Lost in Jogja #2



Candi Prambanan.


Pagi-pagi, saya memulai hari di kota orang. Rencananya, saya akan mengunjungi beberapa tempat wisata. Di antaranya, Kraton Jogja, Tamansari, Sentra Kerajinan Perak Kotagede, Cokelat Monggo Factory, dan Candi Prambanan. Namun, berhubung pagi-pagi saya sudah siap dan rapi jali, sedangkan banyak tempat wisata baru buka pukul 8, maka saya menghabiskan waktu pagi dengan browsing rute dan sejumlah tempat wisata lain di komputer hostel. Waktu pagi saya juga habis untuk sarapan di roof top hostel. Ini seru. Pagi-pagi, saya sarapan di roof top dengan pemandangan kota Jogja yang lengang dan masih sejuk. Dari roof top, Merapi terlihat samar-samar. Cuaca pagi yang sejuk, sedikit berkabut, sinar matahari malu-malu, dan ramai dengan keluarga, membuat pagi menjadi lebih ceria. Indah. Seketika hilang pikiran saya tentang Surabaya yang selalu padat--pagi sekalipun.
Sarapan di roof top.

Pemandangan Jogja lengang dari roof top.
Sky is the limit.

Selesai sarapan, saya masih kebingungan arah dan tujuan, secara masih pukul 7 pagi. Akhirnya, setelah berpikir dan mempertimbangkan, saya memutuskan untuk mengubah rute. Awalnya Candi Prambanan baru akan dikunjungi sekitar pukul 13.00, tapi karena jaraknya yang cukup jauh, yakni di perbatasan Jogja-Solo, jadi saya putuskan--setelah nge-Whatsapp Masjek juga-- untuk ke Prambanan terlebih dahulu. Terhitung dari wilayah 0 kilometer kota Jogja (terletak di persimpangan gedung BNI46-Monumen 1 Maret-Malioboro-Jalan Panembahan Senopati) jarak ke Prambanan sekitar 19,5 kilometer yang bisa ditempuh dalam kurun waktu 30-40 menit (ini estimasi dari Masjek). Jarak yang jauh membuat saya senang, sekalian menghapal jalan--meski pada kenyataannya rutenya hanya luruuuuuusss. Hahaha :)))).

Perjalanan dimulai dengan Prambanan menjadi tujuan pertama. Hal pertama yang saya lakukan ketika berkendara seorang diri adalah mencermati jalan dan menghapal nama-nama jalan. Ini tidak jauh berbeda dengan yang saya lakukan ketika di Surabaya. Saya lebih menyukai menghapal nama jalan dibandingkan dengan arah mata angin, pusing :|. Saya menikmati perjalanan dengan rasa masih tidak percaya. Di Jogja, saya mengendarai motor, berkeliling untuk liburan, seorang diri, siapa yang menyangka? Ini sama halnya dengan memperkaya pengetahuan--meski pada akhirnya tidak begitu pintar :))). Sampai di Prambanan pun saya tidak henti-hentinya tertawa. Iya, persis orang stres, tertawa-tawa sendiri. Saya senang alang kepalang *berlebayan :)))*.

Sembari menghapal jalan, ada beberapa hal yang berbeda. Jika pagi-pagi Surabaya sudah penuh dengan ribuan kendaraan, maka di Jogja justru lengang. Gimana nggak? Jam setengah delapan pagi, jalanan masih sepiii banget. Saya bahkan mendapati lampu merah kurang 24 detik diterobos dengan santainya oleh pengendara. Saya bengong melihat kejadian dua-tiga kali pagi itu. Surabaya yang biasa membiarkan lampu merah habis baru jalan (ya iyalah, memangnya mau tertabrak?), di Jogja malah diterobos. Anehnya, semua kendaraan begitu. Jadi, saya berhenti sendirian menunggu lampu merah habis, kena klakson, dan ikut arus #ngoook. Yang berbeda lagi, di Jogja, waria means bencong justru mau keluar siang hari. Beda banget dengn pemandangan di Surabaya. Waria baru keluar ketika Maghrib. Pemandangan ini terjadi di lampu merah Jalan Panembahan Senopati.

Sampai di Prambanan, pengunjung diharuskan membayar tiket masuk sebesar 30.000 rupiah. Tiket ini berbeda dengan tiket terusan ke Candi Ratu Boko, emaknya Roro Jonggrang, yang cuma 37.000 plus transport. Bodohnya, saya baru sadar kalau tiket terusan ini jauuuuhh lebih murah dibandingkan dengan Candi Prambanan aja. Dan saya baru sadar ketika sudah keluar dari Prambanan. Errr. -___-"

Masuk Candi Prambanan yang merupakan candi umat Hindu terbesar di Indonesia, pengunjung diharuskan menggunakan sarung batik putih. Untuk pengunjung perempuan, simpul ikat di sebelah kiri. Sedangkan laki-laki di sebelah kanan. Tujuannya, mempermudah petugas mencermati pengunjung.

Cerita Para Dewa.



Pose. :p

Sebenarnya, setiap masuk objek wisata waktu yang diasumsikan Masjek satu jam. Tapi, berhubung saya sering terhanyut dengan sikon, jadi di Prambanan selama tiga jam. Iya, tiga jam buat muter-muter motret-motret geje :p. Di sana ada fasilitas berkeliling tiga candi dengan menggunakan sepeda single (10.000) atau double (20.000). Pingin, sih, tapi berhubung yang tersedia saat itu hanya yang double, jadi niat berkeliling kompleks candi urung. Masa iya, pakai sepeda double tapi sendirian. #kodekeras :)))

Di sekitar Prambanan juga ada museum yang bisa dinikmati gratis. Ada workshop membatik dan melukis di sana. Kalau mau melihat sejarah di balik megahnya candi ramping nan singset dan segala cerita tentang Brahma, Wishnu, dan Siwa serta Roro Jonggrang pengunjung bisa masuk ruang audio-visual dengan tiket 5.000 rupiah. 

Sama halnya dengan tempat wisata lainnya, di kompleks Prambanan juga banyak sekali terdapat penjual aneka benda. Di sini, niat hati menahan gejolak belanja bubar sudah. Padahal niat awal mau belanja di Malioboro malah memborong di sini. Tips: Kalau belanja di Prambanan, ada baiknya dibatasi seperlunya. Karena harga di Malioboro dan Beringharjo jauh lebih murah. Nawar pun bisa setega mungkin. *sadis :p* Bicara belanja, saya sama dengan wanita lainnya. Sering kalap dan nggak mikir. Ini kejadian nyata. Keluar Prambanan, saya menenteng banyak belanjaan. Tapi itu normal yaa. Hahaha :))).

Dari Prambanan, saya mampir menikmati Dawet Jogja yang ada di sekitar jalan, berjejer. Namanya Dawet, ya tentu 11-12. Kalau Dawet Jogja, isinya ya dawet *mbulet :))*. Dawetnya berwarna putih dan diberi gula merah. Yang membedakan hanya tambagan tape ketan putih yang dijual perbungkus 500 rupiah. Tape ketan putih, sih, masih cukup banyak ditemui di Surabaya. Harga Dawet Jogja 4.000 rupiah dengan dua tape ketan. Worth it-lah untuk cuaca di siang hari yang lumayan panas.

Dawet Jogja.

Perjalanan dilanjutkan ke Tamansari dan Kraton Jogja. Niat awal mencermati jalanan Jogja masih saya lakukan. Makanya, saya berkendara hanya setengah ngebut. Percaya atau tidak, uniknya berkendara di Jogja, sama sekali tidak merasakan takut untuk nyasar. Kenapa? Meski rambu-rambu jalan di jalan utama kurang jelas, tapi penunjuk arah di jalan-jalan kecil cukup jelas. Penunjuk jalan ini selalu mengarah ke jalan besar dan utama. Jadi, kemungkinan nyasar kecil. Makanya, saya tenang aja meski sendirian. :))))

Tamansari adalah sebuah istana atau pemandian istri dan putra-putri kerajaan. Bangunan ini dibangun pada masa kejayaan Sri Sultan Hamangkubuwono I. Memasuki area wisata, pengunjung diharuskan membayar tiket 4.000 rupiah. Masuk gerbang Tamansari yang terasa pertama kali selain bangunan kuno kokoh adalah bau wewangian, sesajen. Ya, siapa tidak tahu? bahwa Jogja memang didominasi oleh hal-hal berbau mistis, bahkan hingga sekarang. Gemericik air yang jernih luar biasa terdengar begitu melewati gapura pertama. Banyak wisatawan lokal dan mancanegara memenuhi wilayah ini sekadar untuk berfoto. Di sini, diakui atau tidak, ada perasaan oh, hanya begini saja dalam batin saya. Karena memang hanya menampilkan bangunan kuno kokoh berwarna krem tanpa apa-apa. Polos.

Tamansari.

Di wilayah Tamansari, ada perajin wayang kulit yang mengaku memproses awal hingga jadi selama dua minggu persatu wayang. Saya sempat mengambil gambar perajin ini, namun begitu sepi dan saya masih takjub dengan prosesnya, si perajin nyeletuk seiklasnya aja, Mbak. Kalau ambil gambar saya harus bayar. Dueng. Saya melipir menuju ruang pajang wayang jadi. Di sini, saya ditegur penjaganya. Tapi begitu saya jawab hanya mau lihat-lihat saja, si penjaga langsung menunjuk bangunan Tamansari dan berujar kalau mau lihat-lihat saja, di sana, Mbak. Saya diusir. Hahaha :))).

Perajin Wayang Kulit.

Perjalanan dari Tamansari dilanjutkan dengan Kraton Jogja. Tapi, sebelum ke Jogja, saya tidak sengaja melajukan motor pelan-pelan sambil tengok sekitar. Saya menemukan rumah pajang kaos Dagadu. Hahaha, haduuuh, serius, naluri saya kembali naik. Belanja lagiiii!!! :))). Di Dagadu, selain membeli kaus, saya juga belajar untuk menggunakan kartu gesek debit pertama kalinya. Secara duit cash di dompet cuma cukup untuk dua kaus, sedangkan saya beli tiga, ya menggeseklah saya. Ternyata, enak juga kalau belanja modal gesek begini. Muhahaha, asli norak!

Dagadu dan Kraton Jogja berada di satu tempat, yakni dekat Alun-alun Lor, dekat juga dengan Jalan Wijilan--jalan yang terkenal dengan Gudegnya. Saya tidak makan di Wijilan, tapi makan di emperan dekat Kraton dengan menu yang sama. Tips: Hitung harga makanan dengan cermat. Jangan mau dibodohi. Tanyakan harga peritemnya berapa. Makan siang dengan menu Gudeg emperan rasanya masih sama dengan Gudeg yang lain *iyalah, sama-sama Gudeg* di sini, lauk ayam dan telur dihitung beda. Makan siang saya total seharga 17.500 rupiah.

Dagadu.

Masuk ke Kraton Jogja, harga tiket dipatok 5.000 rupiah. Hal pertama yang saya ingat, di hall Kraton Jogja, rasanya dulu ada kereta kuda yang dipajang lengkap dengan segala peralatan zaman dulu. Tapi sekarang, hall dibiarkan los. Entah kemana semua itu yang dulunya dipajang. Di sini, saya tidak banyak waktu karena ada perasaan oh begini saja. Toh, masih ada tujuan lain yang harus saya tuntaskan, yaitu Kerajinan Perak Kotagede dan Cokelat Monggo Factory.

Kraton Jogja loooss.

Pagi hari sebelum memulai perjalanan, saya telah menyusun rute ke mana tujuan saya. Begitu pula dengan arah ke Kotagede. Tidak sulit menemukan Kotagede. Yang membuat sulit hanya apa yang di go.map ternyata tidak sepenuhnya benar. Saya nyasar dan kebingungan karena go.map ngasih petunjuk yang nggak saya pahami *yeee, ini, sih, saya yang salah baca kali, ya :)))*. Akhirnya, saya Whatsapp Masjek minta ditunjukin ke jalan yang lurus. Sayangnya, setelah sampai di tempat tujuan, para perajin perak sudah pulang, karena saya sampai pukul 15.30. Sedangkan mereka bekerja dari pukul 8.00 hingga 15.00. Sayang banget. Jadinya, saya nggak masuk ke toko sekaligus workshop perajin perak, langsung ke tujuan selanjutnya, Cokelat Monggo Factory.

