Aku, Kamu, dan Sunrise Gunung Bromo
"Serius?" aku membelalakkan mata, tidak percaya. Gimana nggak? selama ini aku hanya bisa membayangkan menikmati panorama matahari terbit di gunung Bromo. Tapi sekarang, Nemo justru mengajakku turut dalam perjalanannya.
Aku tahu, ini bukan kali pertamanya ke Bromo. Tapi mengajakku untuk ikut serta, berdua saja, kurasa memang baru kali ini.
Aku tersenyum lebar masih tidak percaya. Sementara Nemo hanya mengangguk-angguk yakin, menantangku untuk benar-benar ikut. "Tapi kamu tahu, izin ayah dan ibu nggak mudah didapat," buru-buru aku kecewa. Mulutku mengerucut.
Nemo. Sebenarnya namanya bukan Nemo, tapi Bara. Nemo adalah panggilan yang kuberikan saat kami menonton Finding Nemo berdua di rumahku saat usia kami baru berusia 13 tahun. Begitu imut dan lucunya Nemo, membuatku langsung terinspirasi untuk memanggil Bara dengan sebutan itu. Alasan lainnya, hanya karena saat itu fisik Nemo dan Bara adalah sama, kecil--lebih kecil dari pada aku. Tapi itu dulu, jangan tanya sekarang. Dia kini tumbuh tinggi dengan postur kurus jangkung. Dia adalah sahabatku sejak kecil.
Sejak kami saling mengenal, aku sering bahkan selalu menghabiskan waktu berdua. Sampai sekarang, dua puluh tahun pertemanan kami. Uniknya, meski kami saling mengenal dan dekat satu sama lain--sebagai sahabat--ayah dan ibuku tetap tidak bisa begitu saja percaya jika aku pergi berdua dengan Nemo. Mereka khawatir denganku. Aku paham itu. Sebagai anak tunggal, mereka memang terlalu protektif.
Nemo tersenyum menenangkan. "Tenang aja, semua izin sudah didapat. Kamu tinggal berangkat bareng aku. Mau nggak, sih?" dia memancing, satu hal yang paling aku benci saat dalam kondisi dilema.
Aku terdiam. Menyaksikan lalu lalang orang di depan kedai kopi langgananku. "Memangnya kapan kamu izin pada ayahku?" aku bertanya cepat, penasaran.
Dia tersenyum. "Rahasia. Yuk, pulang, kubantu packing." Nemo meraih tanganku, mengajakku pulang meninggalkan bangku sevel. Aku mengikutinya.
***
Dua puluh tahun bersahabat dengannya, baru kali ini Nemo berani mengajakku pergi ke luar kota berdua saja. Biasanya, kami pergi ramai-ramai bersama teman-temanku atau teman-temannya. Ya, kalian pasti tahu, orang tua mana yang akan ikhlas anaknya diajak jalan berdua oleh sahabatnya sekalipun. Namanya lawan jenis, bagaimanapun statusnya, apapun bisa saja terjadi. Makanya, aku heran, memangnya dia izin apa pada ayahku?
Aku memerhatikan Nemo mengemas apa saja yang perlu dibawa untuk cuaca dingin Bromo. Jaket berbahan polar, topi, sarung tangan, kaus kaki, dan sepatu dengan tutup sempurna. Untuk ukuran lelaki, dia tergolong taktis dan praktis terlihat dari bagaimana dia mengemas perlengkapanku. Pikiranku melayang-layang masih tidak percaya.
Puk-puk! Dia menepuk-nepuk backpack yang akan kubawa serta. "Beres. Nanti malam jam sebelas kujemput. Jangan lupa pakai kaus dan celana non-jeans untuk memudahkan pergerakan," Nemo mengingatkan diiringi seringai senyum.
Aku manyun. "Cerita dulu, deh, gimana bisa kamu dapat izin," tanganku menarik lengannya, mencegahnya pergi.
Dia tertawa. "Di penanjakan, kamu akan tahu alasannya," sahutnya seraya berlalu dari kamarku. Kebiasaan sok misterius.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Nemo datang sesuai janjinya. Tidak biasanya ayah dan ibu terlihat santai begitu tahu anaknya akan bepergian berdua dengan lawan jenis ke luar kota. Sejauh ini, aku dan Nemo memang sering bepergian berdua, tapi di sekitar Surabaya saja. Entah menonton bioskop, konser, atau sekadar ngopi.
Aku masih tidak mengerti dengan kode yang saling mereka lemparkan. Sambil tetap memasang wajah penasaran, aku menyambut Nemo. "Ini beneran berdua aja? Nggak ada yang lain?"
Serius, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ada di depanku.
Nemo tertawa, lalu berpamitan ke ayah dan ibuku membuatku melongo. Baiklah, untuk ukuran loading, otakku memang terkenal lama. Susah tanggap. Tapi bukan berarti aku tidak paham dengan apa yang dilakukan Nemo adalah hal yang langka dan aneh. Tentu saja aku paham. Tapi kok...? Ah, sudahlah. Mungkin di perjalanan dia akan bertutur banyak soal trip aneh kali ini.
***
Aku mengenal Nemo sama seperti aku mengenal diriku sendiri. Impulsif, ramai, kadang aneh, dan punya selera humor yang sama-sama lumayan. Hanya bedanya, dia lebih susah ditebak. Kontras denganku yang mudah ditebak apa mauku, apa tujuanku, semuanya. Kata banyak orang, itulah gunanya persahabatan. Saling melengkapi.
Perjalanan menuju Bromo ditempuh via Nongkojajar, Pasuruan. Aku duduk di sebelah Nemo dengan kondisi saling diam membisu sibuk dengan pikiran masing-masing. Bukan, lebih tepatnya, aku menahan kantuk. Kurasa, Nemo tahu bahwa aku paling tidak bisa menahan kantuk lewat dari pukul sebelas malam. Ya, lagi-lagi itulah gunanya persahabatan, saling tahu kondisi dan kebiasaan masing-masing.
"Mo, ini perlu ditemenin ngobrol atau kamu mengikhlaskan diri kutinggal tidur? Aku ngantuk." Aku membuka suara. Terdengar parau pertanda kurang tidur. "Memangnya perjalanannya butuh berapa lama lagi?"
Dengan diiringi lagu dari radio, lelaki di sebelahku tersenyum santai sambil mengangguk. "Tidur aja. Aku berani kok."
Errr. Aku mengerong dalam hati. Maksudnya berani apaan coba? Tanpa menunggu lama, aku membetulkan jaket, mencari posisi pas untuk tidur. Semoga bisa mimpi indah.
***
Penanjakan pagi itu cukup ramai. Padahal jam baru menunjukkan pukul tiga pagi. Weekend menjadi pilihan wisatawan lokal dan mancanegara untuk berkunjung. Udara musim kemarau yang dingin cukup membuat bulu kuduk meremang. Sambil menahan dingin, wisatawan berbondong-bondong mencari tempat strategis untuk menyambut matahari terbit. Kabarnya, view yang didapat sangat memukau.
Aku masih setengah sadar dengan semua keramaian yang ada. Setelah memarkir mobil, berganti jeep, dan tandem dengan rombongan lain, sampai di penanjakan nyawaku seolah masih melayang. Maklum saja, jam tidur terganggu.
Mulutku terbuka lebar-lebar, menguap, saking ngantuknya. Nemo tertawa kecil. "Ngantuk ya? Sabar aja, habis ini pemandangannya seru sekali. Nggak rugi sama dinginnya udara." ujarnya menenangkan. Sementara aku cuek tidak peduli, masih fokus dengan rasa kantuk.
"Eh, mau kopi?" Nemo bergegas kembali turun menuju warung kopi. Aku mengikuti.
Di sepanjang jalan menuju penanjakan, ada kedai berjejer rapi. Isinya jelas menjual minuman dan makanan hangat, ditambah suvenir. Aku tidak tertarik. Kubilang juga apa, aku lebih fokus dengan rasa kantukku. Tapi Nemo tidak peduli, meski aku abai, dia tetap membelikanku secangkir kopi panas dengan asap mengepul.
Sejujurnya, sebenarnya yang membuat aku penasaran dengan Bromo adalah adat dan kebudayaan Suku Tengger. Menurut kisah yang beredar, Suku Tengger memiliki keunikan tersendiri. Seperti selalu memakai sarung dan merasa kurang percaya diri jika tidak memakainya. Atau juga berbangga hati menjadi bagian dari Suku Tengger dengan menanam dan mengkonsusmsi hasil bumi yang ditanam di sekitar. Ya, aku tahu, kebanyakan suku di Indonesia kurasa memang begitu. Tapi menilik lebih dekat Suku Tengger, tidak ada salahnya juga, kan?
Jarum jam berdetak kian cepat. Secepat wisatawan yang kian ramai berkumpul di sisi pagar penanjakan. Tidak terkecuali kami.
"Tahu nggak, Na, sebenarnya penanjakan itu tempat apa?" Nemo melempar tanya ketika kami berada di salah satu sisi pagar tepat menghadap Bromo.
Aku terdiam. Pandanganku beralih pada wisatawan yang berjejer. "Tempat melihat sunrise," sahutku dengan senyum lebar. Aku yakin sekali.
Lelaki di depanku tertawa, mengacak-acak rambutku kasar. "Betul. Tapi yang terpenting, penanjakan adalah tempat di mana permaisuri kerajaan Majapahit, Rara Anteng dan brahmana Joko Seger bertemu sebelum akhirnya menikah dan mempunyai keturunan berupa Suku Tengger." Nemo tersenyum menjelaskan, membuat seketika tersenyum lebar. Tuh, kan, dia memang susah ditebak. Aku bahkan baru sekarang tahu ceritanya.
Tanganku spontan memukul lengannya. "Serius, Mo? Kamu tahu banyak soal Suku Tengger?" aku bertanya antusias. Rasa kantukku hilang berganti dengan penasaran.
"Ya, nggak lebih banyak dari aku tahu kamu-lah, Na." Nemo nyengir kuda seraya menjulurkan lidah. Dasar.
"Eh, mayoritas mereka bercocok tanam, berkebun, dan..." aku memutar bola mata, berpikir. "berwirausaha?"
Sahabatku Nemo lagi-lagi tersenyum. Obrolan kami mengalir seperti biasanya. Kami saling menimpali, hingga lupa dengan sekitar. Layaknya persahabatan yang sudah lama terjalin, apapun topik pembicaraannya membuat kami lupa keadaan. Gemuruh riuh tepuk tangan dari sekitar justru menyadarkan kami bahwa kami berada di tengah-tengah wisatawan. Matahari terbit, mereka bertepuk tangan, sesekali menyeringai.
Nemo menatapku serius. Seulas senyum tipis disunggingkan. "Kamu tahu, Na? Matahari terbit adalah simbol adanya sebuah pengharapan baru. Setiap harinya, setiap paginya, bumi berotasi, mengingatkan makhluk bumi bahwa harapan pada apapun masih ada."
Aku tertawa lebar, mengamini kalimat Nemo. "Ya. Aku tahu. Yang membedakan orang hidup dan mati selain napas adalah harapan."
"Matahari di Bromo indah. Seindah harapanku pagi ini." Nemo mengangkat kameranya, mengarahkan moncong kamera tepat pada bidikan sunrise di balik Bromo.
"Oh, ya? Apa harapanmu pagi ini, Mo?" Aku mengangkat alis. Harapan, mimpi, dan kenyataan yang kami utarakan tidak pernah luput satu sama lain.
Klik! Kamera berpindah posisi, menangkap bayanganku dalam siluet. Masih dalam riuh wisatawan di sekeliling kami, Nemo berujar serius. "Bisa menikmati secangkir kopi panas denganmu." tangannya menggeser kamera, menunjukkan hasil jepretannya padaku. "Dan selayaknya awal mula kisah Suku Tengger."
Siapapun boleh berharap. Termasuk Nemo. Tapi harapanku pagi ini adalah, semoga dia tidak tahu bahwa jantungku berhenti berdetak detik itu juga.
***
Aku tahu, ini bukan kali pertamanya ke Bromo. Tapi mengajakku untuk ikut serta, berdua saja, kurasa memang baru kali ini.
Aku tersenyum lebar masih tidak percaya. Sementara Nemo hanya mengangguk-angguk yakin, menantangku untuk benar-benar ikut. "Tapi kamu tahu, izin ayah dan ibu nggak mudah didapat," buru-buru aku kecewa. Mulutku mengerucut.
Nemo. Sebenarnya namanya bukan Nemo, tapi Bara. Nemo adalah panggilan yang kuberikan saat kami menonton Finding Nemo berdua di rumahku saat usia kami baru berusia 13 tahun. Begitu imut dan lucunya Nemo, membuatku langsung terinspirasi untuk memanggil Bara dengan sebutan itu. Alasan lainnya, hanya karena saat itu fisik Nemo dan Bara adalah sama, kecil--lebih kecil dari pada aku. Tapi itu dulu, jangan tanya sekarang. Dia kini tumbuh tinggi dengan postur kurus jangkung. Dia adalah sahabatku sejak kecil.
Sejak kami saling mengenal, aku sering bahkan selalu menghabiskan waktu berdua. Sampai sekarang, dua puluh tahun pertemanan kami. Uniknya, meski kami saling mengenal dan dekat satu sama lain--sebagai sahabat--ayah dan ibuku tetap tidak bisa begitu saja percaya jika aku pergi berdua dengan Nemo. Mereka khawatir denganku. Aku paham itu. Sebagai anak tunggal, mereka memang terlalu protektif.
Nemo tersenyum menenangkan. "Tenang aja, semua izin sudah didapat. Kamu tinggal berangkat bareng aku. Mau nggak, sih?" dia memancing, satu hal yang paling aku benci saat dalam kondisi dilema.
Aku terdiam. Menyaksikan lalu lalang orang di depan kedai kopi langgananku. "Memangnya kapan kamu izin pada ayahku?" aku bertanya cepat, penasaran.
Dia tersenyum. "Rahasia. Yuk, pulang, kubantu packing." Nemo meraih tanganku, mengajakku pulang meninggalkan bangku sevel. Aku mengikutinya.
***
Dua puluh tahun bersahabat dengannya, baru kali ini Nemo berani mengajakku pergi ke luar kota berdua saja. Biasanya, kami pergi ramai-ramai bersama teman-temanku atau teman-temannya. Ya, kalian pasti tahu, orang tua mana yang akan ikhlas anaknya diajak jalan berdua oleh sahabatnya sekalipun. Namanya lawan jenis, bagaimanapun statusnya, apapun bisa saja terjadi. Makanya, aku heran, memangnya dia izin apa pada ayahku?
Aku memerhatikan Nemo mengemas apa saja yang perlu dibawa untuk cuaca dingin Bromo. Jaket berbahan polar, topi, sarung tangan, kaus kaki, dan sepatu dengan tutup sempurna. Untuk ukuran lelaki, dia tergolong taktis dan praktis terlihat dari bagaimana dia mengemas perlengkapanku. Pikiranku melayang-layang masih tidak percaya.
Puk-puk! Dia menepuk-nepuk backpack yang akan kubawa serta. "Beres. Nanti malam jam sebelas kujemput. Jangan lupa pakai kaus dan celana non-jeans untuk memudahkan pergerakan," Nemo mengingatkan diiringi seringai senyum.
Aku manyun. "Cerita dulu, deh, gimana bisa kamu dapat izin," tanganku menarik lengannya, mencegahnya pergi.
Dia tertawa. "Di penanjakan, kamu akan tahu alasannya," sahutnya seraya berlalu dari kamarku. Kebiasaan sok misterius.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Nemo datang sesuai janjinya. Tidak biasanya ayah dan ibu terlihat santai begitu tahu anaknya akan bepergian berdua dengan lawan jenis ke luar kota. Sejauh ini, aku dan Nemo memang sering bepergian berdua, tapi di sekitar Surabaya saja. Entah menonton bioskop, konser, atau sekadar ngopi.
