City Tour: Forest Ria, Plasa Surabaya
Awal Juli lalu saya sedang rindu dengan tempat wisata di Surabaya yang dulunya sering kami kunjungi. Salah satunya adalah Forest Ria, lantai 4 Plasa Surabaya--letalnya persis berhadapan dengan Delta 21. Hampir tiap minggu (saat keluarga kami masih berempat) kami jalan-jalan, dan Plasa Surabaya menjadi pilihan wajib dikunjungi. Sama halnya dengan anak-anak lain, saya selalu gembira jika diajak jalan-jalan--sekarang pun :p. Bahkan, saya selalu punya baju favorit untuk jalan yang beberapa kali jalan ya pakai itu-itu saja. Haha, maklum anak-anak :p.
Karena kerinduan pada masa kecil, maka Jumat beberapa bulan lalu, saya mengajak Ilma dan Tita yang ternyata belum sekali pun jalan-jalan ke sana mencoba wahana permainan yang ada. Kasian :p.
Saya masih ingat, lantai 4 Plasa Surabaya dulunya sangat populer oleh anak-anak seusia saya. Sayangnya pemandangan itu begitu kontras dengan kini, yang begitu sepi. Saat bertandang untuk bernostalgia, saya dibuat kaget dengan semua wahana permainan yang nyaris tidak ada yang berbeda satu pun. Posisi Merry Go Round, kereta, bianglala, dan aneka permainan lain sama persis dengan masa kecil saya. Yang paling membuat saya kaget, harga tiket perwahana dijual hanya seharga 2.000 rupiah saja. Meeeh. Harga itu juga menunjukkan gambling. Mau dinaikkan, takut makin sepi pengunjung. Mau tetap, ya terlalu murah. Mau bagaimana lagi?
Karena saya membawa dua makhluk yang baru kali pertamanya bertandang ke mari, jadi lumayan narsis mereka. Banyak foto-fotooo *padahal ngikut juga :)))*. Ada memori di bianglala. Saat itu, kami berempat (ayah, ibu, simas, dan saya) naik bianglala. Berbeda dengan wajah binar-binar saya karena bisa melihat atap-atap rumah dan gedung yang posisinya lebih rendah, simas malah menangis takut nggak bisa pulang dan turun. Pikiran saya saat itu, kayaknya aku yang pas jadi kakaknya :))). Nah, persis dengan kondisi saat itu, Tita juga ketakutan saat naik bianglala untuk kali pertamanya. Tapi, begitu tau naik bianglala ternyata seru, ketagihan dia. Ngoook.
Kami menghabiskan 24.000 atau 12 tiket untuk menjajal permainan di sana. Tapi, namanya juga ingat umur, saya dan Ilma cuma naik bianglala saja, cukup dua kali-lah.
Menapaki nostalgia di masa lalu, menyadarkan saya bahwa kejayaan pariwisata di Surabaya telah menurun. Sebut saja Taman Remaja Surabaya, Pantai Ria Kenjeran, dan Kebun Binatang Surabaya. Ketiga tempat tersebut memang ramai jika musim liburan tiba. Tapi kontras dengan hari biasa yang begitu melompong. Apalagi kondisi lantai 4 Plasa Surabaya. Nyaris hanya menyisakan pemandangan kosong dengan beberapa pegawai bercengkrama. Diakui atau tidak, masyarakat Surabaya beralih ke luar kota untuk berwisata. Saya pun merasa demikian. Pariwisata Surabaya nggak variatif. Nggak ada pembaruan, apalagi pembenahan. Makanya, nggak salah juga kalau masyarakatnya berbondong-bondong beralih tempat untuk berwisata.
Mungkin, beberapa pengunjung yang datang bebarengan dengan saya juga memiliki tujuan yang sama, yakni bernostalgia. Ya, kalau pada kenyataannya seperti ini--sepinya--siapa lagi yang bisa menghidupkan kondisi pariwisata Surabaya jika bukan warganya sendiri?







Karena kerinduan pada masa kecil, maka Jumat beberapa bulan lalu, saya mengajak Ilma dan Tita yang ternyata belum sekali pun jalan-jalan ke sana mencoba wahana permainan yang ada. Kasian :p.
Saya masih ingat, lantai 4 Plasa Surabaya dulunya sangat populer oleh anak-anak seusia saya. Sayangnya pemandangan itu begitu kontras dengan kini, yang begitu sepi. Saat bertandang untuk bernostalgia, saya dibuat kaget dengan semua wahana permainan yang nyaris tidak ada yang berbeda satu pun. Posisi Merry Go Round, kereta, bianglala, dan aneka permainan lain sama persis dengan masa kecil saya. Yang paling membuat saya kaget, harga tiket perwahana dijual hanya seharga 2.000 rupiah saja. Meeeh. Harga itu juga menunjukkan gambling. Mau dinaikkan, takut makin sepi pengunjung. Mau tetap, ya terlalu murah. Mau bagaimana lagi?
Karena saya membawa dua makhluk yang baru kali pertamanya bertandang ke mari, jadi lumayan narsis mereka. Banyak foto-fotooo *padahal ngikut juga :)))*. Ada memori di bianglala. Saat itu, kami berempat (ayah, ibu, simas, dan saya) naik bianglala. Berbeda dengan wajah binar-binar saya karena bisa melihat atap-atap rumah dan gedung yang posisinya lebih rendah, simas malah menangis takut nggak bisa pulang dan turun. Pikiran saya saat itu, kayaknya aku yang pas jadi kakaknya :))). Nah, persis dengan kondisi saat itu, Tita juga ketakutan saat naik bianglala untuk kali pertamanya. Tapi, begitu tau naik bianglala ternyata seru, ketagihan dia. Ngoook.
Kami menghabiskan 24.000 atau 12 tiket untuk menjajal permainan di sana. Tapi, namanya juga ingat umur, saya dan Ilma cuma naik bianglala saja, cukup dua kali-lah.
Menapaki nostalgia di masa lalu, menyadarkan saya bahwa kejayaan pariwisata di Surabaya telah menurun. Sebut saja Taman Remaja Surabaya, Pantai Ria Kenjeran, dan Kebun Binatang Surabaya. Ketiga tempat tersebut memang ramai jika musim liburan tiba. Tapi kontras dengan hari biasa yang begitu melompong. Apalagi kondisi lantai 4 Plasa Surabaya. Nyaris hanya menyisakan pemandangan kosong dengan beberapa pegawai bercengkrama. Diakui atau tidak, masyarakat Surabaya beralih ke luar kota untuk berwisata. Saya pun merasa demikian. Pariwisata Surabaya nggak variatif. Nggak ada pembaruan, apalagi pembenahan. Makanya, nggak salah juga kalau masyarakatnya berbondong-bondong beralih tempat untuk berwisata.
Mungkin, beberapa pengunjung yang datang bebarengan dengan saya juga memiliki tujuan yang sama, yakni bernostalgia. Ya, kalau pada kenyataannya seperti ini--sepinya--siapa lagi yang bisa menghidupkan kondisi pariwisata Surabaya jika bukan warganya sendiri?







Comments