FF: Legalitas


Tap… tap…

Ran berlari kencang. Di tangannya menggenggam selembar kertas yang baru didapatnya. “Kurasa kamu harus baca ini, harus!” sahutnya tegas dengan napas satu-dua.

Aku yang baru mengambil koran pagi di halaman rumah langsung menoleh, mengernyit. “Ada apa, Ran? Kenapa kamu begitu terburu?” tanyaku bingung. Pandanganku beralih pada headline koran, lalu menatap Ran dan koran bergantian. Sama bingung.

Headline koran pagi itu menyebutkan peristiwa gempa di kawasan barat Indonesia, Aceh. Seketika jantungku berdegup kencang. Aceh? Lagi?

Seharian kemarin aku sibuk luar biasa. Tidak sempat membuka sosial media sebagai penyampai pesan tercepat saat ini. Tak bisa melihat televisi, juga bermain instant messenger. Rasanya hampir pecah kepalaku kemarin. Dan ternyata ada gempa. How come? Pikiranku seketika melayang pada tunanganku yang tengah dinas pendidikan dokter di sana. Kabarnya, sebagai dokter baru, harus mau ditempatkan di mana saja untuk mendapatkan surat izin praktek. Hah, memang iya begitu? Aku sendiri tidak begitu paham dengan profesi dan alur mendapatkan gelarnya. Yang aku tahu, dia hanya memperbolehkan aku bekerja di bidang yang aku sukai, perbankan.

Di usia yang masih muda, dua puluh tujuh tahun, aku kilat meraih posisiku saat ini. Lumayan, menjadi kepala cabang. Sebenarnya aku tidak pintar. Tapi aku cerdas dan taktis memanfaatkan peluang, serta pintar dalam lobi-lobi. Aku punya banyak ide cemerlang yang biasa membuka jalan keluar bagi pimpinan jika tengah macet. Aku hebat? Mungkin saja. Yang jelas, aku kreatif.

Kulihat, Ran masih mengatur napasnya. “Ran, Aceh gempa? Kok aku baru tahu?” tanyaku sambil menggiringnya untuk duduk di kursi teras.

Ran menjentikkan jemarinya. “Sudah kuduga. Semalam kamu pulang larut, pasti nggak tahu kejadian heboh yang ramai di dunia burung,” sahutnya sambil menengok ke dalam rumah. Aku paham, dia haus. Langsung kupanggilkan ART yang tengah bersih-bersih rumah untuk mengambilkan dua gelas minuman.

Aku mengangguk. “Banget. Ghani gimana kabar ya? Semalam aku lupa Whatsapp-an. Benar-benar kerjaan yang bikin nyaris gila, sampai lupa kalau punya tunangan,” aku bersungut-sungut cemas.

Saat itu, perasaanku gelisah luar biasa. Bayangkan saja, banyak korban ditemukan tewas, bangunan hancur, dan ratusan orang luka-luka. Apa kabar, Ghani? Aku menggigit bibir. Cemas. Gelas yang dantarkan ART-ku tandas sudah. Perasaan panas dan khawatir melingkupi.

“Nih,” sebuah kertas—yang sekilas kulihat adalah surat—disodorkan Ran. Aku meraihnya dan membacanya cepat.

“Itu surat dua hari lalu. Aku juga baru tahu tadi pagi saat membuka kotak surat,” Ran bertutur, sementara aku menuntaskan isi surat dengan perasaan yang sukar kugambarkan.

Dari Ghani. Dalam surat itu dia bercerita. Kondisi Aceh dan Bener Mariah—tempatnya bertugas, kondisi masyarakat, dan kondisinya sendiri. Kompleks. Berulang kali aku menelan ludah, membayangkan kondisinya—kondisi saat gempa belum terjadi. Sudah beberapa bulan kami tidak sempat bertemu. Aku rindu. Tapi tertahan. 

“Tahu nggak, kenapa surat itu dikirim ke alamat rumahku?” Ran membuyarkan bacaanku. Aku menggeleng.

“Dia tahu kamu gampang drop. Nih,” gadis yang duduk di sampingku menyodorkan benda lain dari saku kemejanya. Cincin. Aku menelan ludah keras. Apa maksudnya?

Belum habis cemasku dengan gempa, dia mengembalikan cincin. Kalau memang dia ingin membatalkan pertunangan ini, mestinya tidak begini. Bukan sepihak seperti ini. Aku tahu, aku terlalu sibuk dengan duniaku. Tapi aku masih bisa bersosialisasi. Aku masih bisa diajak bicara. Kenapa dia tidak telepon? Aku mangkel.

Di sisiku, Ran tersenyum. “Drop. Aku rasa, semua akan merasakan hal yang sama denganmu, Nat. patah hati, hancur lebur.”

Aku menoleh ke arahnya. Kenapa dia tersenyum? Di saat aku luka begini.

“Kamu akan bersukur jika kamu tahu sebabnya, Nat,” Ran mendekat, meraih tanganku. Menenangkan tangisku yang sedikit lagi pecah. 

Dia mengangguk pelan, “Kira-kira, kalau Ghani jujur di depanmu dan bilang tentang orientasi seksualnya, kamu bakal apa? Gimana reaksimu?”

Ucapan Ran menusuk jantungku keras. Orientasi seksual? Aku terbelalak. “Maksudmu?”

“Ghani terbang ke Belanda mencari legalitas. Dia kepincut dengan rekan sesama dokter di sana. Kamu mau apa?”

Kali ini, kalimat Ran tidak hanya menusuk jantungku, tapi membunuhku. Aku mematung.

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Mengajak Bayi Naik Bianglala Alun-alun Kota Batu