Empat

Dor!

Aku menoleh sekilas pada sosok lelaki yang tengah berdiri di depanku, kini. Ada perasaan senang karena memiliki teman menyendiri. Serius, pekerjaan hari ini hampir membuatku gila. Bayangkan saja, aku harus mengejar iklan dari jam 7 pagi di wilayah Selatan Surabaya, langsung maraton ke Utara, lalu ke Barat, dan terakhir Pusat. Bukannya capek, karena memang saat di lokasi peliputan selalu menyenangkan. Yang jadi masalah adalah naik motornya. Jauuuh!

"Ngelamunin siapa, Ka?" Yayan mengambil duduk tepat di hadapanku. Tasnya diletakkan di bangku kosong di sisi kanannya. "Udah pesan makan?" Aku masih mengamati gerik Yayan yang baru datang. Belum juga pertanyaan pertamanya kujawab, sudah main lempar tanya ke pertanyaan selanjutnya. Kebiasaan.

"Nungguin mas kameramen tivi sebelah, ya, Ka?" Tanpa menunggu jawabanku, Yayan terus berceloteh. Celotehan terakhirnya seketika membuatku mendengus, menghela napas berat. Selalu saja tertebak.

"Kalau suka orang tuh, nggak bisa kalau jalan di tempat aja, Ka. Kudu maju, bukan lihat punggung dari kejauhan. Nggak bakal kelihatan," Yayan memainkan ponsel pintarnya. Telunjuk dan jempolnya dimainkan, menjepit layar, membaca satu persatu email yang mampir. Aku belum tertarik menanggapi kalimatnya meski beberapa kali dengusan terdengar berat.

"Kamu sudah pesan makan belum, Ka? Aku lapar," aku tahu, Yayan bukan tipikal orang yang bisa menahan gejolak yang ada di dalam dan luar tubuh. Beda jauh denganku yang sering dan selalu menutup segalanya sendiri, kecuali kalau memang ada yang harus diceritakan. Pada siapa lagi kalau bukan ke Yayan?

Aku mengangguk, kemudian menggeleng. "Tadi udah, sih. Tapi sekarang lapar lagi. Aku mau paket biasa tapi ayamnya dada, ya. Lapeeer," aku bersuara, sedikit merengek. Sementara Yayan urun anggukan lalu melesat pergi ke meja kasir, memesan sekaligus membayar pesanan.

Tempat ini adalah tempat favoritku dan Yayan, selain kedai kopi. Hampir setiap hari kami menghabiskan malam berdua sekadar berbincang. Banyak hal yang kami perbincangkan. Saking banyaknya bahkan kami lupa apa saja yang dibicarakan saking mengalirnya. Di sini, kedai fast food sebelah kantorku.

"Jadi kapan mau menyatakan cinta, Ka?" baru saja aku melamun, suara Yayan sudah membuyarkan segalanya. Sialan memang orang satu ini.

Aku mendongak, mengerutkan dahi, lalu mengibaskan tangan cepat-cepat. "Apaan, coba, Yan? kamu tuh, cerita gimana dia? Gimana ekspresi dia pas kamu lamar? Masa jadi ngomongin mas kameramen yang nggak jelas juntrungnya itu," aku menjulurkan lidah, mengejek Yayan yang buru-buru meletakkan nampan dan mengacak rambutku kasar. Aku tertawa.

"Ciyeee, ada yang malu. Gimana gimana?" aku masih tertawa, menarik piring dari nampan, meletakkan di depanku. Aku tahu, kalau ditanya bagian ini Yayan pasti malu. Malu setengah mati katanya, entahlah bagian mana yang membuatnya malu. Aku belum mendengar ceritanya penuh. Yang jelas, sejak aku memergokinya telah melamar gadis incarannya, sejak saat itu juga Yayan sering bungkam, menahan hasrat ceritanya. Padahal aku tahu betul kalau dia bukanlah tipikal lelaki yang juara menyimpan rahasia hatinya sendiri. Bukan banget.

Kedua tanganku kugosokkan pelan, menunggu ceritanya. Sementara mulutku menyambar sedotan di gelas kertas berisi kola, meneguk isinya cepat. Kopiku sudah tandas sejak 30 menit lalu, meninggalkan ampas, kenangan, juga harapan.

"Jadi, kenapa bisa dia menerima kamu, Yan? Yakin, dia nggak salah pilih atau salah lihat gitu, minimal?" tanyaku sambil mencuil krispi ayam dan mencocolnya dengan sambal yang diambil Yayan.

Pluk!

Seiris kentang goreng jatuh ke pangkuanku. Hasil lemparan Yayan yang mungkin gemas melihatku. Aku tertawa terbahak menanggapi sikapnya. Kepalaku mengangguk-angguk cepat secepat mataku menangkap bayangan sosok lelaki yang kuidamkan belakangan. Mas kameramen menenteng tas punggung dan tertawa bersama seseorang. Dan seseorang itu adalah gadis yang beberapa kali pernah kulihat sebelumnya. Mataku memberi isyarat pada Yayan agar menoleh pada jarum jam angka sembilan dari tempatku duduk. Saat itu, Yayan mematung. Bukan apa-apa, agaknya dia tahu siapa gadis yang tengah bersama dengan mas kameramen pujaanku itu.

"Ka, itu... Nadia?" telunjuknya bergetar menunjuk gadis itu. Sama bergetarnya dengan jantungku yang berdebum makin tak keruan.

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan