FF: Rona Rona
Rona mengambil handuk yang tersampir di kursi makan,
mengelap wajahnya yang basah oleh air. Hari yang cukup melelahkan. Sambil menepuk-nepuk
wajahnya dengan handuk, pikirannya melesat ke ringkasan aktivitas yang
dilakoninya sejak pagi hari. Bangun tidur, malas-malasan, curhat-curhatan,
mandi, sarapan, hang out sama Aji yang ujung-ujungnya dicurhatin juga,
dan pulang malam. Kalau ditotal, sehari penuh hari liburnya dihabiskan bersama
sahabat tampannya itu.
Kedua pundaknya dinaikkan, menghela napas. Bersahabat dengan
Aji selalu memberi cerita tersendiri. Susah, senang, lupa, kebodohan, pertemanan,
persaudaraan, pertengkaran, semua dijalani bersama. Bahkan, hal-hal konyol yang
remeh sekalipun. Setidaknya, satu kalimat yang ada di pikiran Rona, bersahabat
dengan Aji selalu menyenangkan, menentramkan. Tapi, jika Aji jatuh cinta
dengan wanita lain, apakah persahabatan masih akan menyenangkan?
Seulas senyum disunggingkan Rona seiring dengan gelengan
kecil. “Kenapa aku harus bersusah payah memikirkan masa depan Aji jika tidak
bersamaku? Seberapa penting kehadirannya untukku?” tanyanya pada diri sendiri. Langkahnya
berayun menuju kamar seraya mengalungkan handuk di leher.
Jarum jam dinding menunjukkan angka sebelas, belum cukup
larut bagi seorang Rona yang lebih sering menghabiskan waktu di jalanan untuk
sekadar mencari inspirasi. Lalu lalang orang di jalanan sering kali menjadi
bagian dari ide tulisan yang kadang juga dilabuhkan di kanvas putih. Rona seorang
penulis yang belakangan mulai belajar melukis hanya karena komentar Aji, penulis
yang juga pelukis kayaknya seru ya, Na? Bisa menuangkan ide di kertas dan
kanvas. Lucu aja gitu. Lalu tidak berapa lama kemudian, dirinya dengan
bangga menyebutkan niatan untuk melukis. Saat itu, Aji tertawa disusul dengan ledekan
seperti biasa.
Sebenarnya, Rona dan Aji bukanlah sahabat kental sejak
kecil. Mereka hanya dipertemukan oleh waktu yang pada akhirnya memaksa keduanya
untuk sering bersama. Peruntungan dan banyak kebetulan membuat keduanya sepakat
untuk menjadi sahabat. Aji sendiri merupakan seorang insinyur di perusahan telekomunikasi.
Bertolak belakang dengan keseharian Rona yang cenderung santai dan penuh
imajinasi. Tapi, nyatanya, perbedaan tidak membuat keduanya jauh, justru
semakin dekat.
Rona ingat betul, saat itu, mereka bertemu di rumah makan
yang menjajakan menu makanan nasi Padang di dekat rumahnya. Rona yang tengah
kelaparan memesan rendang tanpa sayur, sedangkan Aji memesan menu yang sama
dengan sayur. Keduanya duduk di meja yang berbeda, sama-sama seorang diri. Saat
pramusaji menyajikan menu makanan pesanan, Rona langsung melahap tanpa mengecek
betul tidaknya pesanannya. Hap!
“Kayaknya itu pesanan saya, deh. Saya pesan pakai sayur
soalnya,” celetuk suara laki-laki dari seberang meja Rona.
Disusul dengan suara lirih dan permohonan maaf pramusaji. “Maaf,
Mbak, saya salah kira.”
Jdeng. Rona menelan nasinya cepat-cepat, menimpali. “Ya
udah, ambil aja sayurnya. Toh, belum saya makan. Nih,” Rona mengambil garpu, berniat
memberikan sayuran dari piringnya. Kontan saja Aji melotot sejadi-jadinya.
“Nggak usah, makasih. Saya bisa pesan lagi,” sahutnya kaget.
Cuek, wanita berambut pendek itu tertawa. “Nah, itu pinter. Mengganggu
orang makan aja,” sahutnya datar.
Dering suara ponsel di atas bantal cukup mengagetkan. Baru saja
dirinya hendak berbaring, tapi urung. Melihat nama yang tertera di ponsel
membuat tubuhnya enggan meneruskan niat. Aji. Telunjuknya otomatis menggeser
simbol hijau di layar sentuh ponselnya, lalu menekan loudspeaker.
“Apalagi, Ji?”
Suara di seberang tertawa keras. “Belum tidur, Na?”
Rona menepuk-nepuk bantal, mensugesti diri sendiri agar
bantal terasa lebih empuk setelah ditepuk. “Gimana bisa tidur kalau kamu telepon
begini?”
Aji kembali tertawa. “Ya, maaf.”
Bibir Rona mengerucut. “Buruan, deh, kenapa lagi dengan Key?
Kenapa lagi dengan kamu? Kenapa lagi dengan kalian, hm?” tanyanya memberondong.
Seharian membicarakan tiga topik yang sama terus terang saja membuatnya mual. Secara
dia mudah bosan dengan satu topik yang sama. Tapi dia tahu betul, sahabatnya
tengah jatuh cinta. Mengalah sedikit tentu tidak masalah.
