Posts

Showing posts from March, 2013

Empat

Dor! Aku menoleh sekilas pada sosok lelaki yang tengah berdiri di depanku, kini. Ada perasaan senang karena memiliki teman menyendiri. Serius, pekerjaan hari ini hampir membuatku gila. Bayangkan saja, aku harus mengejar iklan dari jam 7 pagi di wilayah Selatan Surabaya, langsung maraton ke Utara, lalu ke Barat, dan terakhir Pusat. Bukannya capek, karena memang saat di lokasi peliputan selalu menyenangkan. Yang jadi masalah adalah naik motornya. Jauuuh! "Ngelamunin siapa, Ka?" Yayan mengambil duduk tepat di hadapanku. Tasnya diletakkan di bangku kosong di sisi kanannya. "Udah pesan makan?" Aku masih mengamati gerik Yayan yang baru datang. Belum juga pertanyaan pertamanya kujawab, sudah main lempar tanya ke pertanyaan selanjutnya. Kebiasaan. "Nungguin mas kameramen tivi sebelah, ya, Ka?" Tanpa menunggu jawabanku, Yayan terus berceloteh. Celotehan terakhirnya seketika membuatku mendengus, menghela napas berat. Selalu saja tertebak. "Kalau suka or

Kuliner: Lontong Kupang

Image
Baiklah, setelah seeekian lama saya hibernasi dari dunia perblogan, malam ini saya kembali setelah buka-buka galeri foto di hape kacrut yang penuh dengan foto geje. So, kali ini saya mau bahas makanan khas kota tercinta saya yang juga jadi makanan favorit, Lontong Kupang. Nama Kupang diambil dari komposisi utama Lontong Kupang itu sendiri. Kupang (Mytilus edilus) adalah hewan laut yang masuk dalam filum Mollusca atau hewan lunak kelas Bivalvia atau bercangkang dua. Umumnya, kupang hidup di dalam lumpur di perairan air asin atau laut. Yes, namanya juga hidup di lumpur ya, otomatis Anda kudu waspada dengan makanan enak ini. Why? Sebab, di dalam lumpur ada kandungan logam berat seperti merkuri, juga kotoran maupun limbah yang bercampur-baur menjadi satu di lautan. Bisa dibayangkan betapa 'kotornya' lautan yang bercampur dengan limbah-limbah itu, kan? Belum lagi dengan kupang yang justru hidup di dasar laut. Byangkan coba betapa 'kotornya' makanan enak ini? :p Saya tida

Tes Otak Kanan Atau Otak Kiri?

TES (A) Genggam tangan seperti orang berdoa. Jika ibu jari tangan kiri berada di bawah ibu jari tangan kanan maka kamu cenderung menggunakan otak kiri. Sebaliknya, jika ibu jari tangan kanan berada di bawah ibu jari tangan kiri artinya otak kanan. TES (B) Lipat tangan di depan dada. Jika lengan kanan di depan / di atas lengan kiri maka kamu cenderung menggunakan otak kiri dan jika lengan kiri di depan / di atas lengan kanan kamu cenderung menggunakan otak kanan. HASILNYA? (A) Kanan + (B) Kiri (Seimbang cenderung kanan) Sangat perhatian, konvensional, berbelit-belit, cepat akrab dengan orang lain, waspada, pengalah, stabil. (A) Kanan + (B) Kanan (Dominan otak kanan) Suka tantangan dan bersikap apa adanya, cepat bertindak, imajinasi kuat, selalu ingin tahu dan suka tantangan, ceroboh dan nekad, jarang mendengarkan pendapat. (A) Kiri + (B) Kiri  (Dominan otak kiri) Berdedikasi, cuek, perfeksionis, logis, selalu merasa benar, bisa dipercaya, kaku, memiliki banyak hal yang membang

Ka(mera)men Rider

Hari ini launching buku pertama yang harus kuhadiri dengan mengorbankan jam tidur yang terpangkas. Flight pertama dan seorang diri. Kalau katamu, aku harus mandiri. Aku tahu, kau juga tengah sendiri di sana. Mengambil potret di tanah orang, di tengah ributnya penduduk asal menyelamatkan diri. Di tanah Minang. Ya, aku harus mandiri. Berulang kali aku menutup mulut, menguap hebat. Ngantuk total. Sudah kuputuskan akan menghabiskan seluruh perjalanan nanti dengan tidur pokoknya. Jakarta. *** Mataku mengerjap-kerjap cepat. Pesawat sudah berhenti mengudara, penumpang sudah berbisik-bisik ribut, membuyarkan mimpi indahku dengannya, kekasihku. Sesekali aku menguap keras-keras, tidak peduli dengan sekitar. Penerbangan pagi selalu mengganggu. Langkahku pelan-pelan menyeret. Malas luar biasa. Aku tahu, wajahku pasti buruk rupa saat ini. Tujuan pertama sehabis ini aku langsung ke kamar mandi--selagi menunggu dijemput panitia--merias. Kubuka ponsel, kumatikan mode flight, menantikan pesan darin

Tiga

"Hei hei masih suka espresso?" Sedetik-dua aku tertegun menatap sosoknya yang tiba-tiba datang dan duduk di depanku dengan senyum sejuta pesona. Ah, lagi-lagi dia datang di saat aku benar membutuhkan sekadar teman duduk dan ngopi. "Hai," aku menyapa balik. Kuangkat cangkir espresso sejajar dengan wajah, ciri khas sapaan kami jika bertemu di kedai kopi dekat kantor. Sesaat kami terdiam, hanya saling tersenyum, seolah saling mengirimkan sinyal kabar masing-masing. "Berapa lama kita tidak bertemu, Al? Seminggu? Dua minggu? Kau sibuk sekali sepertinya," dia memiringkan kepala, sebelah alisnya terangkat, melihatku lebih dekat. Membuat letupan-letupan kecil di hati yang menghangat. Aku tahu, rasaku padanya masih sama. Dan aku juga tahu, dia tidak tahu rasaku ini. Entah kapan aku bisa membuka diri dan perasaan jika batas waktunya tinggal tujuh hari lagi. Atau, malah tidak akan pernah terucap? Bisa jadi begitu. Aku mengangkat kedua alis seraya tersenyum. Lalu

Dua

Aku menatap layar ponsel yang cahayanya mulai meredup. Ada rasa bersalah, enggan, kasihan, tapi ingin memberontak bercampur menjadi satu. Aku tahu ini masalah sepele, tapi terlalu sulit untuk diselesaikan. Yang membuat sulit tentu saja kenapa aku? Kenapa harus dia? Kenapa bukan dia yang lain? Aku mendesah panjang, cukup penat dengan masalah ini. Masalah yang justru jauh lebih memusingkan dibandingkan perkara pekerjaan dan masalah klasik tanggal tua, bokek. Kupandangi cangkir berisi espresso yang tinggal separuh isinya. Bibirku tersungging tipis mengingat celetukan seseorang, teman ngopi yang selalu hadir diam-diam dalam mimpiku. Lalu paginya menjelma menjadi bongkahan rindu. "Suka espresso, Al? Kopi pekat dengan sedikit biji?" lelaki itu tersenyum memandangku. Aku tahu, sebentar lagi dia akan berfilosofi, menyamakan kopi pilihanku dengan pribadi. "Kau tahu, apa yang dipilih menunjukkan diri orang itu sendiri? Cerminan diri," dia menyesap cangkir kopinya, meletakk