Lima
“Semalam aku mimpi dia!” aku mendorong pintu kedai kopi
langganan keras, membuat beberapa pengunjung kedai menatapku. Tanpa memedulikan
beberapa pasang mata memandangku aneh, langkahku berhenti di meja favorit
dengan seorang lelaki menunggu, Yayan. Samar aku melihat dia melirikku datar.
Aku melempar tas di sofa krem tepat di hadapannya dan duduk
bersandar dengan cuek. “Bayangkan, Yan. Dia telepon aku, kami tertawa, kami bercerita
banyak hal. Dan itu... amazing sekali! Seolah kami nggak ada celah sama sekali.
Seolah nggak pernah ada kejadian...,” aku berhenti sejenak, menelan ludah, “penolakan
itu.” Sedikit kelu lidahku mengatakan kata terakhir. Diakui atau
tidak, penolakan olehnya beberapa waktu lalu masih begitu membekas, sangat
bahkan. Meski menyisakan sedikit luka menganga, tapi berpikir logis adalah cara
jitu untuk menyembuhkan borok. Tapi itu sulit.
Yayan mengangkat kepala, membenarkan letak duduknya. Aku melempar
senyum kecut, mengangkat bahu. “Tapi aku menikmatinya, Yan,” sahutku akhirnya,
parau.
“Kayak nggak ada cowok lain aja.”
“Tapi dia beda,...”
Tawa Yayan terdengar. “Bedanya apa? Selama dia masih punya penis,
dia sama aja kayak cowok lain.”
“Anjrit!” spontan aku misuh. Nggak terima dengan omongannya.
Aku tahu, kadang Yayan memang terlalu cerdas membelit
kalimatku. Artinya, dia selalu menjejali dengan kalimat-kalimat logis yang
mematikan.
“Kayak nggak ada yang suka kamu aja,” Yayan menyela. “kamu
tuh nggak peka, banyak cowok suka dibiarin gitu aja, kebanyakan mikir, sih,” lanjutnya
cuek. “Mau pesen apa?” sebelah tangannya terangkat, memanggil waiter yang
langsung berjalan menghampiri meja kami.
Aku menghela napas separuh kesal. Kebiasaan Yayan belum
berubah, seenaknya memutar jalan pembicaraan. “Frappio, Mas,” tanpa membuka
buku menu yang disodorkan, aku memesan minuman di luar kebiasaan, malas.
Kedua mata Yayan melirikku, senyumnya tersungging. “Gini, Ka,”
badannya ditegakkan, berdeham. “Kamu tahu sendiri, kan, dia menolakmu?” kalimat
retorik Yayan dilempar ke udara, menyatu padu dengan hembusan napas beratku. Kalimat
menusuk. “Nyata bahkan. Dia membawa wanita lain, mengenalkan ke kamu, dan
selesai. Nggak ada celah lagi buatmu. Lalu kamu mau apa? Nyerobot kehadiran
wanita itu dari sisinya?”
Tanganku spontan memukul lengannya. “Kalau ngomong jangan
ngawur!” semburku galak, tidak terima.
“So? Kamu maunya apa?” Yayan mengulang pertanyaan tepat
ketika waiter mengantarkan pesananku.
Aku mengangguk mengucapkan terima kasih pada waiter.
“Bisa nggak langsung sambar ngomongnya?” pintaku gemas lepas
mengendalikan diri.
Kepalanya menggeleng keras, pun tangannya. “Nggak. Sampai kamu sadar kalau kamu benar-benar harus berhenti mengharapkannya.” Kedua tangannya terlipat, mengacuhkanku. Rasanya ingin sekali kuremukredamkan ekspresi wajahnya yang menyebalkan. Kenapa bisa ada orang sekontras kami? Berkebalikan begini.
"Toh, cuma mimpi. Apa yang bisa diharapkan dari kembang tidur coba?" Yayan mencibir.
Di luar sana langit kelam, sekelam hatiku yang harus segera
kuobati, begitu kata Yayan. Benar memang apa yang dikatakan olehnya. Tapi menyembuhkan
percikan perasaan dengan cepat, siapa bisa?
Aku menggeleng, menerawang. Membayangkan dia yang tengah
berstatus dobel. Kenapa harus dia? Kenapa harus di saat aku sudah merasa cocok
dan klop untuk mencinta, harus ada kejadian seperti ini? Kenapa harus aku?
“Nggak bisa secepat itu, Yan,” desisku pelan.
Yayan tertawa lepas. “Kalau kamu bisa sekali lihat langsung
jatuh cinta, kenapa nggak bisa sekejap saja melupakan? Toh kamu sudah tahu kenyataannya.”
Mulutkuu ternganga, melongo. Susah payah menelan ludah.
Mulutkuu ternganga, melongo. Susah payah menelan ludah.
Comments