Cun
Brama melempar recehan, menyusul beberapa lembar kertas biru.
"Upahmu hari ini, Cun."
Seorang perempuan yang dipanggil 'cun' menunduk, mengambil uang yang berserakan. Hatinya meradang sebenarnya. Tapi ia tak bisa banyak berbuat selain bekerja dan berakhir dengan mengambil materi berserak di lantai. Kalau saja boleh bersuara, ia tentu menolak takdir yang demikian.
Kenapa harus begini skenario Tuhan?
Sementara lelaki paruh baya itu memasang kancing perkancing kemejanya dengan mulut mengepul asap.
"Perempuan kok nggak ada baik-baiknya blas. Hidup sudah ditanggung, tapi pelayanan masih kayak babu. Maumu apa, hah?" Brama membentak. Membuat perempuan di hadapannya kian tertunduk.
"Kamu itu dilahirkan sebagai seorang jalang, jangan macam-macam dengan pelangganmu."
Perempuan itu masih menunduk, uang di tangan diremasnya kuat-kuat. Harga dirinya tercabik. Kalau boleh jujur, bukan ini yang ia inginkan. Sementara tangan kanannya sibuk meredam amarah, sebelah tangannya menyusup masuk ke dalam balik bajunya, berniat ikut membungkam.
Trash!
Darah mengalir pelan, menunjukkan luka kesakitan dari si pemilik.
"Pecun setan!" dengan membabi buta, lelaki itu membalas dengan brutal. Menyisakan bercak merah yang berhambur di penjuru ruangan. Tangan tergeletak dengan isi perut terurai. Uang masih tercecer di lantai.
Cun mati, lelaki brengsek sekarat.
Comments