Sandal yang Tertukar #2
Bagaimanapun juga, pengalaman mengajarkan untuk tahu, mana yang dinamakan kesempatan, peluang, atau justru keberuntungan.
Aku tersenyum simpul mendengarkan rangkaian cerita Tom. Hari sudah sore dan aku masih betah duduk di lesehan Gudeg Wijilan, depan Keraton Jogja. Sengaja tidak langsung ke daerah Wijilan karena memilih tempat yang tidak begitu ramai dan nyaman. Pantas saja malam itu raut wajah Tom kesal bercampur sedih. Mendengar ceritanya saja aku ikut simpati. Pantas juga dia memposisikan dirinya serupa Rakai Pikatan. Hanya bedanya, dia tidak membunuh, apalagi mengutuk wanita yang disebutnya penipu. Hih, amit-amit.
"Kau tahu Tom? Semua itu ada alasannya. Bukan karena nasib sial sedang memburumu, bukan banget. Tapi justru karena Tuhan sedang menyelamatkanmu," aku duduk bersila di depannya, berkali-kali memberinya senyuman.
Dia ikut tersenyum.
Aku meraih gelas teh hangat, meneguknya sedikit. Rasa harum daun teh tercium indra penciuman, menenangkan. "Coba bayangkan, jika di awal saja wanita itu sudah berbohong padamu, bukan tidak mungkin dia akan berbohong di lain hari. Mengajarkan anak-anak kalian dengan kebohongan, menumbuhkan bibit-bibit pembohong di muka bumi. Lalu tumbuh koruptor muda di negara kita, Indonesia. Bagaimana, mengerikan, bukan?" kepalaku miring, meminta persetujuan. Tak kulihat nada sepaham di wajah Tom.
Pundakku bergetar pelan, tertawa kecil. "Terlalu menakutkan, ya, perumpamaannya?" kulihat paras lelaki tampan di depanku diam. Sejujurnya, dia terlalu kasihan jika ditelantarkan, terlalu tampan dan baik untuk dibiarkan sendiri dan berlarut-larut dalam kesedihan. Yaaah, paling tidak, aku ingin membuatnya selalu senang dan bahagia, meski bukan aku yang menjadi alasannya untuk tertawa.
"Sesakit apa, sih, Tom, rasanya dihianati? Sesakit apa rasanya dibohongi dan diduakan?" aku membiarkan kalimat yang kutahan lama akhirnya keluar juga. Biarlah, toh, jika dia tidak berkenan menjawab, dia bisa mengabaikannya. Mudah saja.
Tom, lelaki yang baru kukenal tiga hari itu masih terdiam. Pandangannya dalam menatap mataku, seolah mencari kebenaran atas kata-kataku, sekaligus kepercayaan. Aku tahu, dia butuh tempat untuk percaya. Sebagai orang baru, tentu peluangku untuk dipercaya sangat kecil.
Aku mengangkat alis, kembali tersenyum. "Ada banyak alasan juga untuk kau percaya padaku, Tom," ucapku membuyarkan hening di antara kami. "Salah satunya, karena kita tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi, bukan tidak mungkin setelah ini kita kembali menjadi orang yang saling tidak mengenal. Artinya, kau tidak perlu khawatir ceritamu bocor. As simple as that," kedua tanganku terbuka, memastikan bahwa semua akan aman.
Ada sekitar lima menit lamanya hening kembali tercipta di antara kami. Aku menunggu dalam diam sembari memainkan Whatsapp, mengajak teman untuk berbincang, membunuh sepi.
"Kata siapa aku tidak percaya padamu? Aku bahkan percaya di saat kita kali pertama bertemu," Tom buka suara. Akhirnya.
Lesung pipi di pipi kanannya menonjol seiring senyumnya yang tersungging. "Dihianati, dibohongi, diduakan, semuanya menyakitkan. Percaya, deh. Apalagi ketika kau tahu kebenaran bukan dari orang yang kau puja atau percaya. Tapi justru dari orang lain. Rasanya hidup sudah tidak berguna lagi,..."
Aku menyela dengan tertawa lebar. "Kau tahu apa soal hidup tidak berguna, Tom? Memangnya kau Tuhan? sampai tahu masalah hati bisa membuat hidup tidak berguna," tanganku menggebrak meja berulang-ulang, tertawa tiada henti, membuatnya seketika diam.
"Eh, sori," aku membungkam mulut cepat. "Lanjutkan ceritanya, deh."
***
Seiring waktu, aku mulai mengerti dengan jalan pikiran Tom. Kami sudah sering bertemu di luar kota Jogja, kota kali pertama kami bertemu. Banyak hal kami bicarakan. Dan hari ini, aku mengajaknya untuk berkeliling Surabaya, kota kelahiranku, saat dia sengaja berkunjung dari Semarang untuk sekadar bertemu. Tepat hari ini, kami sudah saling mengenal dalam kurun waktu enam bulan.
