Tiga
"Hei hei masih suka espresso?"
Sedetik-dua aku tertegun menatap sosoknya yang tiba-tiba datang dan duduk di depanku dengan senyum sejuta pesona. Ah, lagi-lagi dia datang di saat aku benar membutuhkan sekadar teman duduk dan ngopi.
"Hai," aku menyapa balik. Kuangkat cangkir espresso sejajar dengan wajah, ciri khas sapaan kami jika bertemu di kedai kopi dekat kantor.
Sesaat kami terdiam, hanya saling tersenyum, seolah saling mengirimkan sinyal kabar masing-masing.
"Berapa lama kita tidak bertemu, Al? Seminggu? Dua minggu? Kau sibuk sekali sepertinya," dia memiringkan kepala, sebelah alisnya terangkat, melihatku lebih dekat. Membuat letupan-letupan kecil di hati yang menghangat. Aku tahu, rasaku padanya masih sama. Dan aku juga tahu, dia tidak tahu rasaku ini. Entah kapan aku bisa membuka diri dan perasaan jika batas waktunya tinggal tujuh hari lagi. Atau, malah tidak akan pernah terucap? Bisa jadi begitu.
Aku mengangkat kedua alis seraya tersenyum. Lalu memainkan bola mata ke kanan dan ke kiri, berpikir. "Sepertinya delapan hari. Kau yang sibuk. Aku masih rutin kemari kok. Apalagi kalau pikiran jenuh," jawabku sambil menghitung hari dalam pikiran.
Dia tertawa mendengar jawabanku. Tangannya dikibaskan cepat-cepat. "Hei, kau tidak ingat? Berapa hari lagi kau akan meninggalkanku sendiri di sini, hm? Apa perlu kubantu menghitung hari? Justru kau yang sibuk. Kau tahu, hampir setiap hari aku kemari hanya ingin bercerita denganmu. Tapi kau kemana?" kedua tangan lelaki di depanku diangkat, meminta jawaban seraya masih tertawa.
Salah. Delapan hari berturut-turut aku selalu kemari. Hanya saja waktunya yang sengaja kuplesetkan. Jika selama ini aku duduk di kedai kopi ini sepulang kerja, yang artinya sekitar pukul tujuh, maka waktu itu beda. Aku sengaja memilih jam makan siang untuk ngopi seorang diri, merenungkan kejadian-kejadian yang akan terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Sendiri. Namun kali ini, aku datang ke kedai di malam menjelang larut. Artinya, aku benar-benar penat dengan segala hal yang ada di rumah. Segala persiapan, hal-hal remeh, dan peraturan yang bagiku kurang masuk akal harus kuturuti. Aku benci dengan keadaan seperti itu. Tapi aku bisa apa selain duduk di kedai kopi dan menyendiri melamunkan masa depan yang mungkin hanya ada di anganku?
Ya, di sinilah. Di kedai kopi langganan kami. Di kedai yang banyak menyimpan cerita-cerita kami. Cerita-cerita palsuku dan jujurnya. Cerita yang justru seringkali melukai hati namun memberiku ketenangan berkali lipat karena hadirnya. Seperti sekarang. Entah cerita apalagi yang akan dia ceritakan dan kukarang untuk mengimbanginya. Sejujurnya, kadang, aku lelah dengan kepalsuan yang kubuat sendiri. Mengapa jujur bukan menjadi pilihanku?
Aku membalas tawanya, kuletakkan tanganku di atas tangannya yang meminta jawaban. Aku tahu, sebenarnya ini tidak boleh terjadi, tapi aku benar merindukannya. Sekilas, aku melihat binar kaget di matanya. Namun genggamannya membuatku tahu, bahwa dia tahu apa yang terjadi denganku.
Tangan kami saling menggenggam tanpa ada kata yang terucap dalam beberapa menit. Hanya saling menatap, menggenggam, berharap saling tahu apa yang terjadi dan diinginkan hati. Aku menikmati masa ini. Rasanya, ingin sekali aku tetap duduk dan menikmati sensasi letupan hangat dengan kupu-kupu menggelitiki perut.
"Thanks," aku melepaskan genggaman. Ada tenang dan perasaan lega mencelus di rongga dada.
"Ya, delapan hari kita tidak bertemu. Kau punya banyak hutang cerita padaku. Jadi, bagaimana perkembanganmu dengannya, hm?" aku menyipitkan mata, menggodanya yang pasti akan tertawa jika aku sudah menantang begitu. Padahal, hatiku sendiri kembang kempis jika dia sudah bercerita tentang gadis pujaannya.
Benar saja, tawanya meledak. Tangannya langsung meraih kepalaku, mengacak rambutku gemas. Membuat jantungku berdebum berantakan.
"Kau tahu, apa yang paling kurindukan dalam delapan hari kita tidak bertemu?" dua tangannya menopang dagu, bertanya pelan padaku.
"Cerita tentangnya dan mendengar saran-saran bodohku?" aku mencoba menebak. Kepalaku beralih bergantian antara cangkir kopi dan wajahnya. Tumben dia tidak langsung memesan kopi.
Dia menggeleng. "Bukan. Tapi aku rindu mengacak-acak rambutmu gara-gara godaan nakalmu," senyumnya tersungging tipis.
Sialan. Hanya karena itu? Lalu mengapa jantungku tidak beraturan begini detaknya?
Kali ini tawaku meledak, mengalihkan deburan ombak dalam dada. "Sialan. Jadi kau pikir aku wanita nakal, heh?" aku pura-pura marah. Bibir kubuat cemberut.
"Ya, karena kau sering menggodaku," dia menyahut enteng. Senyumnya masih tersungging.
"Ih, itu karena kau mudah tergoda."
"Jadi, salah siapa dong?" dia mendekat, menangkupkan kedua tangannya ke wajahku yang tidak sempat menghindar. Tidak sempat menghindar dan menyebabkan sejumlah aliran listrik dalam tubuh otomatis menyala, saling bersinambung.
"Hangat. Kau sakit?"
Terlambat. Dia terlanjur merasakan getaran yang dihasilkan listrik dalam tubuhku. Aku menggeleng kaku dengan tatapan mata bingung.
"Kalau begitu kau grogi."
Slash! Sialan. Jantungku meledak sejadi-jadinya.
Comments