Lost in Jogja #3
Saya masih ingat betul, sebelum berangkat ke stasiun menuju Jogja, Pakde telepon dan bilang, hati-hati yoo, feelingku nggak enak. Eaaa banget. Saat itu saya tertawa. Meski demikian, semua pesan hati-hati dari siapapun, saya ingat-ingat. Termasuk dari ibu. Beliau tidak tahu kalau saya berbohong. Sebenarnya bukan berbohong, tapi membelokkan kata-kata. Memang rencana di awal, saya berangkat dengan seorang teman, tapi kenyataannya dia batal ikut. Masa iya, saya juga ikut batal? Tentu nggak, kan? Nah, di saat berangkat itulah, saya tekankan, nanti ada teman menunggu di stasiun. Padahal nggak ada :p.
Tapi, kalau melihat keadaan saya di Jogja selama dua hari, kenyataannya memang tidak ada yang harus ditakutkan dan tidak perlu takut. Yang membuat saya pede, selain ada teman--meski tidak ditemani jalan atau sekadar bertemu, rambu-rambu yang lumayan jelas, merasa masih serumpun bahasanya, juga karena saya percaya akan ada balasan bagi siapa saja yang berbuat baik. Bukan saya mengharap atau sudah melakukan perbuatan baik yang buanyaaak, tapi saya percaya, bahwa Tuhan menjaga saya. Is it right?
Hari terakhir, masih sama dengan pagi sebelumnya. Saya bangun pagi, salat, mandi, dan browsing sambil menunggu waktu sarapan di roof top (harga hostel include sarapan). Tujuan saya pagi itu selain check out pukul 12.00, saya mau ke Benteng Vredeburg. Waktu sisanya? Saya masih bingung. Sebenarnya saya pingin ke Parangtritis. Tapi setelah browsing dan menghitung jarak PP, berkemas, dan check out, sepertinya kurang bisa. Akhirnya, saya putuskan mengalir saja. Ah, iya, bicara sarapan, fyi, sarapan di roof top ini seru. Di sisi kaca pembatas, ada sebuah kolam yang dibuat memanjang sejajar kaca. Kolam ini bukan sekadar kolam, karena bagi pengunjung yang membawa anak, bisa banget si anak disuapin sambil main air. Tidak terlalu dalam, hanya berkisar 750 sentimeter saja. Seru, kan?

Roof top hostel yang oke punya.
Setelah sarapan, tujuan pertama saya di hari terakhir adalah Benteng Vredeburg. Tidak sulit mencari keberadaan benteng. Sebab, letaknya berada tepat di daerah 0 kilometer kota Jogja alias berada di seputar Malioboro; tepatnya persis di depan PKL Malioboro--Istana Kepresidenan--diapit Pasar Bringharjo, Monumen 1 Maret, dan Taman Pintar. Karena letaknya berdekatan dengan hostel, maka saat itu juga saya langsung menuju benteng. Sekitar pukul 7.00 saya sampai dan mendapati benteng belum buka. As I informed you before, umumnya, tempat wisata buka pukul 8.00. Saya putuskan untuk berkeliling di sekitar terlebih dahulu untuk menghabiskan waktu. Tujuan saya Pasar Bringharjo dan Malioboro, ya siapa tahu ada yang cocok :p #modus. Tapi, setelah berjalan dari ujung sampai ujung, ternyata kedua tempat ini belum buka. Akhirnya, saya kembali ke benteng, segera membeli tiket masuk, dan menjadi pengunjung pertama *asli, penjaga loketnya bahkan belum siap-siap :)))*. Harga tiket masuk Benteng Vredeburg 2.500 rupiah saja.
Diakui atau tidak, dari sekian banyak tempat wisata yang saya kunjungi, Benteng Vredeburg dan Prambanan yang paling membuat saya jatuh cinta. Berada di benteng membuat saya seolah-olah masih berada di zaman Belanda tahun 1760. Seolah-olah berada pada saat Belanda membangun benteng untuk memata-matai kegiatan di Istana Kepresidenan yang tepat berada di depannya. Namun, saat itu, Belanda berdalih membangun benteng untuk menjaga keamanan di sekitar istana. Eksotis. Sama halnya dengan Prambanan, saya masih tidak percaya jika kisahnya benar-benar ada. Amazing.
Di dalam benteng, bangunan dan ruang-ruang yang ada masih terlihat kokoh. Sejumlah barang peninggalan bisa dilihat di benteng yang kini dialihfungsikan menjadi museum. Ada beberapa diorama yang menggambarkan sejarah perjuangan masyarakat Jogja. Dan yang terpenting, hingga saat ini, tidak banyak ruang yang berubah (kalau dilihat dari dokumentasi yang ada). Saya berkeliling cukup lama di tempat ini dan baru menyadari bahwa benteng ini luas *gempor*.
Diakui atau tidak, dari sekian banyak tempat wisata yang saya kunjungi, Benteng Vredeburg dan Prambanan yang paling membuat saya jatuh cinta. Berada di benteng membuat saya seolah-olah masih berada di zaman Belanda tahun 1760. Seolah-olah berada pada saat Belanda membangun benteng untuk memata-matai kegiatan di Istana Kepresidenan yang tepat berada di depannya. Namun, saat itu, Belanda berdalih membangun benteng untuk menjaga keamanan di sekitar istana. Eksotis. Sama halnya dengan Prambanan, saya masih tidak percaya jika kisahnya benar-benar ada. Amazing.
Di dalam benteng, bangunan dan ruang-ruang yang ada masih terlihat kokoh. Sejumlah barang peninggalan bisa dilihat di benteng yang kini dialihfungsikan menjadi museum. Ada beberapa diorama yang menggambarkan sejarah perjuangan masyarakat Jogja. Dan yang terpenting, hingga saat ini, tidak banyak ruang yang berubah (kalau dilihat dari dokumentasi yang ada). Saya berkeliling cukup lama di tempat ini dan baru menyadari bahwa benteng ini luas *gempor*.
Pagi di Vredeburg.
Latihan upacara 17 Agustus di Istana Kepresidenan Jogja.
Puas berkeliling benteng, saya berjalan menuju Bringharjo lagi, penasaran dengan isinya. Ternyata, setelah melihat isinya dengan jelas, Bringharjo persis dengan DTC dan sejumlah pasar lain di Surabaya. Di sini, saya mencoba melihat, apakah benar-benar murah barang yang ditawarkan. Apalagi masih pagi dan mereka baru menggelar lapak. Katanya, seperti umumnya pedagang di Bali dan sejumlah tempat wisata lain yang pernah saya datangi, mereka akan melepas harga berapapun jika ditawar pembeli pertama; pelaris. Saya mencoba mencari celana batik motif yang lagi ngetren. Setelah berkeliling, ada penjual yang melepas harga 16.000 dari harga semula 35.000 rupiah--selisih seribu rupiah dari harga yang saya tawarkan. Sebenarnya, saya nggak mau kalah kalau nawar, tapi kaki sudah gempor dan pantat sudah capek pingin duduk. Yang jelas, di Malioboro dan Bringharjo, jiwa tega-menawar-sampai-mampus lebih kuat dibanding di tempat wisata. Percaya, deh.

Bringharjo pagi mirip Pasar Kembang Surabaya.
Dari Bringharjo, saya menuju ke salah satu tempat yang lumayan unik. Yakni Pabrik Tegel Kunci. Sedari awal saya browsing tempat wisata, saya sudah tertarik dengan tempat ini. Karena saya penasaran dengan cara pembuatan tegel (saya menyebutnya tekel) atau ubin yang sempat menempati masa kejayaan, dulunya. Cukup mudah mencari pabrik pembuatan tegel ini. Karena letaknya dekat dengan pusat Bakpia Pathuk, Jalan KS. Tubun, which is dekat dengan hostel tempat saya menginap. Siapapun yang ingin berkunjung ke mari, harus cermat. Karena bangunannya benar-benar tradisional dan kuno, sehingga tidak seperti bangunan modern. Dan itulah kerennya.
Saat memarkirkan motor, saya celingukan memasuki wilayah pabrik. Karena jelas terpampang selebaran ditempel bahwa pabrik saat itu tidak menerima kunjungan wisata. Tapi, saya nekat, saya sendirian, masa iya tidak boleh sekadar melihat-lihat? Begitu masuk, saya disuguhi showroom sederhana yang menyuguhkan pelbagai model tegel. Ah, pingin tidur rasanya, merasakan dinginnya tegel.
Untuk masuk pabrik ini, pengunjung tidak dikenakan biaya. Hanya saja, perlu izin di kantor yang letaknya persis di sebelah pabrik. Mungkin karena saya sendirian, maka pihak pabrik mengizinkan masuk dan melihat-lihat proses pembuatan tegel. Hal pertama yang membuat saya terpesona adalah pembuatan tegel benar-benar manual.
Cara pertama untuk membuat satu tegel bermotif adalah dengan menuangkan cat warna ke dalam cetakan. Setelah itu, berturut-turut semen putih, semen abu-abu, dan pasir bangunan dicampur. Langkah terakhir pengepresan dan dikeringkan. Begitu manualnya proses pembuatan tegel ini, salah satu perajin mengaku setiap harinya bisa membuat 110 tegel (saja). Saya tidak sempat bertanya banyak karena saya ketahuan memotret dan langsung cabut begitu kena tegur. Saya tidak tahu bahwa dilarang memotret, karena saat izin pun tidak diberi tahu. Terlepas dari itu, saya senang akhirnya melihat langsung pembuatan tegel dengan sensasi dingin itu.

Pabrik Tegel Kunci.
Cat pola dituang.
Pengepresan.
Tegel jadi.
Penjemuran.

Display tegel.
Sekitar pukul 10.00 saya bergegas untuk kembali ke hostel untuk berkemas dan check out. Tapi sebelumnya, mampir ke Toko Bakpia (yang berbeda dengan semalam) untuk melihat proses pembuatannya. Sayang, kurang beruntung. Si pemilik toko mengaku proses pembuatannya terpisah jauh dengan toko. Ngoook.

Bakpia.
Mengepak barang menjadi hal yang membosankan ketika saya tahu barang bawaan cukup banyak. Dari yang semula hanya membawa ransel dan tas selempang jalan, kini harus bertambah dua kantung belanjaan yang cukup penuh. Cukup lama saya berpikir di dalam kamar (yang kebetulan penghuninya sudah jalan). Memikirkan cara bagaimana menghabiskan waktu sampai jam 15.00 sore dengan bawaan banyak. Sambil berpikir, saya duduk di lantai dengan pemandangan los di balik hostel. Sama halnya dengan pemandangan di Surabaya, Jogja juga memiliki penduduk yang tinggal dengan rumah bambu. Saat itu, saya mencermati apa yang mereka lakukan. Mulai dari memasak dengan tungku, hingga membuka hasil pungutan pagi, mungkin dia pemulung.
Pemandangan dari kamar.
Setelah memutuskan untuk berkemas, check out, dan mengambil uang jaminan kunci (fyi, untuk menginap di hostel ini, sediakan gembok ya. Karena pengelola hanya menyediakan lemari tanpa gembok) sebelum kena charge lebih, pilihan saya akhirnya jatuh pada Taman Pintar untuk menghabiskan waktu. Selain letaknya yang dekat, juga efisiensi waktu. Tapi sebelumnya, saya sempatkan untuk early lunch dengan menu Lotek di daerah Alun-alun Lor dekat Wijilan. Kalau diperhatikan sekilas, penjual Lotek umumnya juga menjual Gado-gado. Yang membuat Lotek terasa istimewa di lidah saya adalah bumbu olahannya segar.
Berbeda dengan Gado-gado, bumbu Lotek disajikan mentah. Maksudnya, penjual baru membuat bumbu sesuai pesanan. Isi bumbunya; cabe, bawang putih, garam, gula merah, kacang, dan air. Sedangkan sayurannya; kecambah, kubis diiris tipis, bayam, mentimun, dan tomat. Ditambahkan kerupuk udang, serius, rasanya masih kebayang-bayang sampai sekarang. Segar. Sayang, perporsi yang dihargai 6.000 perak saja ini buanyaaak banget isinya. Jadinya, nggak habis. Sayang banget.


