Batas

Dieng pagi itu dingin. Rania melirik layar ponsel, 14 derajat celcius. Pantas saja tubuhnya menggigil. Punggung tangannya berkali-kali menutup mulut menahan kantuk saat jarum jam menunjuk angka nyaris empat. Artinya, ia tidak bisa merapatkan selimut untuk menghangatkan tubuh. Kemarin, dirinya sudah menaruh janji pada tukang ojek, pukul empat dijemput untuk berangkat menuju Gunung Sikunir. Waktu yang tepat untuk mendaki dan melihat sunrise, begitu kata ibu pemilik penginapan.

Rania, wanita berusia 26 tahun memiliki hobi jalan-jalan. Bekerja sebagai editor majalah fashion mingguan, membuat rutinitasnya menggunung. Beruntung, pekerjaannya masih tergolong fleksibel, masih bisa dikerjakan dari kejauhan--kalau tidak tahu malu. Liburan cuti kali ini, ia sengaja solo trip. Bukan tidak ada kawan atau lawan. Hanya, kejadian seminggu lalu meyakinkan dirinya bahwa ia harus pergi sendiri. Rama, lelaki yang dipacari dua tahun terakhir berulah. Tidak jauh-jauh, lelaki berparas bersih itu kembali membuat Rania kecewa. Liburan yang seharusnya bisa dinikmati bersama akhirnya terpaksa dirasakan sendiri-sendiri. Masalahnya sepele. Rania kecewa dengan Rama yang membatalkan janji mendadak untuk merayakan hari jadi mereka yang kedua. Rania yang sudah ready bahkan sampai menunda jadwal meeting dengan klien hanya bisa menghela napas, kecewa untuk kali sekian. Berkali-kali ia sadar, cinta jarang mengecewakan. Sayangnya, ia buta. Ia hanya selalu memaafkan dan mentolerir kelakuan Rama.

Wajah pucat Rania terpantul dari cermin. Air dingin Dieng menyusup tulang. Kesalahan besar mencicipi air pegunungan di pagi buta. Tapi akan jauh lebih salah jika ia abai pada Tuhan. Selepas salat, ia bergegas menghubungi ojek untuk dijemput. Sebelum tukang ojek sampai, ibu pemilik losmen menawari teh panas, lumayan membantu menghangatkan kerongkongan dan pencernaan, pikirnya.

"Biasanya rombongan pukul empat sudah ready, Mbak. Mendakinya nggak lama, sih. Paling cuma lima belas menit," ibu pemilik losmen menemani Rania yang tengah menyeruput teh panas di lobi yang juga berfungsi sebagai warung. Sebelah tangannya sibuk membenarkan posisi kamera yang akan ia bawa, senjata ampuh saat melakukan perjalanan.

Wanita itu tersenyum, menyisakan lesung di kedua pipinya. "Oh, ya? Cukup dekat berarti," Rania manggut-manggut. "Tapi saya nggak ngejar golden sun, Bu. Saya hanya pingin refreshing. Di Surabaya jenuh," sambungnya.

Bagi sebagian besar orang, yang dicari saat mendaki gunung adalah golden sun, matahari pertama. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil mengabadikan momen dengan menyaksikan matahari terbit. Satu harapan baru timbul. Tapi bagi wanita Leo, Rania, menikmati ciptaan Tuhan tidak melulu melalui matahari terbit. Karena berada pada puncak gunung dengan pemandangan alam lepas pun sudah menghangatkan perasaan, menghilangkan stres.

Ibu pemilik losmen tersenyum. "Kebanyakan wisatawan begitu. Ke Dieng untuk menghilangkan jenuh di kota. Dan balik kalau jenuh lagi."

Rania tertawa. "Mungkin saya juga begitu, Bu," sahutnya mengamini. Terdengar deru motor mendekat ke losmen, ia pun bergegas, berpamitan. Ojeknya datang.

Perjalanan dari losmen ke desa wisata Sembungan sekitar 7,2 kilometer. Jarak yang sebenarnya cukup dekat jika ditempuh dengan jalan kaki. Sayangnya, Rania tidak berminat menyusuri jalanan seorang diri di pagi buta. Hawa dingin menusuk tulang, tapi tak sampai membuat giginya bergemelutuk. "Dieng ini seru sekali, ya, Pak?" ia membuka percakapan dengan tukang ojek. Bukan tipikalnya kalau ia hanya diam jika bertemu dengan orang baru. Gatal di mulut, katanya.

Tukang ojek bernama Nyoto itu pun mengangguk. "Ya. Banyak wisatawan yang ketagihan ke sini, Mbak. Katanya, Dieng menenangkan. Mbak tahu, kan, kalau Dieng, tepatnya di Desa Sembungan adalah desa tertinggi di Pulau Jawa? Di sini tempat persemayaman dewa Sang Hyang Di." obrolan pun mengalir layaknya teman lama. Rania bertanya, Pak Nyoto menjawab, kadang sebaliknya. Pak Nyoto juga bercerita tentang anak gimbal yang khas dari pegunungan Dieng. Dingin pagi itu seketika menguap. Rania mendapatkan banyak info. Ternyata, Pak Nyoto bukan sekadar tukang ojek biasa, tapi juga guide yang dalam pendakian. Ia selalu menawarkan jasa guide tanpa imbalan jika wisatawan memang membutuhkannya. Prinsipnya, jangan sampai wisatawan kecewa dan tidak kembali lagi ke Dieng.

Bicara soal kecewa, Rania teringat Rama. Berapa kali pun lelakinya mengecewakan, berapa kali pun ia memaafkan. Seperti ada yang salah dalam hubungannya. Namun, ia enggan membuka. "Bapak kenapa nggak pingin wisatawan kecewa? Bapak nggak rugi, ngojek bonus jadi guide begini?" tanya Rania sambil memerhatikan jalan setapak pendakian. Tekstur jalan yang sedikit basah akibat embun mendominasi membuatnya harus berhati-hati.

Di belakangnya, Pak Nyoto tertawa kecil. "Gampang saja, Mbak. Kalau saya bikin kecewa pengunjung, nanti saya makan dari mana? Kan, saya dapat uang dari pengunjung kayak mbak begini. Saya juga pingin punya banyak teman dari lokasi berbeda-beda, Mbak. Kalau saya mengecewakan, apa mungkin Mbak Rania merekomendasikan saya ke teman-temannya?" Pak Nyoto menjelaskan. Rania manggut-manggut sambil mengatur napas.

Kontras sekali dengan Rama dan dirinya. Dua tahun menjalin dan kekecewaan mendominasi hatinya. Seolah selalu ada pintu maaf untuk lelaki terkasihnya. Rama yang khilaf nyaris berselingkuh, ia maafkan. Rama yang melupakannya karena terlalu sibuk pada pekerjaan, ia maafkan. Rama yang perfeksionis dan sering memaksanya untuk tampil anggun di depan umum, ia turiti dan maafkan. Apa itu salah? Bukankah itu cinta?

Sembari mendaki, Rania menekuri langkah-langkah kakinya. Ia berpikir keras tentang kecewa. "Pak Nyoto pernah bikin kecewa pengunjung?" tanyanya akhirnya. Siapa tahu, Pak Nyoto mau berbagi tentang rasa kecewa. Tentu, itu akan menjadi bonus untuknya.

"Mepet sebelah kanan ya, Mbak." ayah dua anak itu mengingatkan agar saya tidak terlalu ke kiri, tempat jurang berada. Rania menuruti.

"Kalau kata orang, karma itu ada. Kalau kata saya, dunia itu dipenuhi hukum timbal balik. Sekali saya mengecewakan, bisa berkali-kali saya dikecewakan. Impas. Semudah itu logikanya, Mbak. Tapi, yang namanya manusia, tempatnya salah dan lupa. Meskipun saya berusaha agar tidak mengecewakan, siapa tahu ternyata masih ada yang kecewa? Kecewa, kan, masalah hati, Mbak." Kalimat Pak Nyoto masuk akal. Rania kian terpekur.

"Mbak Rania ada masalah dengan kekecewaan?" tanpa tedeng aling-aling, Pak Nyoto bertanya. Membuat langkah wanita galau itu terganggu.

Dengan senyum tipis ia membalik badan. "Bukankah setiap orang, sengaja atau tidak, pasti pernah mengecewakan dan dikecewakan, Pak?"

Puncak Gunung Sikunir sudah tampak. Matahari baru sedikit berkelana, menunjukkan cahaya keemasan miliknya. Rania tersenyum memandang puncak. Hatinya mencelos lega. Alam bukan hanya urusan matahari terbit dan tenggelam. Tapi alam adalah persoalan menikmati dengan seluruh panca indra yang ada, juga hati. Menikmati alam bisa saja untuk refleksi kehidupan.

"Tapi saya tahu, Pak, sampai pada titik mana saya harus berhenti mau dikecewakan," sahutnya dengan senyum terkembang. "Karena saya tahu, saya berhak bahagia."

2.263 meter di atas permukaan laut Rania berada. Bersama riuh tepuk tangan pengunjung yang tidak begitu banyak. Lewat alam, mata hati bisa berbicara. Betul kata orang, alam adalah inspirasi terbesar kehidupan. Rania tahu, setiap manusia memiliki batas masing-masing. Termasuk batas toleransi. Kenyamanan, kesabaran, kemampuan, dan segala hal, ada batasnya. Karena sejatinya hanya Tuhan yang tidak memiliki batasan.


Comments

Oh Rania, apa yg terjadi padamu?
penulis, kenalkan aku pada Rania, aku tak sampai hati untuk membiarkan Rania naik gunung dan jalan sendiri. :)

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan