Sisi Lain Surabaya

 
Ny. Parti--Manula. 

Liputan hari ini cukup lumayan. Lumayan menyita perhatian, maksudnya. Bayangkan saja, mengikuti agenda Rotary Club Surabaja membuat saya tau, bahwa di kota sebesar Surabaya ternyata masih ada pemukiman padat penduduk yang menyedihkan. Kolong jembatan Dupak-Perak disulap begitu saja menjadi kotak-kotak rumah dengan dinding triplek. Belum lagi dengan kondisi sungai yang tidak layak digunakan. Kotor, dan penuh sampah. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya untuk berkunjung dan melihat langsung daerah seperti ini. Tapi di kolong jembatan, baru kali ini. Bau busuk dari sampah, kotoran bebek, ayam, dan kucing menjadi satu. Dan mereka baik-baik saja dengan semua itu. Ada sekitar 150 kepala keluarga bermukim di lingkungan yang Subhanallah sekali--jauh dari kesan layak. Untuk bisa menjangkau wilayah ini, siapapun harus menyebrang sungai dengan menggunakan getek yang dibanderol seharga seribu rupiah sekali jalan.
Getek in action.

Kesemuanya tersebut, ternyata masih banyak sekali yang berada di bawah sekitarnya. Tidak sedikit kami menemukan warga yang sakit hingga tak bisa bangkit sekadar untuk duduk. Mereka menderita stroke, lumpuh total dari kecil, typhus, dan masih banyak lagi. Yang paling menyedihkan, ada beberapa dari mereka tidak bisa berobat karena tidak memiliki KTP. Bayangkan saja, untuk menjamin kesehatannya pun mereka tidak bisa. 

Diakui atau tidak, saya cukup excited dengan pemandangan yang terpapar. Bayangkan saja, pemandangan yang sebenarnya bisa menjadi pembelajaran bagi saya ke depannya, nanti. Salah satu pemandangan yang terpapar adalah ketika seorang anak dalam gendongan ibu tidak sengaja memukul dan sang ibu justru mengumpatnya. Pendidikan sejak dini salah--bukan berarti saya sok benar. Tapi, anak seusia batita bukankah harus dididik dengan baik? Lagi-lagi alasan klasik; ekonomi. Bagaimana bisa mendidik dengan baik jika makan saja masih kekurangan? Tidak bisa dipungkiri lagi, tidak memiliki materi cukup bisa membuat banyak orang stres. Faktanya demikian--jika tidak dilandasi dengan iman dan kemampuan yang memadai. 
Batita dalam gendongan.

Secara kasatmata, umumnya, mereka beragama nonmuslim karena kristenisasi sudah masuk lebih dulu dibandingkan Islam. Di sini, mestinya umat Islam berbenah agar lebih peka terhadap sesamanya--termasuk saya. Saya jadi ingat dengan daerah Selatan Malang yang memiliki peta demografi yang sama. Ekonomi lagi alasannya.

Menunggu giliran kupon baksos.

Di tempat ini, saya tertarik, di kota Metropolis seperti Kota Pahlawan, ternyata masih banyak aktivitas yang sebenarnya merupakan kultur warga zaman dulu. Bayangkan saja, saya masih menemukan kegiatan warga bermain sabung ayam, mengadu ayam jago. Di sekeliling mereka, sejumlah pria saling bersorak jika ayam jagoannya menang dan menindas lawan. Sebenarnya, ini ada korelasinya dengan manusia. Pertempuran, pertengkaran, dan pergulatan antar dua--atau lebih-- manusia, yang banyak terjadi belakangan, tak ubahnya sama dengan ayam jago. Ada yang menang, ada yang kalah. Yang terpenting, ada yang tertawa dan mencaci.
Sabung ayam.

Bukan hanya sabung ayam, warga setempat juga membangun tempat bilyard tepat di sisi jalan raya, tepi jembatan. Bukan meremehkan, di tempat tersebut, saya seperti disadarkan, bahwa kehidupan selalu menarik untuk dikaji. Mereka, dengan lahan yang terbatas, dengan lahan tanah milik pemerintah, bisa tinggal dengan tentram seolah hari esok masih panjang. Harapan mereka hanya satu--yang penting bisa makan. Seketika saya juga ingat kalimat ibu, "Jadi orang miskin itu nggak enak, menyedihkan. Makanya, yang pintar, biar bisa jadi orang kaya dan menyantuni yang kurang."

Surabaya, sisi lain dari gemerlap kota penuh sejarah ternyata menyimpan perih.



Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan