FF: Itu Aku
Sudah dua setengah jam aku duduk berhadapan dengan lelaki paling menyebalkan, Tian, sahabatku. Ada lebih dari satu jam aku bercerita heboh tentang gebetan yang baru kukenal dua minggu lalu. Tentang kebaikannya, keramahannya, juga kegantengannya pastinya. Dengan semangat menggebu, aku bertutur pada Tian. Tapi, selama itu, tidak juga kulihat ekspresinya menyenangkan. Justru cibiran yang sering ditampakkan di bibirnya. Huh.
"Kamu kenapa, sih, An?" tanyaku gemas. Aku melipat tangan, cemberut. Kamu bisa bayangkan, cerita tentang gebetan, tentang kesukaanmu, tapi ditanggapi dengan seadanya oleh orang terdekatmu. Mangkel.
Tian di depanku tersenyum sinis. "Udah ceritanya tentang cowok ganteng?" tanyanya langsung. Aku manyun.
"Udahlah. Didengarin aja nggak, masa iya mau dilanjutin," ujarku geregetan. Mataku membulat, melotot.
Lelaki di depanku tertawa, badannya maju, tangannya terjulur, mencubit pipiku. "Yeee, gondok."
Demi apa, aku masih betah bersahabat sama orang macam begini. Sudah menyebalkan, nggak tahu aturan pula. "Stop! Nggak tahu diri banget. Udah nyebelin, masih cengar-cengir," semburku gemas. Aku nggak mau kalah pokoknya. Enak aja dia main-main sama aku. Cerita nggak didengarin, main goda sembarangan. Huh.
Kali ini Tian terbahak, mengacak rambutku. "Tau, nggak, Sa, apa yang aku suka dari kamu?"
"Kamu suka aku, An?" aku menyela cepat.
"GR! Bukan. Aku suka kalau kamu gondok begini. Ngegemesin," tangan Tian kembali terjulur, menjentikkan telunjuk ke hidungku. Senyumnya terkembang.
Terus terang saja, hal yang paling kubenci dari Tian adalah sikapnya yang ngawur dan seenak jidat. Lah, dikira aku bisa dengan mudah memaklumi gitu. Jangan harap. "Jayus," sahutku ketus. Aku masih sakit hati diabaikan begitu saja ceritaku. Cerita tentang gebetan adalah hal yang paling membuatku semangat belakangan ini.
Senyum Tian tersungging kalem. "Maaf, Sa. Serius, deh, sekarang," tangannya dilipat ke depan. Pandangannya lurus menatapku. Membuat bibirku datar pelan-pelan.
Seksama aku bersiap mendengarkannya.
"Mau tanya, Sa," suara Tian terdengar serius. Kedua alisku terangkat.
"Apa?"
"Kenapa, sih, kamu suka sama cowok ganteng?" tanya Tian datar, nyaris membuat jantungku melompat.
Aku tertawa, memukul-mukul meja. "Apaan, An?" kadang, Tian memang upredictable. Seperti sekarang.
Mimik wajahnya langsung merengut. "Ini serius, Sa. Kenapa, sih, suka sama cowok ganteng? Memangnya yang nggak ganteng kurang memikat ya?" tanyanya lagi. Aku semakin tertawa. Tian sakit kayaknya. Bisa-bisanya dia tanya hal remeh macam begini.
"Sa..." panggilnya.
Aku membungkam mulutku paksa. Dengan sisa tawa yang masih ada, aku mengangguk. "Penting ya?"
"Banget." Tian berkata tegas.
"Kenapa?"
"Heran aja. Padahal, cowok ganteng nggak selalu berarti dia setia. Bisa jadi tukang selingkuh dan suka main tangan," lelaki berkacamata itu membeberkan. Membuatku seketika mengangkat alis. Kok?
"Tapi bukan berarti cowok kurang ganteng juga setia dan nggak suka main kasar, kan?" tanyaku berkilah.
"Tapi ada!" Demi apa, baru kali ini aku mendapati Tian begitu menggebu dengan pendapatnya. Iya, sih, dia selalu ngotot pada apa yang diyakininya. Tapi masalah lelaki ganteng? Kenapa harus?
Aku menghela napas panjang. Bosan dengan pembahasan pendek tapi menjemukan. "Iya ada. Tapi susah dicari," aku mengalah. Bahasan fisik makhluk Tuhan susah untuk diakhiri.
Sedetik-dua kami sama-sama terdiam. Tian tidak membalas kalimatku. Hanya pandangannya yang bermain tajam menyudutkanku. "Tapi dia ada, Sa..."
Hah, bahkan urusan remeh macam begini kami harus adu mulut. Demi apa coba? Aku mengangguk, lagi-lagi mengambil langkah mengakhiri. "Oke, ada. Di mana dia?" tanyaku datar sambil meminum mocktail yang tinggal separuh gelas.
"Di depanmu."
Mataku mengerjap-kerjap. "Maksudnya, kamu?"
Comments