Ka(mera)men Rider
Hari ini launching buku pertama yang harus kuhadiri dengan mengorbankan jam tidur yang terpangkas. Flight pertama dan seorang diri. Kalau katamu, aku harus mandiri. Aku tahu, kau juga tengah sendiri di sana. Mengambil potret di tanah orang, di tengah ributnya penduduk asal menyelamatkan diri. Di tanah Minang. Ya, aku harus mandiri.
Berulang kali aku menutup mulut, menguap hebat. Ngantuk total. Sudah kuputuskan akan menghabiskan seluruh perjalanan nanti dengan tidur pokoknya. Jakarta.
***
Mataku mengerjap-kerjap cepat. Pesawat sudah berhenti mengudara, penumpang sudah berbisik-bisik ribut, membuyarkan mimpi indahku dengannya, kekasihku. Sesekali aku menguap keras-keras, tidak peduli dengan sekitar. Penerbangan pagi selalu mengganggu.
Langkahku pelan-pelan menyeret. Malas luar biasa. Aku tahu, wajahku pasti buruk rupa saat ini. Tujuan pertama sehabis ini aku langsung ke kamar mandi--selagi menunggu dijemput panitia--merias. Kubuka ponsel, kumatikan mode flight, menantikan pesan darinya. Kosong. Aku menghela napas, sedikit kecewa. Dia ke mana?
Mungkin sibuk, hati kecilku membela.
Satu-dua aku melangkah melewati pintu kaca, masih dengan raut setengah mengantuk ketika aku melihat seseorang tak jauh dari tempatku berdiri dengan kamera besar di pundak. Wajahnya lelah namun senyumnya terkembang lebar. Ah, Zi. Aku mengerjap-kerjap cepat, tidak percaya. Bagaimana mungkin dia datang ke mari sedangkan tugas masih ditanggung?
"Hai."
"Kamu ngapain ke sini? Gempa gimana? Kamu nggak apa? Bukannya tugasmu belum kelar? Reportermu apa kabar? Kok kamu jahat nggak ngabarin aku kalau mau balik? Orang-orang korban gempa gimana? Ya ampun, Sayang. Kamu..."
Zi, begitu aku memanggilnya, menutup mulutku cepat dengan bibirnya. Ah, gila, sepagi ini dia sudah memberiku kejutan. Meski awalnya ingin menghentikan celotehanku, tapi dicium di depan umum pagi-pagi? Siapa yang bisa menolaknya? Terlebih oleh kekasih sendiri.
Aku tersengal. Sebaris senyum kikuk kulemparkan pada sekeliling yang melihat aksi nekat kami. "Zi, kamu tuh, hobinya bikin aku melting, deh. Tugasmu apa kabar, Sayang?"
Lelaki di depanku tersenyum. Bibirnya dihapus dengan lidahnya, tampak menikmati ciuman barusan. Sialan, aku bahkan belum bisa menenangkan jantung saking kagetnya.
"Kau tahu, Sayang, kantor merolingku. Sudah tujuh hari aku di Padang, dianggapnya aku lelah. Begitu pun reporter. Kami pulang tadi malam. Dan kau tahu, Sayang? Aku tidur di bandara biar bisa melihatmu dan mengantarmu ke tempat launching bukumu. Aku antre booksigning, Sayang," sebelah mata Zi dikedipkan. Kembali menggodaku.
Aku tahu, Tuhan tidak pernah salah mengirimkan pendamping untukku. Kalau pun salah, pasti ada arti di baliknya. Tapi aku yakin, Zi, dengan sejuta pesonanya, adalah untukku.
"Thank you, Sayang. Kau tahu, Sayang? Apa yang kuinginkan darimu saat ini?" aku melempar tanya. Sebelah tanganku meraih jemarinya, menggenggam erat.
Jemarinya menggenggamku posesif. Tatapan matanya berhenti di depanku, persis. "Apa?"
"Lamaranmu," aku mengedipkan sebelah mata, tersenyum lebar.
"Dan kau tahu, Sayang? Itu yang kutunggu-tunggu sejak dulu, mengajakmu menikah dan membangun mimpi bersama," satu kecupan di dahi membuatku kembali melayang. Zi, menciumku lagi. Tepat dengan ketukan pintu yang berulang.
Aku mengerjap. Pukul sepuluh. Agenda liputan satu jam lagi. Aku bergegas duduk dan bangkit dari tidur.
Selamat pagi, Zi. Kameramen dalam mimpi.
Comments