Bekerja, Bersedekah, Berhemat



jouzz.wordpress.com

Sejak kuliah, saya sudah bekerja meski berpenghasilan minim. Masih ingat betul pendapatan saya kala itu berkisar 20-50ribu rupiah perbulannya. Cukup kecil namun mampu mencukupi kebutuhan bulanan saya di sisi uang jajan bulanan yang mencapai 300rb.

Sejujurnya, pernah mendapatkan gaji minim namun segalanya terpenuhi membuat saya santai. Ibaratnya, Belanda masih jauh. Namun kata santai itu berubah setelah saya bekerja (yang sepenuhnya; bukan part time) dan memutuskan untuk menetap sementara di kota Malang. Saya menjadi kurang bersyukur dan selalu merasa kekurangan. Ini juga yang membuat pekerjaan saya tidak bertahan lama.

Beralih ke Surabaya dengan pengalaman demikian, kini saya bekerja di lapangan. Sesuai dengan cita-cita saya jauh-jauh hari. Saya ingin bekerja di lapangan dan bersenang-senang. Bagaimana pendapatan? Belajar dari pengalaman, saya tidak banyak menuntut. Saya berusaha menerima berapapun penghasilan yang diberikan. Terlebih kondisi berada di rumah sendiri membuat urusan perut bisa dikatakan, aman, sentosa, damai, dan sejahtera.

Bekerja di lapangan menuntut saya bertemu dengan banyak orang baru. Dari kalangan bawah hingga kalangan menteri sekalipun. Bekerja di lapangan juga memaksa saya untuk mau tidak mau harus mengucap banyak-banyak syukur. Bagaimanapun, nyatanya masih banyak orang yang keadaannya jauh di bawah saya--kondisi keluarga saya--meski banyak yang jauh di atas saya. Tapi, setiap motor melaju, ada banyak kisah yang membuat saya sadar dan paham akan keadaan normal ini.

Sebut saja, kejadian beberapa waktu lalu. Seusai menunaikan salat Asar di masjid, saya bersiap untuk kembali mengenakan sepatu. Pemandangan sederhana membuat saya berpikir, betapa hidup saya jauh lebih beruntung dibandingkan 97 juta penduduk miskin di Indonesia. Seorang penjaja minuman keliling berhenti di depan masjid dan bersiap mengambil wudu. Tapi sebelumnya, dia menyelipkan uang ke kotak amal yang berada di depan masjid. Bayangkan, berapa puluh ribu uang yang dihasilkan setiap harinya jika harga pergelasnya hanya dijual dua ribu rupiah? Asumsinya, jika 20 gelas terjual setiap harinya, berarti dia mendapatkan penghasilan sebesar 40 ribu rupiah. Itu kalau laris. Kalau tidak? Belum dipotong beaya makan dan uang untuk ditabung. Sebenarnya, bukan urusan saya menghitung pendapatan orang. Tapi jika melihat jumlah penghasilan tidak menentu setiap harinya, membuat saya berkaca, mengkalkulasi pendapatan pribadi. Betapa saya jauh lebih beruntung. Lalu, jika demikian, mengapa masih pelit bersedekah? Tidak ingatkah janji Allah yang menjamin rizqi hamba-Nya jika rajin bersedekah? Saya malu.

Lain lagi dengan pemandangan yang membuat saya kembali merenung. Malam itu, sekitar pukul setengah 12  saya baru sampai rumah setelah liputan. Lapar, saya memutuskan untuk membeli nasi goreng dekat rumah. Saya melihat seorang pemulung dengan bawaan super menggunung tengah berjalan, mungkin mau pulang. Saya berpikir, pulang larut, berangkat pukul empat subuh, apa sempat makan? Kontras sekali dengan kondisi saya. Lagi-lagi saya malu. Masih banyak keadaan di lapangan yang seringkali membuat saya miris. Miris pada diri saya, keadaan timpang, dan pemandangan yang ada.

Bukan saya mau sesumbar. Tapi saya ingin bercermin, merefleksikan segala yang saya dapat pada kenyataan. Betapa kondisi di lapangan penuh dengan pelajaran. Filosofi kehidupan. Dimana penjaja susu mengajarkan saya bahwa bekerja pada dasarnya untuk berbagi, bersedekah. Bahwasanya, di bawah kita, semiskin, sekurang apapun kondisi kita, nyatanya masih banyak yang jauh lebih membutuhkan. Mungkin grafisnya begini, di bawah saya ada penjaja susu, di bawah penjaja susu masih ada tuna wisma, gepeng, fakir miskin, dan sebagainya. 

"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bahagian." (Adz-Dzariyat: 19)

Cukup jelas ayat tersebut menerangkan. Bahwasanya, di sebagian harta saya, ada bagian untuk mereka yang membutuhkan. Dan saya rasa, bekerja bukan hanya mengajarkan untuk bersedekah. Tapi juga untuk berhemat. Tidak menghamburkan uang, tidak berlebihan, dan bermewah-mewahan, serta hidup sekucupnya. Selain bermewah-mewahan adalah salah satu sifat setan, juga hidup berlebihan adalah indikasi ketimpangan sosial. Bukankah Rosul sudah mengajarkan untuk hidup sederhana dan secukupnya? Pelajaran, bukan hanya diajarkan di bangku sekolah. Tapi lapangan dan pengalaman hidup orang lain adalah pelajaran yang sesungguhnya. Maka, bersyukurlah hidup seperti ini. Alhamdulillah wasyukurillah.

Hiduplah sederhana seolah kamu akan meninggalkan dunia. Hiduplah secukupnya, seolah kamu akan miskin esoknya.  

Comments

HALOnetizen said…
tulisanmu ternyata asyik tik .. ibarat kata "suka" pada bacaan pertama :) mengalir ...dan enak dibaca ..salam kenal ya :D padahal kita sering kopdar tapi baru kali ini aku nyasar dari google :)
Octanasquare said…
uhuuyyy tak diragukan lagi tulisan seorang jurnalis mah :D
Anonymous said…
alhamdulillah [ok]
Atiqoh Hasan said…
terima kasih sudahh mampir teman-teman. :d

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan