Menikmati Hawa Dingin di Puncak Sikunir
Pertengahan November lalu, saya mengunjungi dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Sebenarnya, ini adalah rencana spontan yang saya ambil begitu cuti kerja didapat karena sebelumnya, saya memutuskan untuk menghabiskan masa cuti empat hari hanya di Jogjakarta. Namun saya pikir, sayang sekali jika empat hari cuti hanya di satu kota saja.
Memilih masa cuti yang berbeda dengan teman, solo backpacking adalah risiko yang harus saya tanggung. Ya, perjalanan kali ini saya kembali sendiri. Berbekal mencari banyak informasi via internet dan bertanya pada teman yang sudah ke sana, saya berhasil meyakinkan diri. Menjadi solo backpacker, hal yang harus dilakukan adalah tidak berlebihan dalam penampilan. Ramah, menyimpan banyak info, dan aktif bertanya pada warga sekitar juga menjadi jurus ampuh berwisata. Informasi yang saya dapat, kawasan pegunungan yang terkenal dengan buah carica (pepaya gunung) dan kentang tersebut, aman bagi solo backpacker amatir seperti saya.
Perjalanan dimulai dari Jogja menuju Dieng, saya berganti angkutan umum empat kali (Jogja-Magelang 10.000 rupiah; Magelang-Wonosobo 18.000 rupiah; Wonosobo-Terminal Njuritan 2.000 rupiah; Terminal Njuritan-Dieng 10.000 rupiah) dengan total perjalanan sekitar lima jam. Sampai di Wonosobo, pemandangan lalu lintas yang padat seketika hilang berganti dengan alam hijau. Sejauh mata memandang, gunung terbentang. Angin semilir bertiup menyegarkan. Hilang sudah pikiran jenuh di Surabaya. Ada baiknya, sebagai solo memilih tempat duduk di samping supir. Karena umumnya supir ramah dan mau diajak ngobrol tentang daerah sekitar. Lumayan menggali info.
Pemandangan sepanjang Wonosobo-Dieng. Hijaaauu!!
Satu jam perjalanan Wonosobo-Dieng, pukul 13.30 saya turun di pertigaan Dieng, tepat di depan penginapan yang dituju. Setelah check in di penginapan Bu Jono (75.000 rupiah/ kamar bisa diisi sampai 4 orang), meminta peta pada pengelola losmen, dan meletakkan backpack, saya bergegas berkeliling menuju empat tempat wisata sentral Dieng. Meliputi komplek Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Dieng Plateau Theatre, dan Telaga Warna. Keempat tempat wisata tersebut bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi, bagi yang tidak ingin pegal, bisa menggunakan ojek atau rental motor. Tarif yang ditawarkan sangat tinggi, jadi harus pintar-pintar menawar. Saya sendiri, lebih memilih jalan kaki, karena sengaja ingin menikmati pemandangan kepungan gunung yang membentang.
Berbekal peta, saya memulai perjalanan menuju komplek Candi Arjuna. Ada sekitar sembilan candi tersebar di komplek percandian Hindu yang dibangun pada abad ke-7 ini. Hawa dingin, hamparan sawah juga pegunungan, dan pemandangan apik, menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Perjalanan saya berlanjut menuju Kawah Sikidang, salah satu dari sekian banyak kawah yang tersebar di daerah Dieng. Kawah Sikidang merupakan kawah terpopuler karena letaknya sangat mudah dijangkau. Berbeda dengan kawah Bromo, jarak kawah Sikidang terletak dekat sekali dengan wisatawan, sekitar lima meter jaraknya.
Salah satu candi di komplek Candi Arjuna
Dikelilingi hamparan bebatuan kapur, bau belerang sangat kuat tercium. Telaga Warna dan Pengilon menjadi destinasi saya berikutnya. Sayang, saya menjadi pengunjung terakhir saat sampai di sana. Sehingga memotret keindahan telaga dengan tiga warna pun seadanya. Hal sama terjadi ketika saya sampai di Dieng Plateau Theatre (DPT) yang memutar film menyoal pegunungan Dieng. Saya tidak masuk karena sudah tutup dan lebih memilih melihat pemandangan dibandingkan film. Puas berkeliling, saya mengakhiri hari dengan Mie Ongklok (8.000 rupiah), mi kental khas Wonosobo yang juga banyak ditemukan di Dieng. Fyi, jika mau berlibur gratis tanpa dikenakan tarif, berliburlah di musim nonliburan, dijamin gratis. Apalagi saya seorang diri :p. Tarif normal tiket terusan (5 kawasan wisata utama) sebesar 20.000 rupiah.
Kawah Sikidang
Telaga Warna
Mi Ongklok
Terletak di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, menjadikan suhu Dieng cukup dingin bagi warga Surabaya seperti saya. Pagi hari berikutnya, perjalanan saya berlanjut menuju Gunung Sikunir (2263 m dpl.) untuk melihat sunrise. Letak penginapan dan Sikunir cukup jauh, apalagi jika ditempuh pagi hari, butuh perjuangan ekstra. Saya memilih menggunakan ojek dengan harga standar penawaran, yakni 70.000 rupiah ditambah dengan Sumur Jalatunda. Saran saya, bagi solo backpacker, jika ingin naik ojek, sekalian minta dikawal saat mendaki. Hal ini memermudah untuk mencari informasi tentang sejarah Dieng juga sebagai teman ngobrol. Beruntung, ojek yang saya dapat via online sangat ramah dan mau berbagi cerita. Saya pun diajak ke dua point of view sunrise yang luar biasa keren dan ke good view Telaga Cebong. Dari atas ketinggian, saya bisa melihat Wonosobo dan jajaran gunung yang mengepung, menunjukkan betapa kecil dan tidak berdayanya saya. Untuk sarapan pagi itu, saya membeli Nasi Megono (2.500 rupiah), nasi gurih yang dimasak dengan irisan sayur plus bubur kajang ijo (1.000 rupiah). Rasanya? Hmmm… nggak kalah nikmat.
Saya yakin, siapapun yang ingin melepas penatnya pekerjaan akan tergiur dan lupa seketika dengan jenuh jika berkunjung ke Dieng. Berganti perasaan girang dan terlena pada pemandangan memukau Negeri di Atas Awan, Dieng. Tidak ada masalah dengan menjadi solo backpacking ke tempat asing. Karena yang dibutuhkan hanya berani, berpengetahuan, bertanya, dan berdoa. Jadi, solo backpacking ke Dieng? Ngapain takut. Jangan lupa, di musim penghujan, ada baiknya membawa jas hujan celana dan payung, insyaallah pasti berguna. Selamat berlibur!
Cabe Bandung
Comments