Short Trip: Bromo
Kurasa,
travelling itu hanya butuh kenekatan.
Yap!
Akhirnya, setelah lama nggak pergi kemana-mana, sekarang pergi juga. Kesibukan
pekerjaan—yang sebenarnya nggak sibuk banget— membuat saya nggak sempat pergi
kemana pun. Bukan, lebih tepatnya, tidak ada waktu yang pas. Tapi, setelah
berpikir dan bertekad kuat dan bulat *tsaaah* trip kali ini harus jadi.
Bromo
menjadi pilihan utama karena saya belum pernah ke sana, meski Surabaya
cenderung dekat. Saya sengaja mencari tempat wisata yang hanya bisa ditempuh
dalam waktu kurang dari sehari. Dan, Bromo masuk.
Teman
perjalanan kali ini adalah teman SMA (Har) dan 2 teman baru (Navis dan Vian). Believe
it or not, travelling selalu memaksa pejalannya untuk bertemu orang baru. But
still, it’s always fun!
Sudah
menentukan meeting point, juga waktu bertemu, Kamis selepas kerja, saya berpacu
dengan waktu. Pulang, mandi, dan mengejar kereta. Saya tidak ingin rencana
nekat untuk bermain diganggu gugat karena telat. Saya sengaja memilih kereta
tujuan Malang paling akhir, 19.30. Selain menyesuaikan dengan jam kerja plus
ngaret, estimasi waktu untuk berangkat juga lebih pendek.
Jumat
pukul 2.15, kami bertemu di kosan Vian dan langsung berangkat menuju Bromo via Purwosari.
Rute ini dipilih karena kata guide kami, Navis—yang sudah keenam kalinya ke
sana—jalannya lebih manusiawi dibandingkan lewat Malang, Lumajang, dan Probolinggo.
Dan benar saja, rutenya memang manusiawi—awalnya.
Rute:
Purwosari-Purwodadi-Nongkojajar- Tosari-Wonokitri-Penanjakan
Memutuskan
untuk berangkat pada dini hari, risikonya adalah jalanan sepi dan gelap gulita.
Apalagi, wilayah yang kami lewati didominasi oleh hutan yang nggak dilengkapi
dengan penerangan sama sekali, kecuali rumah penduduk—tapi jarang. Maka, bukan
hal yang aneh jika saya berpikiran bahwa perjalanan ini menakutkan. Seriously,
sepanjang perjalanan, perasaan senang perlahan berubah menjadi was-was dan
cemas, meski berharap agar segera sampai. Wacana rawan begalan, rampok, dan
terkaman anjing liar berputar-putar di pikiran. Sebal, karena jalanan gelap,
sedikit licin karena sisa hujan, dingin menusuk, dan celotehan Har membuat
pikiran makin bertumpuk. Errrr.
Ah
iya, jalanan via Purwosari memang mulus. Tapi, sebaiknya waspada jika masuk ke
daerah Nongkojajar setelah kantor kodim hingga Ngadirejo. Jalanan makadam—yang
membuat pantat saya terlempar beberapa kali— cukup membuat napas naik turun.
Terlebih kondisi basah sehabis hujan bercampur lumpur. Kondisi jalanan ini
membuat Navis dan Vian terjerembab. Iya, guide kami jatuh. Otomatis, saya, yang
gampang panik ini, langsung turun dari boncengan berniat membantu. Selang
beberapa detik jatuh, keduanya belum gerak, makin paniklah pikiran saya.
Meninggalkan motor Har yang njepat ke lumpur (kami tertawa melihat motor njepat
ini, tapi juga bersyukur, tanpa lumpur yang menjepatkan motor, mungkin motor
dan pengemudi akan meluncur ke jurang. So, let say Alhamdulillah). Sebelum
mereka, motor kami juga nyaris tergelincir di tepian jalan berlumpur saat
berbelok. Jalanan makadam ini akan kembalii mulus begitu memasuki daerah
Tosari.
Setelah
peristiwa ‘naas’ itu, kami memutuskan untuk segera beranjak dengan lebih
berhati-hati. Pukul 4.04, kami sampai pada pos tiket masuk. Pengendara motor
diharuskan membayar 18.000 untuk 2 orang. Di sini tersedia toilet dan
beberapa panduan rute yang bisa dimanfaatkan wisatawan untuk cek-ricek tempat
tujuan.

Ongkos tiket masuk.
Perjalanan
menuju Penanjakan membutuhkan waktu kurang lebih 25 menit dengan kecepatan
motor rendah dan penuh hati-hati. Setelah pos masuk, di daerah akhir Tosari,
beberapa penjual sarung tangan, kupluk, dan macam-macam mulai terlihat meski
baru dua-tiga. Jangan khawatir, di Penanjakan banyak :p.
Tepat
pukul 4.30 kami sampai di parkiran Penanjakan satu setelah motor kami akhirnya
jatuh. Tapi teteup, kami tertawa karena lega, setidaknya jatuh tidak di daerah
menakutkan *stres*.
Well,
pemandangan puncak saat itu mendung gelap nian. Tidak tampak satupun gunung
yang nongol. Tangan mati rasa, bibir gemetaran, kami memutuskan untuk mampir sekadar
menghangatkan badan sekaligus isi perut. Lapar. Ada beberapa kios berjajar
menawarkan minuman panas. Harga minuman panas semacam kopi atau sereal
dijual seharga 5000 rupiah pergelas. Juga ada penjual jagung bakar dan sate
kentang ndoprok di depan kios. Suasana pagi itu ramai. Senang? Jelas.
Nggak percaya? Iya. Rasanya, omong-omong ke Bromo baru beberapa hari lalu, tapi
sekarang? I’m in!
Setelah
salat, matahari masih malu-malu. Cuaca memang tidak bersahabat di bulan yang
masih terhitung musim penghujan. Maklum. Kecewa? Enggak sama sekali. Karena
saya sudah terlanjur excited duluan. Karena pada akhirnya saya yakin,
matahari nggak akan malu-malu terus, ada kalanya menampakkan dirinya *pret
banget, haha*.

Mendung kelabu, sekelam hatiku. Tsaaah.

Kios di Penanjakan.

Penjaja jagung bakar di depan kios. Foto ngeblur bukan karena pelaku kekerasan. Helleeh.
Di
Penanjakan, setelah mendung bergeser, saya akhirnya tahu kenapa banyak turis mancanegara
menyebut Bromo eksotis. Karena pemandangannya memang memesona. Segerombolan
gunung *gerombolan, emang preman? haha* berjejer dengan khasnya masing-masing. I
guarantee, it’s a wonderful God’s scene.

Mentari malu-malu.

Semeru malu.

Wisatawan menunggu mentari.

Vian & Har.

Navis, saya, Vian. *silakeun miriiiing :))*

Dingin broooh.

*miring-miring lihat Bromo*

Selamat dataaaang! *bacanya sambil miring*

TN BTS *sambil miring*

Gugusan gunung.

Watchout!

Pura dan sesajen. *miring lagilaaah :p*
Puas
foto dengan kamera ngacrut *iyalah kacrut, secara hapenya amatiran,
fotografernya apalagi? :p* kami memutuskan untuk segera ke kawah gunung Bromo.
Ya gimana nggak, kalau kawasan Penanjakan pukul tujuh sudah sepi, wisatawan
sudah menuju Bromo, warung-warung pun tutup. Beaya parkir motor 5.000
permotor.
Memasuki
kawasan Bromo, bagi pengendara motor yang belum tahu medan seperti saya, ada
baiknya berhati-hati. Sebab, jalanan mulus namun berkelok cukup tajam. Hingga
45 derajat bahkan. Saran, gunakan persneling satu saja sudah cukup dan tekan
rem kuat-kuat. Meski hati-hati, napas ngos-ngosan luar biasa, antara menahan
laju motor agar tetap stabil, juga nggak tahan melihat kemiringan dan kelokan
tajam. Saran: banyak doa! Buat orang yang gampang panik macam saya :p.
Lautan
pasir. Ya, Gunung Bromo adalah gunung pasir dimana seluruh bagiannya berupa
pasir. Di kaki Gunung Bromo, pasir dimana-mana cukup membuat sepeda motor
berkali-kali terjatuh. Tapi tidak seekstrem di jalanan, jatuh di pasir tidak
sakit, tapi malu, hahaha. Di kaki Gunung Bromo inilah, puluhan jeep berjajar
rapi, pun kuda, menunggu wisatawan yang berjalan menuju kawah Gunung Bromo. Psst,
kalau mau naik kuda, kalian bisa mengeluarkan uang sebesar 50.000 rupiah.
Tapi saya yakin masih bisa ditawar. Paling nggak, 30.000 rupiah maksimal. Berhubung
saat kami ke sana pas Jumat legi, bertepatan dengan suku Tengger yang
memberikan sesajen di setiap pura yang ada.

Bukti kalau kami naik motor. :p

Cinta pret (?)

Apeulaaah.
Bromo.
Untuk mencapai puncak Bromo dan melihat kawah di dalamnya, wisatawan diharuskan
menapaki ratusan anak tangga yang menguras tenaga. Apalagi buat yang belum
sarapan macam saya. Tanda-tanda drama kehidupan pun dimulai. Sebelum naik, di
bawah anak tangga, saya melihat satu wisatawan yang meringkuk—antara kedinginan
dan tertidur— waktu itu pikiran saya, mungkin nggak kuat naik. Nah, sambil
membatin itulah saya berdoa semoga tidak demikian. Berdoa dan berusaha, yang
memutuskan adalah Tuhan. Dan benar saja, sambil super terengah-engah, sesampainya
di anak tangga terakhir, di puncak Bromo, saya tepar! Masuk angin, kebelet
muntah, kedinginan. Waaah, pokoknya payah banget di sini. Mencari tempat duduk?
Jangan harap! Sejak kapan di puncak gunung ada kursi? Orz. Alhamdulillah ya,
saya diberi kecuekan yang lumayan tebal. Setelah minum air Zam-zam yang dibawa
Har plus air elektrolit dan dipijat-pijat tengkuk sama Har (juga), saya
bersendawa.
Ah iya, jangan lupa membawa obat-obatan pribadi ya! Beruntung saya siap sedia minyak angin—kayak nenek-nenek—jadi dioles-oles sedikit lumayan membuat berkeringat. Setelah sendawa, bertepatan dengan puncak yang mulai panas, badan mulai menghangat, saya pun tidur. Iya, kalian nggak salah baca kok, saya beneran tidur di tepian puncak Bromo. Sambil ngelesot dan bersandar di pagar kuning puncak, saya tidur. Mungkin asumsi wisatawan lain pemandangannya aneh, kok bisa-bisanya tidur di puncak :p. Tapi, ternyata cukup mengembalikan energi, loh. Setelah bersendawa dan tidur sambil meghangatkan badan, energi saya kembali. Waaah, jadi cengar-cengir lagi, haha. Anyway, sayang sekali, di sepanjang anak tangga, wisatawan disuguhi dengan coretan orang tidak bertanggungjawab yang justru memberikan kesan kumuh :/.
Di kawah Bromo, wisatawan akan disuguhi pemandangan unik (?). Yakni, beberapa Suku Tengger pencari uang dengan membawa sarung khasnya. Sempat bertanya pada salah satu orang setempat, bahwa sarung adalah ciri khas dari masyarakat Suku Tengger. Kewajiban dari adat setempat. Fungsinya? I don't know exactly.
Ah iya, jangan lupa membawa obat-obatan pribadi ya! Beruntung saya siap sedia minyak angin—kayak nenek-nenek—jadi dioles-oles sedikit lumayan membuat berkeringat. Setelah sendawa, bertepatan dengan puncak yang mulai panas, badan mulai menghangat, saya pun tidur. Iya, kalian nggak salah baca kok, saya beneran tidur di tepian puncak Bromo. Sambil ngelesot dan bersandar di pagar kuning puncak, saya tidur. Mungkin asumsi wisatawan lain pemandangannya aneh, kok bisa-bisanya tidur di puncak :p. Tapi, ternyata cukup mengembalikan energi, loh. Setelah bersendawa dan tidur sambil meghangatkan badan, energi saya kembali. Waaah, jadi cengar-cengir lagi, haha. Anyway, sayang sekali, di sepanjang anak tangga, wisatawan disuguhi dengan coretan orang tidak bertanggungjawab yang justru memberikan kesan kumuh :/.
Di kawah Bromo, wisatawan akan disuguhi pemandangan unik (?). Yakni, beberapa Suku Tengger pencari uang dengan membawa sarung khasnya. Sempat bertanya pada salah satu orang setempat, bahwa sarung adalah ciri khas dari masyarakat Suku Tengger. Kewajiban dari adat setempat. Fungsinya? I don't know exactly.

Tangga sesaaaat. :p

Manyun. Gejala pegel. :))

Mulai geje.

Tiduuuur. :p

Pencari uang di kawah Bromo.

Kawah Bromo.

Unfortunately. :(

Mukaku lebar bener. :/

Sajen dan seserahan di kawah Bromo.

Jeeps di kaki Gunung Bromo.
Di sepanjang tangga ini terdapat banyak penjaja bunga keabadian, Edelwiss
dengan rupa yang beragam. Harganya 25.000 tawar aja sampai mentok ya. Har
dapat 10.000 padahal minta 5.000. Yasyudlah, perjuangan mereka mencari
bunga belum sebanding dengan pekerjaan kami sehari-hari.
Sarapan
itu perlu. Meski sebenarnya saya jarang sarapan, tapi di cuaca dan daerah
dengan cuaca ekstrem membuat energi yang tersimpan mudah terkuras. Selepas
turun dengan wajah berseri :p, kami memutuskan untuk makan di kaki Bromo. Ada
beberapa warung yang menyediakan nasi Pecel dan Rawon. Pssst, sejujurnya, saya
kurang senang makan di tempat seperti ini. Kebersihan kurang, juga berasumsi
itu masakan sisa kemarin *suudzon :p*. Dan kayaknya Har tahu kodeku ini.
Jadinya, kami makan sepiring berdua, romantis! Harga perporsi Rawon 15.000,
Pecel 10.000.

Edelwiss (palsu).
Pasir
Berbisik. Padang Savana atau Bukit Teletubbies. Meski penasaran dengan namanya,
pada akhirnya kami memutuskan untuk ke sana. Bukan sengaja, tapi memang harus,
ketika memutuskan untuk pulang melalui jalur Tumpang, Malang. Sepanjang jalan
berisi pasir dan membuat kami tertawa-tawa karena harus mendorong motor, kami
melewatkan Pasir Berbisik begitu saja. Kenapa? Karena saya berpikiran, oh,
‘cuma’ pasir. Iya, saya memang mudah bosan. Maka, ketika lewat Pasir
Berbisik yang memang ‘cuma’ pasir, kami hanya nengok saja. Perbedaan pasir
biasa dan Pasir Berbisik bisa dilihat dari warnanya. Pasir biasa berwarna
abu-abu, Pasir Berbisik berwarna coklat muda setengah kemerahan.
Melaju
menuju Padang Savana, jalanan masih berpasir. Namun, keindahan bukit-bukit yang
hijau justru membuat saya berwiiih-wiiih. Bagus banget! Seolah menyadarkan
kalau saya dibandingkan gunung nggak ada apa-apanya. Keciiiil. Ya, tadabur alam
memang perlu. Sampai di Padang Savana, saya tidak seexcited sebelumnya.
Memang pemandangan perbukitannya bagus sekali, tapi saya enggan mengabadikan
dalam potret.

Padang Savana.
Setelah
memutuskan untuk akhirnya mau mampir ke Ranu Pane sebelum pulang, kami melaju
dengan pelan. Gimana nggak? kalau jalanannya naudzubillah, makadam banget.
Sakit di pantat jeh. Saya pernah membaca, kalau akses dari dan ke Tumpang
memang kurang bersahabat. Makadam meski jalur lebih pendek. Senang dengan
rencana mampir ke Ranu Pane, sampai di pertigaan jalan, di gerbang dengan
penunjuk arah Ranu Pane, saya akhirnya melengos. Nggak mauuu. Mikir apa hayo?
Pantat jeh pantat! Hahaha.
Di
perjalanan ini, perbukitan, pepohonan, perkebunan, semua jadi satu membentuk
keindahan yang Subhanallah sekali. Bayangkan, jika sehari-harinya saya
menemukan motor, mobil, truk berlalu-lalang di kota, kali ini saya justru
menemukan primata masih bergelantungan di pepohonan. Kawasan masih hijau, dan
semoga tetap lestari sampai anak cucu kelak. Rasanya, nggak adil kalau
pemandangan asri seperti ini hanya generasi kami yang bisa melihatnya.

Perkebunan milik Suku Tengger.

Really loooove this! :*
Gerbang
Coban Trisula nampak tidak beraturan. Compang-camping. Di gerbang sana ada pos,
kami beristirahat dan tidur selama beberapa menit sembari mencari sinyal. Iya,
rasanya selama di kawasan pedalaman itu seperti terisolir, sama sekali nggak
dapat sinyal.

Coban Trisula.
Dari
pos Coban Trisula, jalanan makadam bisa diperkirakan berakhir hanya dalam
hitungan sepuluh menit saja. Berganti dengan jalanan mulus menginjak Coban
Pelangi sampai pada Tumpang. Seru, penuh kejutan, dan drama. Life just like
travelling. As far as you go, you’ll miss the way you come home.
Rincian
beaya:
Bensin: 44.000
Tiket
masuk: 36.000 (18.000 x 2)
Parkir
motor: 10.000 (5.000 x 2)
Minuman: 20.000 (5.000 x 4)
Sarapan: 40.000 (15.000 x 2 dan
10.000)
Toilet: 8.000 (2.000 x 4)
Edelwiss: 20.000 (10.000 x 2)
Total: 178.000 untuk berempat.
Tips:
- Bawa jaket, sarung tangan, kupluk (kalau perlu), kaus kaki, dan disarankan menggunakan sepatu. Sebab, berdasarkan pengalaman, sandal gunung is not recommended. Dinginnya menusuk kalbu. *halah*
- Bawa obat-obatan yang diperlukan. Waspada.
- Bawa uang secukupnya. Nggak ada ATM di sana. Terakhir ATM di Nongkojajar.
- Bawa kamera yang bagus! Beneran sayang banget kalau kameranya kacrut macam punyaku. But still, the best scenery are catched by your own eyes.
- Bawa baju secukupnya banget. Kalau nggak nginep, nggak perlu bawa baju ganti. *ya iyalah*
- Berdoa.
Tips:
- Bawa jaket, sarung tangan, kupluk (kalau perlu), kaus kaki, dan disarankan menggunakan sepatu. Sebab, berdasarkan pengalaman, sandal gunung is not recommended. Dinginnya menusuk kalbu. *halah*
- Bawa obat-obatan yang diperlukan. Waspada.
- Bawa uang secukupnya. Nggak ada ATM di sana. Terakhir ATM di Nongkojajar.
- Bawa kamera yang bagus! Beneran sayang banget kalau kameranya kacrut macam punyaku. But still, the best scenery are catched by your own eyes.
- Bawa baju secukupnya banget. Kalau nggak nginep, nggak perlu bawa baju ganti. *ya iyalah*
- Berdoa.
- Selamat bersenang-senang.
Comments
pengalanku ke bromo, via probolinggo lewat desa ngadisari jeng.
sip-sip! :)