Laki-laki di seberang cengengesan. Sementara Rona berbaring
dengan ponsel di sebelah telinganya. “Jadi, Key barusan cerita sama aku, Na,” sahutnya
memulai cerita.
“Hm-mm. Then?”
“Dia cerita soal Gilang. Kamu kenal?” suara Aji terdengar
datar. Cengengesan dan tawanya memudar.
Di lain tempat, Rona mengernyit, mencoba mengingat-ingat
siapa lelaki yang disebutkan sahabatnya. Posisi tidur telentangnya berubah
menjadi duduk, mematikan loudspeaker. “Enggak. Siapa emang?”
Rona masih tidak mengerti arti pembicaraan Aji. Meski sudah
balik bertanya, pikirannya tetap beterbangan. Gilang siapa ya? Batinnya
pelan.
“Gilang itu mantan calon pacarnya Key, Na.”
“Hah?” Rona mencolot seketika. Diakui atau tidak, ada
sebagian hatinya yang ikut mencelos mendengar kalimat Aji barusan. Dia masih
tidak percaya. “Jangan bercanda, deh, Ji. Kamu bilang Key ngasih perhatian ke
kamu? Kok dia punya gebetan, sih?” mulutnya menganga, pikirannya masih tidak
bisa mencerna. Jujur saja, yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana
perasaan Aji? Bagaimana reaksinya begitu mendapat kalimat pernyataan dari Key,
wanita pujaannya? Pasti menyakitkan.
Dia tahu, setahun terakhir pembicaraan mereka memang berubah
total sejak Aji mengenal Key. Pembicaraan yang dulunya seputar kegiatan mereka,
berubah menjadi Key, Key, dan Key. Rona memang bosan, tapi dia tidak ingin
mengecewakan Aji, sahabatnya. Lalu, ketika pembicaraan seputar Key, Key, dan
Key harus terhenti sekarang juga, kenapa ada rasa kehilangan yang menusuk
batinnya? Seperti duri ikan yang perlahan menggerogoti rasa nyaman kerongkongan
lepas.
Dari pembicaraan dengan Aji itu juga dirinya tahu Key seperti
apa. Meski belum sempat bertemu, setidaknya gambaran Key sebagai sosok yang
menyenangkan sudah ada di depan mata. Tapi sekarang?
Rona menelan ludah keras-keras, menahan rasa perih yang perlahan
menjalar. “Kok bisa gitu, Ji? Memangnya dia cerita apa ke kamu?”
Tanpa diberi pertanyaan sekalipun, batin Rona tahu, kondisi
lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu tidak sedang baik. Pikirannya pasti ke
mana-mana. Tapi, dia lebih tahu keadaan. Keadaan yang memaksanya untuk tetap
duduk di kamar, menunggu pagi. Karena dia paham, Aji pasti butuh waktu untuk
sendiri.
Helaan napas Aji terdengar. Meski sebenarnya hati Rona khawatir,
dia berusaha tenang, setidaknya menurut dirinya sendiri. “Ya. Dia baru saja
cerita kalau Gilang menolaknya. Dia menangis, Na. Bisa dibayangkan, seseorang
yang kita cintai menangisi orang lain yang dicintainya, lalu menceritakan
semuanya pada kita. Kamu bisa bayangkan, Na?” suara Aji bergetar membuat bulir
air yang ditahan Rona lepas tanpa kendali.
Itu terlalu menyakitkan. Rona hapal bagaimana rasanya berada di tempat seperti itu. Dia pernah merasakannya. Dan itu dengan Aji. Bibir Rona bergetar hebat, dikatupkan kencang-kencang menahan tangis yang kini menggerogoti hampir sepenuh hatinya. Cinta selalu menyakitkan baginya.
“Aku nggak tahu, kenapa aku bisa bertahan dengan keadaan
yang sebenarnya tidak berpihak padaku, Na,” ucap Aji yang kini terdengar lelah.
Suara menggebunya nyaris hilang seluruhnya.
Rona menyeka tangis tertahannya, mendongakkan kepala, dan
menghembuskannya kuat-kuat. “Aku tahu, karena kamu kuat, Ji. Kamu juga pasti
tahu, kenapa Tuhan justru memberimu keadaan yang seperti sekarang ini? Karena Tuhan
tidak ingin melihat kamu lebih kecewa dibandingkan hari ini,” sahutnya mantap. Hatinya
berdesir mengucapkan kalimat yang sebenarnya lebih dia butuhkan. Kalau ingin
gambling, Rona yakin, dirinya adalah wanita lemah yang hanya ingin dianggap sok
bijak dan tegar. Padahal, hatinya kosong melompong.
Suara di seberang hilang seketika. Berganti dengan suara jangkrik
kelaparan.
Di atas sana, langit kelam. Hanya satu-dua bintang yang
berani beradu dengan malam, menemani dua anak adam yang membisu diam. Mungkin
saja mereka beradu pikir, mencari pembenaran atas hati masing-masing. Bahwa sebenarnya,
cinta tidak perlu dicari. Apalagi dipaksa. Karena hatilah yang menunjukkan,
memertontonkan pembenaran sejati.
Comments