Enam
Jika aku boleh memilih, mungkin aku akan melabuhkan rasa pada orang yang belum pernah hadir dalam hidupku sebelumnya. Agar jika aku terlampau sakit pada sebelumnya, rasa itu tidak kembali menusuk, menggores luka. Tapi sayangnya, aku tidak bisa mengelak takdir Tuhan. Takdir yang justru mempertemukan kami pada waktu yang kurasa kurang tepat. Pada tempat yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Pada kejadian yang sungguh di luar kehendakku.
***
Aku mengaduk-aduk gelas espresso dengan sendok mungil sementara pikiranku terus menerawang. Ada yang salah dengan kejadian beberapa hari ini. Ada yang timpang. Ada yang tidak seharusnya terjadi. Dan itu... Kehadirannya.
Beberapa kali aku membuang napas sekenaknya. Mengacuhkan siapa saja atau apa saja yang mampir dalam realita. Masyuk dengan pikiran tak pasti yang melaju kencang, mengupas memori satu persatu. Kenapa harus terjadi, sih?
"Unbelievable," desisku sambil menatap cangkir kopi lesu, mengetuknya perlahan dan berulang dengan sendok.
Lelaki di depanku diam. Mungkin tengah memandangku tanpa komentar. Berkomentar pun pasti aku acuhkan. Entahlah, aku tak tahu pasti apa yang dikerjakannya.
Alunan lembut piano mengalun lembut dari pemutar musik, menambah syahdu sekaligus hanyut pikiranku. Belum lagi rintik hujan di luar yang mulai membuat kaca mengembun. Beberapa kali aku membuang napas, menggelengkan kepala, sesekali menutup mata sambil menghirup napas dengan menggigit bibir bawah. Ragu.
"Aku bingung, Ka," Yayan membuka suara, membuatku seketika mengangkat kepala dan mengernyit.
"Apa?" tanyaku ikut bingung. Jujur saja, dia sukses membuatku gagal kembali berkonsentrasi pada lamunanku.
Kepalanya digelengkan berkali-kali lalu mengangguk. Kalau gerakannya diartikan, mungkin semacam menolak tawara lalu tiba-tiba mengiyakan. Dih, membingungkan.
"Apaan coba?" aku menarik tisu meja, membentuknya menjadi bulatan, dan melempar ke arahnya. "Maksudnya apa?"
"Mau cerita apa memang sengaja disimpan jadi bisul?" Yayan menyesap kopinya. Pandangannya tidak menatapku sama sekali, sibuk dengan ponsel pintarnya.
Badanku kucondongkan setengah, mengernyit menatapnya tidak mengerti. "Cerita..." aku mengulur, "apa?" dalam hati aku melempar dadu, antara mau menceritakan yang sesungguhnya atau tidak. Kalau cerita, risikonya lega dan ada sedikitnya pencerahan. Kalau tidak, aku aman, cerita kusimpan sendiri, tapi sakit dan gelisahnya cukup membuat gereget tersendiri.
Aku mengatur napas, menarik perlahan, mengeluarkan lebih pelan. "Apa coba, Yan?" tanyaku pada Yayan, mengulangi.
Yayan tertawa kaku. Matanya mengintimidasiku sekilas. "Kamu pikir aku nggak gerah lihat kamu gelisah, bingung, galau mikir lelaki sambil duduk di depanku begini, hah?"
Mulutku spontan manyun. "Mesti, deeeeh. Kan, aku bingung, Yaaaan," aku pura-pura jengkel karena dengan mudahnya isi pikiranku ketebak. Nggak salah Yayan tahu semua tentangku begini.
"Dasar cewek nggak surprise! Gampang banget ditebak," Yayan tertawa simpul. "Mau cerita nggak, Ka?" cangkir kopinya diangkat, isinya diteguk hingga tandas. Sementara aku hanya tersenyum datar menanggapi.
Aku memutar-mutar bola mata, menggaruk rambut seadanya. Cerita, nggak, cerita, nggak. Cerita nggak, ya?
"Halah, sejak kapan jadi sok misterius begini, sih? Nyesel pasti ntar kalau udah jadi bisul."
Kedua mataku melotot, mengancam lelaki cerewet di depanku. "Diam," sahutku gemas. Bola mataku kembali berputar, berpikir keras bagaimana baiknya.
Cukup lama aku berpikir, cukup lama pula alunan musik piano berganti nada. Akhirnya aku memutuskan membuka mulut.
"Kalau orang dari masa lalumu tiba-tiba datang di kehidupanmu sekarang, di waktu dan tempat yang tidak tepat, kamu mau apa, Yan?" aku melempar umpan yang kupastikan dia paham maksudku. Dan benar saja, Yayan langsung berkomentar.
"Hah? Masa lalu? Udah ganti lagi targetnya?"
Mendengar tanggapannya, seketika aku melempar bungkus gula yang kuambil sembarangan. "Sial. Mesti gitu!" aku mendengus kesal, menolak berkomentar. Selalu saja merusak momen. Mulutku mengerucut, melengos.
Comments