Menikmati Keindahan di Tengah Bahaya Kawah Ijen

Awal tahun 2014 saya dibuka dengan trip ke beberapa tempat yang belum pernah saya singgahi. Letaknya di ujung Timur Jawa Timur, Banyuwangi, salah satunya trip ke Kawah Ijen. Sudah sejak lama saya menunggu trip dengan tujuan Kawah Ijen yang disebut-sebut sangat memesona. Maka, ketika tawaran untuk ikut trip ke Kawah Ijen datang, saya pun langsung rela mengambil cuti dua hari. Kali ini, saya ikut rombongan kantor ayah. Ikut rombongan, berarti harus siap menanggung risiko karena tidak ikut menyusun rencana :p.
Kawah Ijen atau Ijen Crater terletak di perbatasan kota Bondowoso dan Banyuwangi. Letak Kawah Ijen sendiri berada di ketinggian 2.386 dpl. Mulanya, saya pikir rombongan akan menginap di penginapan milik Perhutani yang berada di Pos Paltuding, tiga kilometer dari Kawah Ijen. Tapi ternyata, dugaan saya meleset jauh. Penginapan kami justru berada jauh dari Pos Paltuding. Jarak tempuh yang dibutuhkan untuk menuju Kawasan Wisata Kawah Ijen sekitar 2,5 jam, semacam jarak dari Surabaya-Malang.
Sebelum mengikuti Tour de Ijen, saya sempat browsing tentang Kawah Ijen. Termasuk estimasi waktu yang tepat agar bisa sampai di puncak mendapatkan si Api Biru--yang hanya terlihat sebelum matahari terbit sekitar pukul 2-3an. Tapi, karena saya hanya ikut rombongan--yang berarti ngikut aja--akhirnya, dugaan saya pun benar adanya. Kami baru sampai di Paltuding pukul 02.30 ditambah membagi sarapan dan ke toilet berjamaah, fix kami start treking pukul 03.00. Dengan estimasi treking dua jam untuk tiga kilometer, diprediksi kami sampai pukul 05.00. Artinya, perhitungan waktu panitia meleset. Saya sempat mendengar bahwa jarak penginapan ke Pos Paltuding hanya 30 menit, ternyata fiktif. Yah, tak apa, namanya juga ngikut :)).
Pos Paltuding adalah pos dengan banyak perlengkapan. Mulai dari penginapan backpacker, toilet yang cukup bersih, tempat parkir luas, dan beberapa toko. Seperti didesain betul untuk wana wisata. Dari Pos Paltuding treking menuju Kawah Ijen diperlukan fisik yang kuat, di samping persiapan materiil seperti jaket, masker, kaus kaki, sarung tangan, jas hujan, dan senter. Jangan lupa juga, air mineral dan cemilan sebagai pengurang rasa lapar.
Treking dimulai pukul 3.00. Untuk menuju puncak, jangan khawatir tersesat karena akses jalannya sudah beraspal, minim risiko wisatawan tersesat. Terlebih lagi, di sepanjang perjalanan menuju puncak, pengunjung pasti akan bertemu dengan sejumlah penambang belerang dengan senter di kepala. Tak jarang, mereka menunggu dan menemani rombongan yang tengah beristirahat untuk ngobrol lantaran curamnya trek yang harus dilalui. Para penambang belerang biasa memulai hari pukul 24.00 dan kebanyakan baru mengakhiri pekerjaan pada sore hari pukul 15.00. Tapi, tidak semuanya begitu, karena ada juga yang baru berangkat pukul 3-4an, tergantung kesibukan masing-masing. Untuk menambang belerang, mereka hanya membutuhkan dua buah keranjang dengan sebilah bambu di pundak. Saat pulang, belerang di pundak bisa sampai 50-80 kilogram dengan harga perkilogram belerang sebesar 780 rupiah saja. Kebanyakan, mereka bolak-balik memanggul belerang dari kawah sampai tempat pengumpulan sebanyak dua-tiga kali, tergantung kekuatan fisik. Mereka melakukan pekerjaan seperti itu setiap hari. Tidak ada hari libur, jika ingin tetap makan setiap harinya, kecuali sakit. Para penambang juga akan menyemangati wisatawan yang nyaris putus asa treking menuju puncak. Seperti ayah dan ibuk yang mulai pesimis begitu tahu medan treking yang berat. Sempat balik kucing untuk turun, namun akhirnya dengan susah payah sampai juga ke puncak :)).
Di puncak Kawah Ijen, cuaca kurang bersahabat. Gerimis dan angin kencang menyambut kami--rombongan paling akhir dari rombongan kantor. Kencangnya angin membuat asap belerang tebal menutupi jalanan, gelap gulita dan menyesakkan dada. Saya tidak bisa mendaki sampai ujung point of view teroke karena asapnya begitu tebal menutupi jarak pandang mata, terlebih baunya yang kuat dan gampang membuat pening dan perih mata. Terlalu bahaya. Akhirnya, kami pun hanya berfoto di sisi kawah paling dekat. Untungnya, sebelum angin bertiup sangat kencang, saya sempat memotret hijaunya Kawah Ijen. Memang indah dan memesona, tapi berbahaya.
Puas berfoto, kami segera kembali turun, takut dengan kepungan asap yang nyaris membuat mata saya menangis saking pedihnya. Treking saat hari menuju siang ditambah dengan angin kencang ternyata cukup membantu kami agar bisa jalan lebih cepat. Namun, perlu hati-hati untuk turun tekstur jalanan sedikit berpasir mudah membuat wisatawan terpeleset karena licin.
Sama halnya dengan saat mendaki, saat turun pun wisatawan juga akan bertemu dengan penambang belerang yang memanggul belerang. Mereka akan berhenti di dekat kantin bundar untuk menimbang hasil tambangan, sesekali juga berhenti mengatur napas sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Di kantin bundar, mereka juga menggelar dagangan berupa belerang yang dicetak aneka rupa sebagai suvenir. Harganya relatif murah, tergantung kelihaian menawar.
Perjalanan kembali ke Pos Paltuding berakhir pukul 8.00. Kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju PTPN XII Balawan, gedung berarsitektur Belanda untuk sarapan. Saya mencatat, serunya perjalanan bukan hanya karena tempatnya, tapi perjalanan membuat setiap orang mengasah kepekaan hati. Perjalanan mengajarkan pejalannya untuk bersyukur menikmati hidup. Seperti bagaimana penambang belerang menikmati dan mensyukuri hidup dengan pekerjaan yang setiap saat mengancam nyawanya. Mari bersyukur, Alhamdulillah.

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan