Satu Tahun Menjadi Bagian dari Pekerjaan yang Diidamkan
Hari ini, tepat satu tahun saya menjadi bagian dunia yang dulunya hanya menjadi cita-cita saja, media. Tepat tanggal ini, satu tahun lalu, saya memulai pekerjaan yang sama sekali berbeda dengan background pendidikan saya. Dunia media, tidak pernah saya pelajari di ruang perkuliahan. Tidak pernah saya baca di diktat kuliah. Apalagi di laboratorium. Sama sekali tidak pernah. Hanya saja, perkuliahan mewarisi kebiasaan menulis yang menjadi tugas pokok dari seorang jurnalis. Beruntung, kebiasaan menulis (dengan tangan :p) sedikit didukung oleh hobi menghayal atau olah kata. Jadinya, beradaptasi dengan gaya penulisan televisi lumayan sedikit cepat.
Berbeda dengan belajar kamera tangan dan video. Saya buta. Tidak mengenal sama sekali apa itu angle dan macam-macamnya. Saya hanya mengenal jenis pengambilan gambar untuk berita adalah cut to cut atau hanya seputar long-medium-close up-ekstrem close up dengan durasi minimal tujuh detik perscene. Ternyata salah. Ya, memang cut to cut, namun permainan seni pengambilan gambar justru paling urgent. Pemirsa akan bosan jika pengambilan gambar monoton. Saya pun demikian saat memposisikan diri sebagai pemirsa. Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk belajar soal teknik pengambilan gambar. Beruntung, lingkungan kerja yang komunikatif dan saling mendukung membuat saya cepat tanggap dan tahu apa yang harus saya lakukan.
Seorang teman editor memberi video teknik pengambilan gambar yang sangat berguna bagi orang buta kreasi macam saya. Video tersebut berisi beragam jenis teknik pengambilan gambar yang saya putar berulang-ulang. Saya yakin, kalau saya pasti bisa memainkan otak kiri untuk berkreasi. Saya masih ingat betul kalimat pimred yang memastikan saya pasti bisa memainkan kamera tangan. "Satu bulan cukuplah belajar kamera." Jelas, saya terpacu. Kapan lagi saya belajar kalau tidak sekarang? Toh, bekerja adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan. Mulanya, saya memang takut. Tapi lagi-lagi saya beruntung ditemukan dengan orang-orang keren dan penuh dukungan. Berkali-kali teman-teman baru memberikan pengetahuan soal gambar tanpa sesumbar sedikit pun. Dan saya sangat senang dengan lingkungan seperti itu.
Tiga hari tandem, hari keempat saya dilepas. Saya cenggo berat. Topik liputan pertama saya soal BBM dengan narasumber Menteri BUMN. Meh. Saya depresi berat pagi itu. Saking depresinya karena grogi, ternyata saat wawancara saya tidak menekan tombol record. Detik itu juga, rasanya pingin nabrakin diri ke tembok. Secara, siapa Menteri BUMN? Siapa pemilik media tempat saya bekerja? Omelan petinggi kantor pun berputar-putar di kepala. Tapi, sejak kejadian itu, saya memilih untuk semakin banyak bertanya pada editor dan teman sesama reporter. Saling sharing, berbagi. Banyak ilmu yang saya dapat hingga saya sedikit memahami uniknya dunia baru ini.
Sebagai jurnalis, setiap harinya, saya diharuskan menyetor dua berita, minimal. Hal ini tentu menyulitkan untuk saya, anak baru. Belum banyak punya teman jurnalis, apalagi dapat agenda peliputan? Setiap hari saya memelototi website, browsing mencari ide peliputan. Saat itu, saya ditemani oleh jurnalis yang sama baru dari media cetak satu grup, Fikri. Bersama Fikri, saya merasakan betul bagaimana rasanya menjadi bagian baru dari media. Saya ingat sekali, membuka link sangat sulit. Berkenalan dengan orang baru lalu diajak janjian untuk diliput, benar-benar sangat-sangat sulit. Tapi saya tanamkan pada diri, bahwa inilah seninya jurnalis. Penuh tantangan.
As time goes on, satu tahun berada di sini, saya masih merasakan bagaimana hangat dan bersahabatnya lingkungan kerja internal. Saya nyaman, bukan berarti saya merasa aman. Saya tetap waspada. Waspada pada apa saja yang mungkin tidak saya duga terjadi ;)).
Satu tahun di dunia media, saya mulai merasakan enjoy. Selain karena sudah berhak mendapat cuti :p, saya juga senang mengambil beragam pelajaran dari orang-orang baru. Tentang bagaimana sikap, watak, dan karakternya, serta macam-macam hal unik dan kreatif di sekitar. Satu tahun menjadi jurnalis, saya mulai terbiasa untuk menghapal jalanan Surabaya--hal yang saya nantikan dari zaman kecil. Menjadi bagian kecil dari media, tentu saya mempunyai peran besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menyajikan berita berkualitas dan bermutu agar masyarakat paham dinamika kehidupan yang ada. Menjadi bagian dari dunia pertelevisian, semoga saya bisa memilah angle kehidupan yang baik bagi saya dan orang lain. Semoga saya tetap berkomitmen. Amin.
PS. Terima kasih untuk Mbak Nora yang mengenalkan saya pada dunia media dan lapangan, ayo makan-makan!; Mas Panji SBO untuk kuliah singkatnya; Mbak Rizqi untuk waktu sharing kegalauan di dunia baru; Fikri untuk waktu-waktu awal; teman-teman kantor yang komunikatif; dan teman-teman jurnalis lain.

Comments
Kamu terlihat bahagia, jangan lupa nikah.. :p
Semangat terus ya, Nduk. Di mana pun kita bisa belajar. Apapun.