Masih di daerah Kotagede, Jogja, siapa, sih, yang tidak kenal Cokelat Monggo? Cokelat ini khas Jogja. Dari namanya saja sudah terlihat. Monggo means mariii. Di pabrik dan showroom Cokelat Monggo, saya seketika dibuat lupa bahwa tujuan pertama kalinya adalah melihat pembuatan cokelat. Saya begitu antusias begitu ditawari cokelat untuk dicicipi. Sialan, tahu banget kelemahan :)))). Sudah lupa tujuan, saya akhirnya hanya membeli cokelat. Lupa berat sama tujuan ke pabrik. Ah, iya, untuk mencapai lokasi pabrik dan showroomnya, pengunjung akan melewati makam raja-raja Mataram. Saya, sih, nggak mampir. Cuma lewat dan asal tahu saja, hehehe.


Cokelaaaatt!!!

Menjelang Maghrib, setelah menyempatkan jama salat *nggak usah protes buat yang biasa memprotes salat dilarang dijama kalau tujuannya berlibur :p*, saya kembali ke hostel. Tujuannya simpel saja, mandi, meletakkan tas belanja, lalu cabut lagi. Iya, tujuan saya masih kurang. Malioborooo!! Apalah artinya Jogja tanpa Malioboro. :)))

Tempat syutingnya FTV, nih. Malioboro. :)))

Di Malioboro, saya bertekad kuat untuk tidak membeli kaus. Secara kausnya sudah buanyak. Saya hanya mencari makan dan aksesoris. Meski ketar-ketir menahan hawa napsu belanja baju, ternyata saya kuat juga, loh. Terbukti setelah mondar-mandir beberapa kali, saya hanya membawa pulang aksesoris dan sandal, juga perut kenyang. Tips: Di Malioboro, harga kaus dan segala macamnya jauh lebih murah dibandingkan dengan di tempat wisata. Kalau niat belanja, niatkan di sini saja. Oh iya, kalau mau makan malam non-seafood, di sini ada penjual nasi kucing dan bakso-mi ayam. Standarlah. Ada juga fast food, makanan sejuta umat. Makan mi ayam (lagiiii), makan malam saya total 10.000 rupiah saja.

Dari Malioboro, saya sempat melirik jam. Ternyata masih belum cukup larut. Niat keliling Jogja masih cukup kuat. Ya, secara besoknya, besok sore, saya harus kembali ke Surabaya, jadi harus tuntas apa yang menjadi keinginan terpendam ini *preeett! :)))*. Saya putuskan untuk ke Jalan KS. Tubun. Letaknya dekat hostel banget. Tau, kan, itu tempat apa? Iya, KS. Tubun adalah jalan dengan sentra Bakpia Pathuk. Sebenarnya tujuan belanja makanan dijadwalkan di hari terakhir, tapi daripada nganggur, kenapa nggak? Sayangnya, proses pembuatan Bakpia hanya sampai Maghrib, jadi saya hanya puas melihat kotak-kotak pembungkus yang dijajar untuk dihangatkan. Tips: Kalau memang berniat membeli Bakpia, boleh beli di tempat paling tenar, Bakpia 25. Tapi kalau beli cemilan lain, ada baiknya beli di tempat lain. Harganya bisa selisih sampai 10.000 rupiah. Misal, Dodol Picnic Garut. Di Bakpia 25 dijual 31.000 di tempat lain hanya 21.000. 


Bakpia 25.

Puas berbelanja dan jalan-jalan, saya putuskan untuk kembali ke hostel pukul 9 malam. Badan sebenarnya belum capek, tapi saya bingung mau ke mana lagi. Fyi, saya keluar hostel saat para bule teman sekamar belum bangun (pukul 05.30) dan balik hostel saat mereka sudah tidur (pukul 21.00). Hari yang menyenangkan. Besok, hari terakhir saya di Jogja.

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan