Day 12. FF: Bronis.

Whatever tickel your fancy adalah tema tetap setiap hari kelipatan enam. Dan hari ini saya akan membeberkan salah satu jenis kesukaan saya. Yakni, menulis flash fiction :p. Flash fiction atau cerita amat singkat memuat 500 kata (tapi saya suka kelewatan biasanya :p) adalah jenis tulisan yang menyenangkan menurut saya. Karena sifatnya yang pendek dan cepat tuntas, memungkinkan saya bisa menulis kapanpun dan di manapun ide datang. Selain bisa cepat menuangkan ide yang tetiba datang, juga bisa latihan menulis. Jadi, memang layak menjadi kesukaan ya :)).
###---***---###
Pagi itu, aku berkemas taktis. Seperti jadwal yang sudah disepakati, aku dan Boy akan berangkat menuju kepulauan Karimun Jawa. Estimasi waktu dari Surabaya ke Jepara sekitar delapan jam ditempuh dengan bis. Sampai terminal bisa jalan kaki ke Pelabuhan Kartini sekitar sepuluh menit. Jadi, bisa dikatakan, kami akan sampai dan siap menyebrang pukul 6 tepat--jika tidak molor. Berbagai persiapan sudah lengkap, tinggal telepon Boy yang akan datang menjemputku yang kurang.
Boy adalah adik tingkatku. Usianya baru 20 tahun. Kami sama-sama pecinta travelling yang bertemu di laman khusus traveller. Setelah beberapa kali jalan dengannya, aku baru tau kalau ternyata dia satu kampus denganku. Yah, lumayan membantu jika ada rencana travelling.
Rencananya, kami pergi berdua dari Surabaya. Tapi sampai di pelabuhan, sudah ada teman asal Jakarta dan Bandung menunggu. Ya, kami sepakat menjadikan pelabuhan sebagai meeting point.
***
"Boy, ini perjalanan ke Karimun Jawa yang ke berapa buatmu?" aku bertanya saat bis malam sudah melaju. Boy yang tengah asik dengan ponselnya menoleh ke arahku. Dia tersenyum.
"Baru sekali," dia menjawab pendek. Alisku bertaut, tidak percaya. "sekali denganmu. Dua kali dengan teman-temanku," lanjutnya kemudian.
Aku tertawa kecil, meninju lengannya pelan. "Sialan."
"Kamu tidak curiga padaku, kan, Res?" tatapan serius Boy membuatku bingung. Curiga? Kenapa bisa?
Gelengan kepalaku menjawab pertanyaannya. Seiring dengan jemari kami yang saling menggenggam. Aku sendiri tidak tahu, sejak kapan aku merasa nyaman berada di dekatnya. Seperti sekarang. Seharusnya aku tidak membiarkan perasaanku larut dalam malam kelam di perjalanan menuju gugusan kepulauan sejuta pesona. Tapi entahlah, naluriku jauh lebih mengerti apa yang kubutuhkan saat ini.
"Menurutmu, apa ini menjadi satu jawaban pasti bahwa kamu mau bersamaku, Res?" Boy mengangkat jemariku, menciumnya perlahan. Ada desiran aneh dalam dada. Menggelitik.
Jika aku masih ingat pada janji dan prinsipku, tentu aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Aku tidak menyukai lelaki yang lebih muda dariku karena aku tahu, bisa saja pengalaman dan pengetahuannya lebih minim dariku. Licik memang, karena pada kenyataannya Boy tidak demikian.
Aku terkesiap. Lalu melonggarkan genggamannya perlahan. "Aku tidak bisa, maaf."
Aku tahu, cinta itu dipilih oleh hati. Tapi aku juga tahu, logika sering kali tidak masuk akal dalam menentukan pilihan. Sepertiku kini. Senyap menyelimuti malam di perjalanan menuju Jepara. Perjalanan masih jauh. Sama dengan perasaan yang enggan membuka diri, memilih untuk sendiri kadang menjadi satu pilihan tepat di saat hati dan pikiran tidak bisa berkompromi. Dan perjalanan menuju satu titik kompromi, pada kenyataannya, masih jauh.

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan