Lost in Jogja #1
Monumen Tugu, monumennya FTV :)).
Jogja. Mungkin bagi sebagian orang terdengar biasa saja. Tapi, bagi saya, Jogja punya arti tersendiri. Dulu, zaman saya masih SD, cukup sering saya dan keluarga berlibur ke Jogja. Terakhir, kelas 2 SMP, tahun 2002--ketauan tuanya :)))-- setelahnya, saya hanya bisa berangan kapan kembali. Maka, setelah hampir sepuluh tahun saya berangan, ada satu kesempatan di mana saya bisa berlibur ke Jogja. Yakni, setelah lebaran. Rencana ke Jogja sendiri hanya sekilas, sebatas lewat. Namun, saya serius. Jika memang tidak ada teman, kenapa tidak bisa sendiri? Toh, setiap harinya pekerjaan saya berkeliling sendiri. Saya pasti bisa.
Sekitar H-7, di sela-sela kerja, saya mengecek ketersediaan tiket kereta api via online tujuan Jogja. Di situ, saya sekaligus pesan tiket PP kelas bisnis-ekskutif. Bukan apa-apa, tiket ekonomi sampai akhir Agustus sudah ludes soalnya. Jadi pilihannya, tinggal iya atau tidak. Apalagi, kedua tiket yang saya pesan tersebut hanya tersisa satu. Artinya, pilihan 'iya' harus sesegera mungkin diambil dalam hitungan menit. Kalau tidak? Hilang sudah kesempatan liburan. Harga tiket kereta PP 180.000.
Menyusun keberangkatan tanggal 13 Agustus 2013, dalam kurun waktu satu minggu, saya tidak punya waktu untuk online sekadar mencari tujuan wisata. Hari saya tersita di lapangan, kantor, dan rumah. Maklum saja, musim liburan dan lebaran, pikiran dan tenaga saya multitasking. Bagaimana caranya masih bisa silaturahim--meski nggak full-- dan tetap kerja. Lumayan menyita perhatian. Apalagi pas malam lebaran, badan rasanya remuk *malah curhat :)))*. Maka, jadilah saya berangkat dengan peta Jogja. Blind trip!
Blind trip. Sepertinya seru. Memang seru, tapi nyali saya masih ciut. Jogja yang dulu dan sekarang pasti berbeda. Apalagi ingatan saya mudah terganggu alias pelupa akut, ya mana ingat :))).
Beruntung, saya punya teman dunia maya, plurker Jogja [special thanks to @masjek, @restiizati and her friend, dan Menik, teman kuliah beda jurusan :)]. Empat orang ini yang membantu saya selama di Jogja. Masjek penunjuk arah-penginapan dan penyusun rundown, Rere yang minjemin motor untuk keliling Jogja, Temannya Rere yang nganterin motornya, dan Menik yang nemenin Whatsappan sambil jadi penunjuk arah. Ah, liburan saya tidak sendiri ternyata ya? :p
Well, d-day has came. Saya berkemas dan siap berangkat dengan peta buta. Tips: Kalau berencana memborong banyak baju, ada baiknya membawa minim baju ganti. Hal ini memudahkan pergerakan dan bawaan saat pulang. Perjalanan Gubeng-Tugu membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam yang saya gunakan untuk tidur sepenuhnya karena malam sebelumnya dari Batu dan kurang tidur. Selama perjalanan, saya masih kurang percaya dengan apa yang akan saya lakukan. Benar tidaknya masih diragukan. Secara ini perjalanan pertama saya ke luar kota sendirian, peta buta, dan sama sekali tanpa bayangan di mana letak tempat wisata. But, show must go on. Tiket PP satu-satunya dan penginapan oke yang sudah diDP terbayang-bayang. Perjalanan harus terjadi.
Train runs fast. Pukul 14.30 saya sampai di Stasiun Tugu. Saya masih ingat, hal pertama yang saya lakukan begitu sampai adalah, tersenyum. Saya senang saya akan memulai perjalanan peta buta ini. Saya sudah siap. Setelah senyum, saya salat dijama, dan makan. Tempat makannya masih di sekitar stasiun, Soto Sulung. Saya tau tempat makan ini dari web wisata dan ingin membuktikan. Nasi di Soto Sulung tidak dicampur dengan soto tapi dibungkus mirip nasi kucing. Harga perbungkus nasi putih kucing ini 1.000, sedangkan kuah soto campur 8.000, teh hangat 2.000, dan dua kerupuk 500 rupiah. Ongkos awal saya sampai Jogja 12.500.
Sudah salat dan makan, saya menunggu jemputan teman Rere untuk mengambil motor. Tapi berhubung lama, saya putuskan untuk jalan kaki menuju hostel. Bicara hostel, sesuai petunjuk Masjek, saya memilih Edu Hostels di Jalan Jend. Suprapto 17. Kebayang, kan, yang namanya hostel seperti apa? Iya, berbagi kamar. Jadi, dalam satu kamar ada lima orang lain. Sebelum reservasi, saya melihat harga perharinya yang lumayan pas-pasan dengan fasilitas dan tempat yang bersih, 70.000. Maka, tanpa pikir panjang, saya langsung reservasi untuk dua malam (140.000).
Memutuskan untuk jalan kaki--karena setelah bertanya pada tukang becak-parkir (beberapa orang menyarankan saya untuk bertanya pada kedua profesi ini agar tidak diusili. Tapi pada kenyataannya, satpam, penjual nasi, dan orang biasa yang saya tanya tidak menunjukkan keusilannya. *ketauan sering nyasar, banyak tanya :p*) dan melihat go.map-- ternyata jaraknya tidak begitu jauh. Bodohnya saya, saya tidak menyadari bahwa jarak di peta dan kenyataan itu berkali-kali lipat. Jadi, lumayan gempor kaki jalan dua kilo. Hahaha :))). Tapi gempor kaki berubah menjadi senang begitu melihat hostel tempat saya menginap. Kereeen. Saya suka dan langsung jatuh cinta karena tempatnya bersih, jauh dari kesan murahan. Setelah check in dan membayar uang jaminan kunci sebesar 50.000 saya langsung rebahan di kasur sambil nunggu waktu buat ambil motor.
Edu Hostel.

