Tujuh
Malam ini aku sendiri, tanpa Yayan, tanpa cerita panjang lebar, dan bahan lelucon. Semalam dia whatsapp kalau mau pulang kampung buat persiapan lamaran. Wajar, dia sudah berumur. Sudah cocok buat menikah dan punya anak. Pun aku, sebenarnya. Tapi lagi-lagi aku harus puas dengan beragam cerita pahit percintaan. Tertolak, ditolak, dan ditelikung. Hhh, yanasib.
Aku menyandarkan kepala pada sofa empuk berkulit gading, sesekali memejamkan mata, beristirahat dari memikirkan banyak hal. Di luar, langit mendung pekat, membuatku enggan beranjak dari posisi nyaman, meski sepi.
Ka, dia siapa? Teman dari masa lalu?
Mataku menutup kembali, memikirkan obrolan dengan Yayan. Iya, dia siapa? Teman masa lalu yang hadir kembali secara tiba-tiba? Telapak tanganku beralih pada kening, memijat pelipis, pening. Siapa dia, sih? Kenapa begitu tiba-tiba? Kenapa pula harus bertemu di pasar tradisional?
Sepasang kekasih mendorong pintu kaca yang berada tepat di sebelah tempatku duduk, membuat terjaga seketika. Sedetik-dua aku melirik, tanganku meraih ponsel--mengabaikan, memainkan smartphone. Ada saat di mana aku tidak bisa tidak untuk tidak bercerita pada Yayan. Dan itu hanya karena dia. Pertemuan tidak sengaja--untuk kedua kalinya--siang tadi membuatku sepanjang hari memikirkannya. Total memikirkan lelaki kampret yang sudah menolakku di zaman lalu. Halah, kenapa pula dia kembali hadir?
Aku mengetuk-ngetuk kepalaku gemas, menggaruk rambut berantakan. Memainkan telunjuk kiri diketukkan pada meja kayu. Gemas, galau, dilema.
Aku benar-benar masih ingat betul bagaimana dia menolakku dengan alasan hanya cocok sebagai teman. Iya, mungkin aku terlalu mengharap, jatuhnya jadi sakit. Terlalu GR. Tapi, apa salah juga kalau aku menganggap sms dan chat--iya, kami tidak pernah saling menelepon-- private itu lebih kepada bentuk dari perhatian? Ah, memang iya salahku. Dia baik pada siapa saja.
Bibirku mengerucut maju mundur, menghela napas tak keruan. Dasar cinta monyet, dibolak-balik juga tetap monyet kampret.
Buat kamu, yang pernah dan selalu istimewa. Kapan kamu akan datang dan duduk berdua denganku, bercerita banyak hal yang luput dari peredaran. Tentang mimpi-mimpi kita yang belum terajut, namun terpisah. Tentang kisah kita yang berubah wujud menjadi cinta.
Takdir. Apa mungkin ini takdir? Kamu kembali dengan perasaan tak bersalah, menyapaku untuk kembali bersama. Lagi-lagi sebagai teman.
Aku menghela napas panjang. Membiarkan mataku lelap sejenak ditemani lagu Unintended.
Comments