Hari ini aku memakai kaus maroon lengan pendek, celana jins panjang, jam tangan sport, rambut kucir kuda, sneakers cokelat, dan tas selempang berisi block note, kotak pensil, kamera poket, dompet, ponsel, dan mukena. Tujuan jalan-jalan hari ini adalah ke museum rokok House of Sampoerna yang ada di Utara Surabaya. Pagi hari, aku menjemputnya di homestay tempatnya menginap, di daerah Gayungsari.
"Sudah, Tom?"
"Seperti yang kau lihat, aku siap kau culik seharian untuk berkeliling kotamu," Tom tertawa memamerkan kesiapannya. Aku acungkan dua jempol seraya terbahak.
Selain HoS, kami juga berencana berkunjung ke museum kesehatan dan monumen Jalasveva Jayamahe. Semuanya di Utara Surabaya.
"Dira, kau terganggu dengan kedatanganku ke mari?" tanya Tom saat kami sama-sama terdiam, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing.
"Hm?" aku mendongak, membenarkan helm, melihat Tom dari spion, lalu menggeleng. "Enggaklah. Mana mungkin aku terganggu. Lagipula, kalau aku terganggu nggak akan bilang," lanjutku sambil menjulurkan lidah, mengejeknya.
Dia tertawa. "Kau tahu, Dira? Kurasa aku tahu alasan Tuhan kenapa Dia mempertemukanku denganmu."
Aku mendekatkan telinga, samar-samar mendengarkan. "Hm. Apa?"
"Karena kau adalah penawar. Kau didatangkan tepat saat aku sakit hati. Saat aku butuh orang untuk percaya pada ceritaku." Tom menjelaskan setengah berteriak. Maklum saja, posisi kami tidak berhadapan. Lagi pula kondisi jalan yang ramai memaksa kami untuk bicara sedikit kencang agar bisa saling mendengar.
Di belakangnya, aku tertawa kecil. Senang mendengarnya.
***
Di HoS, wisatawan diajak untuk tahu segala hal soal rokok, salah satu penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Mulai dari sejarah keluarga Sampoerna, pabrik Sampoerna, segala hal tentang jenis tembakau, cengkeh, dan aneka bungkus rokok lengkap dengan ratusan pelinting rokok yang bisa dilihat dari jarak satu meter. Kami saling mengomentari apa saja yang ada, termasuk kandungan tembakau yang sebenarnya bisa digunakan untuk selain rokok. Seperti untuk antikanker, obat HIV, penyembuh luka, pestisida, dan banyak lagi. Mestinya pemerintah tahu tentang ini, agar mindset masyarakat Indonesia tentang kaitan tembakau dan rokok hilang. Sayangnya, pemerintah justru terbuai dengan penghasilan yang didapat dari penjualan rokok.
"Tom, boleh tanya?" aku menyentuh lengannya pelan, mengalihkan perhatian dari display bahan-bahan rokok. Kubuat wajahku seserius mungkin. Ada hal penting yang harus segera kuketahui.
Tom menoleh, tersenyum, dan mengangguk. "Silakan."
Aku melumasi bibir, menyiapkan pertanyaan remeh yang membuatku cukup penasaran. "Tentang wanita enam bulan lalu. Apa kabar?" tanyaku pelan. Kubuat senyum semanis mungkin, kubuat aku tampak datar dan biasa saja. Padahal dalam hati deg-degan bukan main.
Tom, lelaki berambut lurus cepak itu tertawa. Tangannya mengusap kepalaku. "Perlu kuulang lagi, Dira?"
Aku mengerjap. "Apa?"
"Kubilang kau ini penawar. Kau penawar rasa sakit. Jadi, kurasa kau bisa artikan sendiri kabar wanita itu, kan?" Tom mengerling. Aku menatapnya tidak percaya. Tangannya menjawil hidungku gemas. "Kau tidak ingat juga?"
Kali ini aku mengernyit, mencoba mengingat-ingat apa saja yang mungkin kulupakan. Sayang, gagal. Aku menggeleng. "Apa?"
"Dira, kurasa kau tentu masih ingat dengan kalimat yang kauucapkan padaku. Tentang sepasang sandal yang tertukar," Tom membuka ingatan yang seketika membuatku sadar.
"Bahwa sejatinya sandal jepit yang tertukar tidak akan nyaman digunakan. Sebagus apapun, semahal apapun, jika salah satunya tertukar, maka tidak akan bisa dipakai," aku menyela cepat membuat Tom mengangguk seraya tersenyum.
Kali ini aku ingat. Dua bulan lalu, aku menemukan filosofi sandal setara dengan cinta saat akan mengambil air wudu untuk salat Isya. Sepasang sandal yang tidak sama, tidak akan bisa digunakan. Sekalipun bisa, akan ada ketidakcocokan dan satu yang merasa dipaksa agar terlihat cocok. Tidak imbang. Persis dengan mencari pasangan. Tidak tepat, tidak sama dan cocok, ditambah pemaksaan, tidak akan bisa dijalani.
***
Comments