City Tour: Pantai Ria Kenjeran (Kenpark)
I start my destination from the
first step I made.

Pintu gerbang utama Kenpark
Liburan kali ini bertepatan dengan
momen liburan sekolah dan kuliah. Jadi, saya langsung mengajak Tita dan Ilma
untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar kota Surabaya. Pilihannya hanya
empat tempat wisata; KBS, Pantai Ria Kenjeran, THR, dan wahana di lantai 4
Delta Plasa. Pilihan jatuh ke Pantai Ria Kenjeran karena kami berencana untuk
main layang-layang dan naik kapal.
Pukul 10,15 kami berangkat dengan
menggunakan motor. Butuh waktu sekitar 30 menit dari rumah untuk sampai ke
Kenjeran jika ditempuh dengan kecepatan sangat hati-hati. Secara beban motor
berat, broh! :p. Sayangnya, setelah on fire mau main
layang-layang di Pantai Kenjeran lama (fyi, Pantai Ria Kenjeran terbagi
dua; lama dan baru.) ternyata di tengah jalan, akses satu-satunya yang bisa
ditempuh ternyata diblokir secara sepihak oleh warga sekitar karena kondangan. Hahaha,
iya, sepihak. Pengguna jalan, dilarang lewaaaat!
Akhirnya, kami putar balik dan
beralih ke Pantai Ria Kenjeran baru. Lama dan baru ada perbedaan yang cukup
mencolok. Selain dari harga tiket masuk yang selisih 2.000 (lama Rp 6.000, baru
Rp 8.000), dari sisi fasilitas, dan tempat parkir juga berbeda. Untuk fasilitas,
di Kenjeran lama pengunjung bisa bermain di pasir pantai yang tidak bersih
lagi. Sedangkan di Kenjeran baru, pengunjung diajak untuk menikmati aneka jenis
permainan gratis dengan rimbunan pohon yang menyejukkan. Arena parkir Kenjeran
lama mirip parkir di jalanan umum, sedangkan di Kenjeran baru ada tempat parkir
khususnya.
Sebagai warga asli Surabaya,
mungkin ada kesan, ngapain juga saya main ke Kenjeran yang terkesan kumuh? Kenapa
nggak ke tempat lain? Jadi, begini. Kenjeran, sejauh ini selalu identik
dengan tempat mesum dan kotor. Hingga berusia hampir seperempat abad, saya
tidak pernah peka dengan kondisi ini. Sekilas, jika saya tengah kerja di daerah
ini, saya melihat hanya sambil lalu. Tapi jika saya menyempatkan satu hari
untuk melihat langsung, mungkin saya bisa tahu alasan penempelan kesan
tersebut.
Kenjeran terletak di ujung Timur
Surabaya dan berbatasan langsung dengan Pulau Madura. Kondisi akses di sepanjang
Kenjeran tidak dilengkapi dengan lampu jalan yang layak, serta penuh dengan
semak dan pepohonan. Kondisi ini diperparah dengan adanya bangunan-bangunan
liar yang sudah tidak terawat, apalagi digunakan. Lengkap dengan kondisi
tersebut, Kenjeran akhirnya menjadi tempat favorit bagi pecandu cinta yang
ingin berbuat tidak sepantasnya dengan harga murah. Tidak sedikit yang
berpikiran demikian.
Lain kondisi akses jalanan
Kenjeran, saya mencermati jalanan masuk menuju kawasan Pantai Ria Kenjeran baru
atau disebut Kenpark, Kenjeran Park. Berbeda dengan Kenjeran lama, Kenpark
terletak lebih dekat dengan jalanan utama Jalan Kenjeran. Posisinya menonjol di
sisi kanan jalan. Pintu gerbang dibangun mencolok dengan aksen bangunan
kerajaan dan berwarna-warni. Bagus? Lumayan. Hanya satu yang kurang, akses
pintu gerbang masih berupa pasir, bukan jalan semen, paving, atau beton. Kondisi
ini membuat Kenpark tampak kumuh. Apalagi genangan air sisa hujan tampak di
mana-mana.
Masuk Kenpark, pengunjung akan dikenakan tarif permotor
untuk dua orang sebesar 8.000 rupiah. Sedangkan untuk mobil sebesar 10.000. Meski
demikian, tarif ini ternyata juga berlaku bagi motor dengan tiga penumpang. Jadi,
bisa saja permotor isi empat-lima orang tarifnya sama (kalau kuat dengan beban
berat dan niat, sih :p).
Dari gerbang utama, pengunjung akan diajak untuk menikmati
pemandangan di sepanjang kanan kiri jalan. Isinya? Tanaman-tanaman. Ada persimpangan
jalan di sini. Mau ke Pura Sanggar Agung, Kolam Renang, atau ke Pantai,
semuanya dijelaskan lewat penunjuk arah. Karena kami ingin ke Pantai, kami
memilih jalur lurus. Setelah parkir, kami masuk gerbang. Dan tarra! Di sini
kami kebingungan. Setelah masuk arena Pantai, tidak ada penanda sama sekali. Mau
ke kanan, kiri, atau lurus, serahkan pada kaki melangkah.

Pintu masuk dan keluar
Kami memilih jalur lurus dengan pintu masuk, ternyata buntu.
Mau ke kanan, buntu juga. Pilihan terakhir, jalur ke kiri yang tampak lebih
luas. Masuk ke jalur kiri, pengunjung disambut dengan jejeran kursi dan kedai-kedai
mini untuk bersantai. Umumnya, kedai-kedai menjual makanan ringan dan berat
khas tepi laut Surabaya, seperti Lontong Kupang dan Lontong Balap. Yang menarik,
tempat jajan di sini dibentuk menyerupai food road pecinan dengan
lampion-lampion merah menghiasi langit-langit. Mau foto-foto? Bisa.
Setelah melintasi kawasan food road, pengunjung
bisa menikmati rimbunan pepohonan dengan suasana sepoi-sepoi, menyejukkan. Ditambah
dengan aneka jenis permainan, seperti ayunan, jungkat-jungkit, dan
teman-temannya. Ada juga fasilitas menunggang kuda dengan beaya sebesar Rp
15.000 untuk satu kali putaran perdua orang.


Food road pecinan

selamat miring! :))
Sambil menjaga tas, saya membiarkan Tita dan Ilma mecoba
permainan sambil berlari-lari. Serius, posisi seperti ini semacam menggantikan
posisi emak yang biasanya kebagian menjaga tas :p. Melihat-lihat kondisi
sekitar, saya mencari satu hal penting yang sedikit janggal. Tempat sampah. Di sekitar
tempat saya duduk, saya jarang menemukan tempat sampah. Kalau pun ada, tidak
diletakkan di tempat yang sering dikunjungi atau disinggahi pengunjung. Tapi justru
di sudut-sudut. Sayang sekali. Menurut saya, inii yang membuat kondisi Kenpark
akan tampak kumuh. Belum lagi tatanan semak belukar dan pepohonan yang tidak
tertata apik. Bukan tidak mungkin, pengunjung membuang sampah di sembarang
tempat.


Aneka permainan dan patung binatang
Menurut saya, sebagai organ vital dari fasilitas umum, tempat
sampah wajib diletakkan di tempat-tempat dengan intensitas pengunjung yang
tinggi. Katakanlah, persepuluh sampai lima belas meter, mungkin? Yang jelas,
untuk memberikan kesan fasilitas umum bersih, dimulai dengan tempat sampah. Iya,
kalau seluruh pengunjung sadar, kalau tidak ada tempat sampah, sampahnya
dikantongin sendiri dan baru dibuang setelah nemu, kalau nggak?
Selain tempat sampah, sepinya pengunjung membuat sejumlah
tempat duduk beralih fungsi menjadi tempat tidur. Eng ing eng! Iya,
pengunjung banyak yang tidur di tempat duduk. Yang lebih unik lagi, di Kenpark—yang
pengunjungnya didominasi oleh anak-anak—ternyata masih ada pasangan mesum. Akhirnya,
saya tidak hanya mendengar cerita, tapi melihatnya sendiri. Pasangan mesum
menggunakan fasilitas tempat duduk yang menghadap tembok dan sepi. Jadi kalau ketahuan,
hanya punggungnya saja yang terlihat. Nggak malu-malu amat, mungkin,
pikirannya.
Well, jadi, sebenarnya apa yang bisa saya simpulkan
dari asah peka cepat di Kenpark? Ada baiknya, rebuild up fasum menjadi
pilihan pertama yang bisa dilakukan pengelola. Alasannya, dengan pembenahan,
Kenpark tidak akan memberikan kesan kumuh. Penataan tanaman baik, tempat
sampah ditambah. Dengan pembenahan, faktor mesum kayaknya bisa
dikurangi. Bukan itu saja, pembenahan juga akan menarik wisatawan domestik
untuk berkunjung ke tempat wisata ini, yang tentunya berdampak pada pemasukan daerah.
Tapi, untuk mewujudkan semua itu, tentu diperlukan peran serta masyarakat. Jadi,
jangan andalkan penguasa, mulai dari langkah kecil dalam diri kita
masing-masing. Siapa tahu, pengunjung yang memiliki kesadaran tinggi akan
lingkungan memberikan inspirasi bagi pengelolanya. Siapa yang tahu?
Comments
Travel Surabaya Jember