga didengar oleh keluarganya. Membatasi--atau bahkan melarang--anak untuk menonton tayangan televisi juga merupakan metode yang berpengaruh besar pada tumbuh kembangnya. Ajak anak diskusi, bermain, dan belajar sesuai umur. Jika mereka bosan, hentikan sementara. Anak menyerap cepat apa yang diajarkan, jangan didoktrin atau dipush terlalu dalam, bisa-bisa dia stres.
Jadi, nggak ingin anak atau adik Anda demikian? Yuk, dicoba membiasakan meminimalisir keberadaan televisi di tengah keluarga. Hasil positif akan membuat bangga keluarga tentunya. Cmiiw :D
Comments