Lotek.
Setelah melotek, saya langsung menuju ke Taman Pintar. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik, tapi mau dikata apalagi? Daripada nganggur, mending menambah referensi. Sekilas, Taman Pintar bisa ditebak seperti Jatim Park, Batu. Tapi, setelah dicermati, kayaknya, sih, memang sama. Saya hanya melihat dari luar. Karena untuk masuk pergedung atau perfasilitasnya dikenakan biaya. Males banget :p.
Namanya Taman Pintar, didominasi oleh anak-anak. Saking banyaknya anak-anak, sampai pusing. Di luar, di wilayah gratis, anak-anak bisa bermain air yang letaknya tepat di depan musalla. Kalau ingin mengajarkan motorik halus anak, ada tempat belajar membuat clay, yang tentunya bebayar. Ada sekitar 30 menit saya berputar-putar di sekitar Taman Pintar, sebelum saya putuskan untuk melihat penjual buku pelajaran di komplek Taman Pintar. Tidak ada yang berbeda dengan Pasar Blauran dan Jalan Semarang di Surabaya, pemandangan orang jual beli buku seperti biasa. Hanya saja, agaknya harganya lebih mahal, ya? Kebetulan pas saya memotret, ada pembeli yang membeli tiga buku resep dengan harga 30.000 rupiah. Padahal kalau di Surabaya, bisa lebih murah dari itu. Entahlah.
Taman Pintar.

Mirip Blauran--Semarang.
Memutuskan untuk mengembalikan motor, saya segera menggeser tempat setelah sebelumnya sms Reza. Di perjalanan pergeseran, saya kembali melewati Bringharjo dan menemukan pengamen (?) yang uniknya, mereka memainkan alat musik lengkap dan diselingi tarian. Si penari laki-laki dengan tingkah gemulai. Saya berhenti dan menjepretnya. Pemandangan serupa juga saya temukan di daerah Jalan Sultan Agung. Mungkin memang seperti itu caranya? Entahlah.

Pengamen (?)
Single trip harus segera diakhiri. Setelah mengembalikan motor dan sampai di Stasiun Tugu, saya merenung. Betapa solo backpaking ini seru. Tidak perlu merepotkan teman karena jadwal yang berbeda, tidak perlu juga menyatukan perbedaan. Semuanya, semau dan semampu saya. Ada kalanya, sendiri memang menyenangkan.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan selama solo backpaking;
- Ada baiknya merumuskan segala tujuan wisata yang hendak dicapai. Bukan seperti saya, serba dadakan :).
- Ada baiknya juga mempelajari budaya sekitar terlebih dahulu, minimal tahu. Jangan buta total.
- Ada baiknya membaur dengan masyarakat sekitar. Beri senyumlah paling nggak.
- Siapkan dua tas. Satu untuk perlengkapan, satu untuk membawa barang penting. Siapkan juga uang secukupnya di saku tas atau celana untuk sesuatu yang mendadak, mempermudah jangkauan.
- Siapkan dua tas. Satu untuk perlengkapan, satu untuk membawa barang penting. Siapkan juga uang secukupnya di saku tas atau celana untuk sesuatu yang mendadak, mempermudah jangkauan.
- Solo backpaking memang hal yang baru buat saya, tapi ada baiknya selama perjalanan, tidak memakai sesuatu yang mencolok. Biasa saja. Sebisa mungkin agar tidak terlihat seperti pendatang.
- Yang menjadi kekurangan selama single trip adalah tidak ada yang mengingatkan saya akan limit uang di dompet. Secara saya suka lapar mata. Masalah tidak ada yang memotretkan diri, bisa diatasi dengan meminta tolong sesama wisatawan atau pengelola.
Simpulannya, single trip itu menyenangkan. Ini serius. Bahkan, membuat ketagihan. :)
Itinerary:
- Tiket Sancaka-Agro Wilis Surabaya-Jogja PP: 180.000
- Hostel 2 malam @70.000: 140.000
- Tiket Prambanan & Audiovisual: 30.000 & 5.000
- Tiket Tamansari: 4.000
- Tiket Kraton: 5.000
- Tiket Benteng Vredeburg: 2.500
- Bensin: 33.000
- Makan: 48.500
TOTAL: Rp 448.000
Itinerary:
- Tiket Sancaka-Agro Wilis Surabaya-Jogja PP: 180.000
- Hostel 2 malam @70.000: 140.000
- Tiket Prambanan & Audiovisual: 30.000 & 5.000
- Tiket Tamansari: 4.000
- Tiket Kraton: 5.000
- Tiket Benteng Vredeburg: 2.500
- Bensin: 33.000
- Makan: 48.500
TOTAL: Rp 448.000
Comments