Posts

Showing posts from January, 2013

Cinta Sendiri

"Hei, aku bawa makanan untukmu. Kau sudah makan, hm?" suaraku mengagetkan seorang lelaki yang tengah duduk sendiri menatap hamparan permadani biru berhias kapas. Langit cerah, secerah hatiku yang bisa menemukannya duduk sendiri siang ini. Tidak akan ada yang mengganggu romantisme kami. Lelaki itu menoleh, menyunggingkan senyum, lalu mengangguk. "Hai, Ra," sapanya ramah. Seketika membuat irama jantungku naik turun berantakan. "Hai juga, Dit," aku membalas grogi. Mungkin, kalau Adit bisa mendengar suara di bawah 20 Hz pasti memalukan. Mendengar suara degup jantung yang norak. "Ng, langit cerah," aku berbasa-basi, kemudian duduk di sisinya. Kuletakkan bekal makan yang kubawa dari rumah di antara kami, sebagai sekat. Sementara tanganku sibuk saling menggosok, menghilangkan grogi. "Ya, langit cerah. Apa kabar, Dira? Baik?" Adit tersenyum melempar tanya, mengaduk perasaanku. Kalau bisa aku menghitung berapa frekuensi hentakan jantungku,

Cun

Brama melempar recehan, menyusul beberapa lembar kertas biru. "Upahmu hari ini, Cun." Seorang perempuan yang dipanggil 'cun' menunduk, mengambil uang yang berserakan. Hatinya meradang sebenarnya. Tapi ia tak bisa banyak berbuat selain bekerja dan berakhir dengan mengambil materi berserak di lantai. Kalau saja boleh bersuara, ia tentu menolak takdir yang demikian. Kenapa harus begini skenario Tuhan? Sementara lelaki paruh baya itu memasang kancing perkancing kemejanya dengan mulut mengepul asap. "Perempuan kok nggak ada baik-baiknya blas. Hidup sudah ditanggung, tapi pelayanan masih kayak babu. Maumu apa, hah?" Brama membentak. Membuat perempuan di hadapannya kian tertunduk. "Kamu itu dilahirkan sebagai seorang jalang, jangan macam-macam dengan pelangganmu." Perempuan itu masih menunduk, uang di tangan diremasnya kuat-kuat. Harga dirinya tercabik. Kalau boleh jujur, bukan ini yang ia inginkan. Sementara tangan kanannya sibuk meredam amarah,

Sederhana

Gerimis menderas, langkah-langkah kecil di ujung jalan membuatku ikut mengiringi kemana keadaan mengantarnya. Sebuah benda warna-warni di tangan dikembangkan menyusul langkahnya yang kian cepat menuju sebuah rumah tak jauh dari ujung jalan. "Ini untuk makan malam kita, Mak. Mak sehat?" Aku berhenti tak jauh dari rumah itu. Mengamati diam-diam percakapan yang terjadi antara bocah laki-laki dan wanita tua yang mulai uzur. "Alhamdulillah," suara wanita tua itu terdengar parau. Sementara tangannya sibuk meluruskan uang yang baru diserahkan--yang menggumpal dan basah--anak laki-lakinya. "Ini, tolong kau belikan beras jagung dan tempe, biar mak masak. Kita makan enak hari ini. Kau lapar, Nak?" sambil menyerahkan beberapa lembar uang basah, emak menyelipkan senyum pada bocah di hadapannya. "Tenang, Nak, kita nggak akan seperti ini terus menerus," sambungnya yang lebih terdengar menyemangati diri sendiri. Tangannya yang kurang lengkap membelai rambu

Kejutan

Aku menghela napas tidak percaya, membayangkan kilasan kejadian beberapa menit lalu yang masih melekat kuat di rona abuku. Kemarilah, Tuhan telah memberimu pemilik satu rusuk yang hilang. Apa maksudnya dia berkata demikian? Aku mengerjap-ngerjapkan mata cepat, menghapus bulir yang menyusup tiba-tiba seiring hentakan irama jantung yang kian tak beraturan. Apalagi yang kau tunggu? Bukankah itu janjimu di perayaan hari jadimu, sejak dua tahun lalu? Asta. Aku menggelengkan kepala kuat. Bagaimana mungkin? Aku yakin ini hanya sandiwara picisan yang nggak seharusnya terjadi. Lelaki itu merogoh saku, mengeluarkan sebuah benda sedikit berkilau. Aku sudah memutuskan untuk meminangmu, Rona. Tepat di hari ini, di usia 24, sesuai dengan apa yang kau impikan dua tahun lalu. Aku menyimpan kalimatmu. Ah, Asta. Kenapa harus kamu? Lelaki yang kubisikkan diam-diam di tiap malam panjangku. Aku menutup mulut, diam tanpa banyak kata seraya menggerakkan kepala perlahan.

Skak Mat

Dunia itu keras, Nak. Kau harus paham itu. Sekeras racun rokok yang kau hirup itu, Yah? Kenapa kau bilang begitu? Karena racun rokok yang menggerogoti hati Ayah. Sampai membuat keras atau mungkin rusak, hingga menghitam. Seperti Ayah. Bicara apa kau, heh? Bicara apa yang kulihat. Ayah menjadi buta, tanpa hati, memaksa kehendak, melupakan arti demokrasi. Anak setan. Dan yang mungkin Ayah lupa, aku adalah anakmu.

Kuliner: Pecel Bu Kus

Image
Well, siapa, sih, arek Suroboyo yang nggak kenal sama kuliner ini? Pecel Madiun yang khas dan bolak/i masuk tivi itu, pasti tahulah ya. Nah, pagi ini, berhubung jadwal kepetan pagiku cancel dengan posisi perut laper belum keisi nasi dari kemarin (tapi keisi jajanan (lol)) yasudlah, makan dulu. Pagi-pagi, perut lapar, dan pengen jalan-jalan, akhirnya aku pilih Pecel Bu Kus. Kurang lebih satu jam menuju agenda berikutnya, lumayanlah ya. Menu andalan di depot Bu Kus ini apalagi kalau bukan pecel? Jadi, langsung aja aku pesan Pecel, ayam goreng, plus Es Beras Kencur. Berhubung belum pernah makan di tempat ya, jadi kurang tahu seperti apa porsinya. Biasanya dapat bungkusan, sih :p. Dan, pas pesanan datang... Jreng! Itu nasi porsi siapa coba, heh? Segambreng. Belum lagi peyeknya yang banyak. Pengen nangis rasanya lihat porsinya. Belum lagi Es Beras Kencurnya sebotol gitu. Pfft. Tapi, berhubung ingat harganya, dipaksa masuk jugalah nasi-nasi nggak berdosa itu meski ujung-ujungnya nggak hab

Sakral

Tap... Tap... Tap... Suara telapak kaki berayun menggema di seluruh penjuru ruangan. Ada apa? Apa yang perlu diselesaikan? Aku melongok ke sumber suara dari tempatku berdiri, memastikan semuanya baik saja. Tampak seorang gadis kecil menyodorkan lembaran kertas dengan coretan kasar yang bisa dengan mudah kukenali milik siapa. "Ada apa?" aku merendahkan posisi, berjongkok tepat di depan gadis kecil yang kini menyodorkan kertas padaku. Sambil meraih kertas yang disodorkan, aku menatap gadis itu heran seraya menunggu napasnya kembali teratur. "Kau mau menikah, Kak?" tanyanya kemudian, setelah napasnya beraturan. Aku mengernyit, lalu menggeleng. "Aku masih menunggu dia datang. Lelaki itu. Kau tahu dia di mana?" aku balik bertanya. Kabar dari mana persetan itu? "Namamu ada di undangan bersampul emas. Kupikir kau benar-benar akan meninggalkanku," ucapnya seraya menghapus peluh di dahinya. Seperti mendapat bongkahan es batu di kerongkongan, aku me

4: Plurk

Image
Ihiii, plurk akunku udah masuk angka 4 tahun. Sejauh ini, plurk beneran ngebantu ngilangin stres, fyi. Bayangpun, plurker nggak ada satu pun yang waras--kecuali aku--. Gimana nggak, kalau lagi stres, bad mood, buka plurk bawaannya jadi ngakak-ngakak geje gegara tret dan komen-komennya nggak ada yang bener (haha). Flashback keempat tahun lalu, awal kenal plurk mulanya mikir kayak fs, fb, twitter, dan akun sosmed lainnya. Wajarla mikir begitu, secara plurk juga sosmed. Dulu, awal-awal ngeplurk juga bawaannya ningkatin karma melulu. Rasanya bangga kalau dapet karma banyak, secara aktif gitu. Bhahahak! Tapi seiring zaman, apa yang semula ditakutkan sama sosmed, sejauh ini plurk belum--dan semoga nggak-- memberi dampak buruk, kecuali kecanduan ngeplurk, kopdar, dan jalan-jalan :p. Sedikit cerita, kopdar pertama dulu di Matchbox Too bareng plurker Surabaya. Isi kopdarnya ngapain? Kenalan sama ketawa-ketawa nggak jelas. Pas itu aku mikir, adakah satu di antara mereka ini yang nanti bakal m

Kuliner: Mi Akhirat

Image
Awal nemuin tempat makan ini sebenarnya nggak sengaja. Meski terbilang cukup sering seliweran di daerah tempat makan ini berada, jujur saja, aku nggak ngeh sama keberadaannya yang cenderung tersembunyi. Mulanya, aku niat cari makan di sekitar Taman Bungkul, entah makan apa, kan, banyak tuh pilihannya. Nah, pas pelan-pelan mau parkir tengok kanan kiri nemu satu tempat semacam rumah dengan banyak (banyak karena lebih dari satu, ya :p) warung makan. Tertariklah aku dengan satu spanduk bertuliskan Mi Akhirat; Surga dan Neraka! Weks, ngebayangin aja rada susah dinalar. Emang penciptanya udah pernah main-main ke akhirat gitu? Udah pernah nyicip surga sama neraka? Udah dari sana langsung terinspirasi bikin mi karena menu jajanan favorit di sana gitu? Ngaco! :)). Yawislah, langsung nyoba. Karena namanya Mi Akhirat pilihannya emang cuma dua; Surga dan Neraka. Untuk penampakan Mi Surga, nothing special lah ya. Warnanya semacam mi biasa. Beda dengan Mi Neraka yang berwarna hitam pekat sesuai na