Lobi hostel.

Tempat santai.

Ada fasilitas komputer gratis.

Kamar tidur dalam kondisi penuh.

Lemari.

Kamar mandi.
Akhirnya, setelah motor didapat, saya diajak sedikit berkeliling--biar nggak buta banget-- sama temannya Rere, Reza. Lumayan membantu buat jalan-jalan selanjutnya. Ilmu hapalan jalan ini langsung saya praktekkan di malam hari setelah bersih diri. Malam itu, tujuan saya menghabiskan malam di Alun-alun Kidul (Alkid), letaknya dekat dengan Tamansari. Sampai di Alkid, pikiran saya langsung tertuju pada Taman Bungkul dan taman-taman lain yang ada di Surabaya. Persis. Bedanya, Alkid berpasir, Taman Bungkul dan taman lain di Surabaya berpaving. Lainnya, hampir sama. Anak-anak bermain kitiran terbang berlampu kerlip dan naik odong-odong berkerlap-kerlip, penjual makanan berjejer. Makanan yang dijual pun sama; mi ayam, tempura, minuman, dan ronde. Sebelas-dua dengan Taman Bungkul. Makan malam di sini saya mengeluarkan 15.000 untuk ronde, mi ayam, dan esjeruk. Tips: gunakan bahasa Jawa kromo Inggil buat percakapan untuk yang bisa, lumayan ngefek ini. Jangan lupa tanyakan harga dulu sebelum membeli apapun. Biar nggak ditipu.
Sudah kenyang, saya berkeliling lapangan. Saya tertarik dengan orang yang menggantung kain-kain hitam dengan tulisan sewa di gerobak sepedanya. Ternyata, dia menyewakan kain penutup mata untuk dipakai melintasi dua pohon beringin yang ada di tengah lapangan. Kalau si pemakai bisa melintasi dua pohon beringin dengan jalan lurus tanpa mengintip, KATANYA hajatnya bisa tercapai. Tapi kalau mengintip, KATANYA--lagi-- si pemakai akan berada di alam lain. Entahlah. Jika tertarik, untuk menyewa kain ini dihargai 5.000 rupiah. Saya, sih, tertarik buat dokumentasi saja. Oh, iya, selepas dari Alkid saya langsung pulang, balik hostel, ngantuk parah. Maklum, perjalanan jauh--alesyaaannn :))). Perjalanan berikutnya, pasti lebih menyenangkan.


Alun-alun Kidul.
--Cont. *dicatat di atas kereta Agro Wilis jurusan Jogja-Surabaya.
Comments