Aku masih tidak mengerti dengan kode yang saling mereka lemparkan. Sambil tetap memasang wajah penasaran, aku menyambut Nemo. "Ini beneran berdua aja? Nggak ada yang lain?"
Serius, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ada di depanku.
Nemo tertawa, lalu berpamitan ke ayah dan ibuku membuatku melongo. Baiklah, untuk ukuran loading, otakku memang terkenal lama. Susah tanggap. Tapi bukan berarti aku tidak paham dengan apa yang dilakukan Nemo adalah hal yang langka dan aneh. Tentu saja aku paham. Tapi kok...? Ah, sudahlah. Mungkin di perjalanan dia akan bertutur banyak soal trip aneh kali ini.
***
Aku mengenal Nemo sama seperti aku mengenal diriku sendiri. Impulsif, ramai, kadang aneh, dan punya selera humor yang sama-sama lumayan. Hanya bedanya, dia lebih susah ditebak. Kontras denganku yang mudah ditebak apa mauku, apa tujuanku, semuanya. Kata banyak orang, itulah gunanya persahabatan. Saling melengkapi.
Perjalanan menuju Bromo ditempuh via Nongkojajar, Pasuruan. Aku duduk di sebelah Nemo dengan kondisi saling diam membisu sibuk dengan pikiran masing-masing. Bukan, lebih tepatnya, aku menahan kantuk. Kurasa, Nemo tahu bahwa aku paling tidak bisa menahan kantuk lewat dari pukul sebelas malam. Ya, lagi-lagi itulah gunanya persahabatan, saling tahu kondisi dan kebiasaan masing-masing.
"Mo, ini perlu ditemenin ngobrol atau kamu mengikhlaskan diri kutinggal tidur? Aku ngantuk." Aku membuka suara. Terdengar parau pertanda kurang tidur. "Memangnya perjalanannya butuh berapa lama lagi?"
Dengan diiringi lagu dari radio, lelaki di sebelahku tersenyum santai sambil mengangguk. "Tidur aja. Aku berani kok."
Errr. Aku mengerong dalam hati. Maksudnya berani apaan coba? Tanpa menunggu lama, aku membetulkan jaket, mencari posisi pas untuk tidur. Semoga bisa mimpi indah.
***
Penanjakan pagi itu cukup ramai. Padahal jam baru menunjukkan pukul tiga pagi. Weekend menjadi pilihan wisatawan lokal dan mancanegara untuk berkunjung. Udara musim kemarau yang dingin cukup membuat bulu kuduk meremang. Sambil menahan dingin, wisatawan berbondong-bondong mencari tempat strategis untuk menyambut matahari terbit. Kabarnya, view yang didapat sangat memukau.
Aku masih setengah sadar dengan semua keramaian yang ada. Setelah memarkir mobil, berganti jeep, dan tandem dengan rombongan lain, sampai di penanjakan nyawaku seolah masih melayang. Maklum saja, jam tidur terganggu.
Mulutku terbuka lebar-lebar, menguap, saking ngantuknya. Nemo tertawa kecil. "Ngantuk ya? Sabar aja, habis ini pemandangannya seru sekali. Nggak rugi sama dinginnya udara." ujarnya menenangkan. Sementara aku cuek tidak peduli, masih fokus dengan rasa kantuk.
"Eh, mau kopi?" Nemo bergegas kembali turun menuju warung kopi. Aku mengikuti.
Di sepanjang jalan menuju penanjakan, ada kedai berjejer rapi. Isinya jelas menjual minuman dan makanan hangat, ditambah suvenir. Aku tidak tertarik. Kubilang juga apa, aku lebih fokus dengan rasa kantukku. Tapi Nemo tidak peduli, meski aku abai, dia tetap membelikanku secangkir kopi panas dengan asap mengepul.
Sejujurnya, sebenarnya yang membuat aku penasaran dengan Bromo adalah adat dan kebudayaan Suku Tengger. Menurut kisah yang beredar, Suku Tengger memiliki keunikan tersendiri. Seperti selalu memakai sarung dan merasa kurang percaya diri jika tidak memakainya. Atau juga berbangga hati menjadi bagian dari Suku Tengger dengan menanam dan mengkonsusmsi hasil bumi yang ditanam di sekitar. Ya, aku tahu, kebanyakan suku di Indonesia kurasa memang begitu. Tapi menilik lebih dekat Suku Tengger, tidak ada salahnya juga, kan?
Jarum jam berdetak kian cepat. Secepat wisatawan yang kian ramai berkumpul di sisi pagar penanjakan. Tidak terkecuali kami.
"Tahu nggak, Na, sebenarnya penanjakan itu tempat apa?" Nemo melempar tanya ketika kami berada di salah satu sisi pagar tepat menghadap Bromo.
Aku terdiam. Pandanganku beralih pada wisatawan yang berjejer. "Tempat melihat sunrise," sahutku dengan senyum lebar. Aku yakin sekali.
Lelaki di depanku tertawa, mengacak-acak rambutku kasar. "Betul. Tapi yang terpenting, penanjakan adalah tempat di mana permaisuri kerajaan Majapahit, Rara Anteng dan brahmana Joko Seger bertemu sebelum akhirnya menikah dan mempunyai keturunan berupa Suku Tengger." Nemo tersenyum menjelaskan, membuat seketika tersenyum lebar. Tuh, kan, dia memang susah ditebak. Aku bahkan baru sekarang tahu ceritanya.
Tanganku spontan memukul lengannya. "Serius, Mo? Kamu tahu banyak soal Suku Tengger?" aku bertanya antusias. Rasa kantukku hilang berganti dengan penasaran.
"Ya, nggak lebih banyak dari aku tahu kamu-lah, Na." Nemo nyengir kuda seraya menjulurkan lidah. Dasar.
"Eh, mayoritas mereka bercocok tanam, berkebun, dan..." aku memutar bola mata, berpikir. "berwirausaha?"
Sahabatku Nemo lagi-lagi tersenyum. Obrolan kami mengalir seperti biasanya. Kami saling menimpali, hingga lupa dengan sekitar. Layaknya persahabatan yang sudah lama terjalin, apapun topik pembicaraannya membuat kami lupa keadaan. Gemuruh riuh tepuk tangan dari sekitar justru menyadarkan kami bahwa kami berada di tengah-tengah wisatawan. Matahari terbit, mereka bertepuk tangan, sesekali menyeringai.
Nemo menatapku serius. Seulas senyum tipis disunggingkan. "Kamu tahu, Na? Matahari terbit adalah simbol adanya sebuah pengharapan baru. Setiap harinya, setiap paginya, bumi berotasi, mengingatkan makhluk bumi bahwa harapan pada apapun masih ada."
Aku tertawa lebar, mengamini kalimat Nemo. "Ya. Aku tahu. Yang membedakan orang hidup dan mati selain napas adalah harapan."
"Matahari di Bromo indah. Seindah harapanku pagi ini." Nemo mengangkat kameranya, mengarahkan moncong kamera tepat pada bidikan sunrise di balik Bromo.
"Oh, ya? Apa harapanmu pagi ini, Mo?" Aku mengangkat alis. Harapan, mimpi, dan kenyataan yang kami utarakan tidak pernah luput satu sama lain.
Klik! Kamera berpindah posisi, menangkap bayanganku dalam siluet. Masih dalam riuh wisatawan di sekeliling kami, Nemo berujar serius. "Bisa menikmati secangkir kopi panas denganmu." tangannya menggeser kamera, menunjukkan hasil jepretannya padaku. "Dan selayaknya awal mula kisah Suku Tengger."
Siapapun boleh berharap. Termasuk Nemo. Tapi harapanku pagi ini adalah, semoga dia tidak tahu bahwa jantungku berhenti berdetak detik itu juga.
***
Comments