Keindahan Pulau Tak Berpenghuni, Sempu Island
Sabtu malam (24/8) saya sudah berkemas untuk ikut trip bareng Plurker Surabaya ke Papuma, Jember. Tapi batal H-1 jam keberangkatan. Saya gondok akut karena dilarang pergi dengan alasan saya baru saja bepergian ke Jogja (13-15/8). Lah, namanya saya, begitu dilarang pergi, ya langsung menyusun rencana berikutnya dengan teman yang lain. Pokoknya, harus jadi jalan-jalan. Kapan lagi?
Setelah mengontak Har dan Vis (teman trip ke Bromo) detik itu juga pascapelarangan untuk pergi ke Papuma, kami sepakat untuk pergi ke Pulau Sempu hari Jumat (30/8). Perjalanan singkat dan dadakan itu pun dirancang sedemikian rupa agar benar-benar terjadi. Setelah rencana semi-matang tersusun, Kamis malam sepulang kerja saya berangkat bersama dua rekan lain asal Surabaya, Laila dan Lina, dengan menggunakan kereta ekonomi. Harga tiketnya masih 4.000 rupiah tujuan Stasiun Malang Kota Baru.
Di sepanjang perjalanan, saya menghabiskan waktu dengan tidur. Maklum saja, hari itu saya berangkat kerja pagi-pagi--pukul tujuh :p-- jadi sambil ngecharge badan lagi, kan, lumayan. Sampai di Stasiun Malang Kota Baru pukul 22.00, kami langsung menuju pemondokan Har di Margomulyo menggunakan angkot AMG. Tarif angkot dipatok sebesar 5.000 rupiah, jauh dekat. Tarif yang lumayan tidak sepadan dengan jaraknya.
Sesampainya di pemondokan, sambil berkenalan dengan teman baru, kami kembali merancang rencana perjalanan esok hari. Diputuskan, kami berangkat pukul 6.00 atau 7.00 pagi, karena jam tersebut paling memungkinkan untuk berangkat.
Satu, penyebrangan kapal di Pantai Sendang Biru menuju Pulau Sempu baru dibuka pukul 5.00 pagi. Dua, jika ingin melihat sunset di Sendang Biru, berangkat dini hari adalah sia-sia, karena daerahnya terkenal rawan--apalagi kami mayoritas wanita. Informasi rawan tidaknya daerah Malang Selatan, tepatnya di Sumbermanjing Wetan ini saya dapatkan dari rekan kuliah selaboratorium yang memang rumahnya di sana. Tiga, berangkat pukul 5.00 dari pemondokan sulit dilakukan. Alasannya simpel saja, karena kami belum mendapatkan pinjaman motor sampai pagi menjelang, menyewa motor pun rental belum buka. Jadi, sembari memikirkan plan-B-C-Z, jarum jam terus meluncur hingga pukul 7.00, semuanya beres dengan rombongan trip lengkap; Vis, Har, Mila (teman Har), Laila, Lina (teman Laila), dan saya.
Perjalanan dari Malang menuju Pantai Sendang Biru membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Letak Pantai Sendang Biru sendiri berada di dekat Pantai Tamban. Setelah mengisi bensin, baik untuk motor dan perut masing-masing, perjalanan dilanjutkan dengan suasana hati riang gembira--yaiyalah, senang, perut sudah kenyang :))). Fyi, untuk mencapai kawasan Pantai Sendang Biru, jika tidak menggunakan kendaraan pribadi, bisa menggunakan kendaraan umum. Dari terminal Arjosari bisa menggunakan angkot menuju terminal Gadang (AMG, AG, ABG) dilanjutkan naik bis mini menuju Turen dan Sendang Biru.
Kami sampai di kawasan Pantai Sendang Biru pukul 9.00. Memasuki Sendang Biru, pengunjung akan disuguhi pemandangan puluhan perahu nelayan berjejer rapi. Ya, kawasan ini juga dikenal dengan sebutan pantai nelayan karena letaknya yang berdekatan dengan tempat pelelangan ikan. Saya cukup menyesal, kenapa tidak menyempatkan waktu untuk mampir ke TPI. Coba, kalau saya mampir, mungkin saya akan tahu bagaimana proses pengolahan pembuatan ikan pindang dan tongkol yang gurih itu. Di Pantai Sendang Biru, 3 motor--6 penumpang dipatok harga 40.000 rupiah. Saya yakin, tiket masuk ini sebenarnya fleksibel. Kenapa? Satu, saya tidak mendapatkan tiket dengan stempel dan harga tertera. Dua, sebelumnya, saya dipatok harga 45.000 rupiah, tapi karena si penarik tiket tidak punya uang kembalian 5.000 rupiah, jadinya tiket masuk kami dihargai 40.000 dengan rincian yang saya sendiri tidak paham.

Perahu nelayan.
Dari tempat kami berdiri, Pulau Sempu berada tepat di depan mata. Saking dekatnya, bahkan bisa saja pengunjung berenang untuk menjangkaunya--bagi yang niat dan mau--saya, sih, makasih banyaaak :))). Sebelum menyebrang, pengunjung diminta untuk melakukan izin di Balai Konservasi Pulau Sempu yang berada di dekat tempat parkir. Selain izin, di sana juga dipatok biaya administrasi yang lagi-lagi saya tengarai fleksibel karena tidak ada tiket yang diberikan. Untuk enam orang rombongan kami, dipatok biaya perizinan sebesar 20.000 rupiah.

Balai Konservasi Wilayah Pulau Sempu.
Beres semuanya, pukul 9.25 kami langsung menuju tepi pantai untuk menyewa kapal. Satu kapal--berapapun orangnya (maksimal 10)-- dihargai sebesar 100.000 rupiah PP. Kapal ini akan mengantarkan pengunjung menuju Ant Bay, Segara Anakan, Pulau Sempu. Jika pengunjung ingin ke tempat lain (bukan Segara Anakan. Fyi, di Pulau Sempu ada sekitar 25 objek wisata yang berbeda. Tapi Segara Anakan yang paling populer.) harga yang diberikan juga sama. Tapi, kalau tujuannya lebih dari satu tujuan, harga sewa kapal naik menjadi 150.000 rupiah. Sewa kapal ini terakhir pukul 16.00 atau pukul 17.00 kalau kondisi benar-benar ramai. Perjalanan penyebrangan ini membutuhkan waktu singkat. Hanya sekitar 9-11 menit.

Ant Bay.
Kami sampai di Ant Bay pukul 9.34, kondisi perairan sedang dangkal. Kami pun berhenti di tepian bakau untuk jalan kaki. Di sini, kami cukup excited menginjakkan kaki, mengingat kami sama sekali belum pernah ke sana--kecuali Vis. Untuk menuju Segara Anakan, perjalanan pun dilanjutkan dengan treking. Sebelum keberangkatan, saya sempat surfing mengenai seperti apa jalur treking Pulau Sempu. Banyak pengunjung yang mengatakan jalur treking bisa ditempuhh selama 2-3 jam tergantung cuaca. Kalau sedang musim hujan, bisa sampai 4 jam perjalanan dengan kondisi trek penuh lumpur dan licin. Saya pun ingin membuktikan dan sengaja memposisikan diri sebagai time keeper.
Di perjalanan ini, selain main jepret, kami juga saling menyapa pada sesama pejalan yang bersinggungan. Umumnya, mereka menginap di Segara Anakan 2-4 hari dengan rata-rata pengunjung asal Jakarta dan Bandung. Saya percaya, perjalanan mengharuskan pejalannya untuk tahu hal baru, juga teman baru.

Treking.
Sambil ngobrol ngalur ngidul, saya terus memantau jam. Ternyata, untuk sampai di Segara Anakan diperlukan waktu sekitar 1 jam (saja). Entah karena kami banyak omong sehingga perjalanan tidak terasa, atau karena langkah kami cukup cepat, atau bisa jadi karena treknya yang pendek *sesumbaaaarr =))))*. Yang jelas, setelah 1 jam 4 menit perjalanan kami sampai di Segara Anakan.
Sampai di Segara Anakan, hal pertama yang kami lakukan adalah tertawa-tawa senang. Treking panjang dibayar lunas dengan pemandangan pasir putih dan deburan ombak tenang berwarna hijau. Langit cerah dengan awan berarakan membuat hati seketika lupa dengan rasa capek yang menjalar. Suasana sepi Segara Anakan membuat saya gembira dan langsung menganggap bahwa Pulau Sempu adalah milik saya, muahahaha. Benar-benar menyenangkan. Kami benar-benar beruntung, karena ke sana di saat hari bukan hari libur. Jadi suasananya memang sepi. Ada beberapa kemah berdiri, tapi itu sama sekali tidak mengganggu. Eh, iya, di sini tidak semua sinyal hape mati, tergantung operatornya. Jadi, buat siapapun yang ingin pamer foto ke sosmed langsung fresh from the pan, bisa banget :))).

Segara Anakan.

Kemah.
Setelah mencari tempat yang cukup teduh, kami pun segera bermain air, pasir, jepret berbagai pose, juga main voli--yang bolanya pinjam dari tetangga sebelah. Sayang sekali, saya baru menyadari bahwa membawa baju ganti sebenarnya adalah hal yang wajib dilakukan. Karena tempatnya asik untuk berenang. Sayang bangeeet :(. Jadi, kalau memang berniat main basah-basahan, jangan lupa bawa baju ganti.
Di sini, saya juga cukup menyayangkan dengan kondisi di sekitar Segara Anakan. Ada beberapa botol minuman berserakan. Padahal, saat di tempat perizinan, pengunjung akan diberi pesan untuk membawa pulang sampah-sampah yang dihasilkan, bukan ditinggal. Yaa, gimana bisa Indonesia makin dicari turis asing kalau wisatawan lokalnya tidak menjaga destinasi wisatanya sendiri?

Halooo.
Hup!

Natural.

Nyi-nyi.

Komplit!
Sampah. :/
Jika Segara Anakan adalah laguna dengan kedalaman standar, maka di balik bebatuan karang justru sebaliknya. Lautan lepas pantai terhampar dengan deburan ombak yang cukup membuat hati merinding. Berwarna biru dengan pandangan lepas ke Samudera Hindia. Sayangnya, pemandangan menakutkan tapi indah ini diganggu dengan bau amonia yang cukup kuat. Lagi-lagi saya kecewa. Bisa dipastikan, banyak pengunjung yang memilih untuk buang air kecil di bebatuan karang ini. Cekungan batu karang di beberapa titik pun terlihat ada air berwarna kekuningan. Errr, sayang sekali.


Indah tapi seram.
Setelah berfoto dan bersantai sepuas-puasnya, kami pun memutuskan untuk kembali pada pukul 13.05. Treking lagi dan nggosip lagi. Karena Pulau Sempu merupakan daerah konservasi, jadi beberapa satwa liar masih bisa dijumpai di tempat ini. Salah satu hewan liar yang paling sering dijumpai adalah jenis primata, mulai dari lutung hitam hingga makaka.


Makaka sp.
Kapal bersandar kembali di Sendang Biru sekitar pukul 14.40. Jujur saja, saya merasa jauh lebih capek saat treking perjalanan pulang. Kami pun sempat beberapa kali berhenti untuk istirahat mengatur napas perdua puluh menit. Sampai di Sendang Biru, kami beristirahat sejenak di warung-warung yang ada, sambil melemaskan otot-otot yang pegal. Nah, bagaimana, tertarik untuk melakukan perjalanan ke Pulau Sempu? Boleh saja, asal sampahnya dibawa kembali dan dibuang di tempatnya. Selamat berlibur!
Rincian biaya:
Bensin: 39.000
Tiket masuk: 40.000
Sewa kapal: 100.000
Izin: 20.000
Parkir: 9.000
Total: 208.000/6 = 35.000 perorang.
Comments