Di Penyeberangan Bangsal-Gili Trawangan

Hari masih pagi, tapi pelabuhan Bangsal di Lombok Utara sudah menggeliat. Wisatawan dan pedagang berbaur menunggu kuota kapal penuh. Tidak terkecuali cidomo, engkel, dan ojek yang sibuk menurunkan dan menunggu penumpang. Penyeberangan terbanyak menuju Gili Trawangan, pulau yang penuh gemerlap bar, kafe, tour travel, dan penginapan.
Pagi itu pukul setengah sembilan waktu setempat. Barang dagangan seperti nasi, jajanan, buah dan sayuran, sepeda, dan tanaman, masih tergeletak di tepi pelabuhan. Kuota kapal menuju Gili Trawangan belum maksimal, 30 orang. Meski tergeletak, seolah tidak mau rugi, penjaja makanan juga menggelar barang dagangannya untuk dijual. Yang paling laris tentu saja penjual nasi bungkus. Sejumlah laman blog wisata maupun catatan perjalanan menyarankan membeli sarapan pada ibu-ibu penjual nasi di sini. Sebab, jika sudah masuk Gili Trawangan, jangan berharap ada harga murah. Semuanya serbamahal.
Menunggu kuota mencapai 30 orang tidak begitu lama. Karena setiap kekurangan kuota akan diumumkan melalui pengeras suara agar tidak ada penumpang yang tertinggal. Saat kuota tercukupi, pedagang akan berlomba memasukkan barang dagangan menuju kapal. Geliatnya benar-benar terasa. Teriakan antarpedagang membuat pelabuhan semakin riuh. Ramai.
Satu persatu dagangan dinaikkan, disusul pedagang, dan terakhir adalah wisatawan. Kapal berkapasitas 30 orang pun siap melaju menuju Gili Trawangan. Butuh 30 menit untuk mencapainya. Tidak begitu lama, karena kepungan gunung dengan pepohonan hijau mengelilingi laut. Indah.
Memutuskan untuk menyeberang dengan tiket 13 ribu rupiah artinya bersedia berjejalan dengan para pedagang. Meski bersesalan, masih bisa membuat siapapun larut dalam cerita masing-masing. Termasuk pedagang kue di sisi saya.
Pedagang tersebut berjualan kue di Gili Trawangan sejak dua tahun lalu. Meski berjualan, pedagang wanita separuh baya itu mengaku tidak membuat sendiri. Beliau bilang, tidak ada waktu. Ya, jelas saja tidak ada waktu, perjalanan dari rumah daerah Narmada sampai Gili Trawangan cukup jauh. Belum lagi capek berjualan dan masih harus mengurus rumah setelah pulang sekitar pukul dua siang. Ibu penjual pun memilih untuk membeli kue di pasar dan di dekat rumahnya pagi-pagi setelah subuh. Kue-kue itu lalu dijual kembali pagi pukul delapan seperti pagi itu. Gili Trawangan dipilih karena ramai. Itulah kenapa beliau memutuskan untuk pindah tempat berjualan dari Praya menuju Gili Trawangan. Untungnya berlipat.
Sayangnya, meski memburu untung berlipat di pulau serbagemerlap, para pedagang masih kurang menyadari potensi wisata di tanah kelahirannya. Beberapa pedagang masih membuang sampah di laut. Padahal, kalau saja mereka tahu bahwa laut adalah ekosistem terbesar di muka bumi yang perlu dijaga kelestariannya. Apalagi, sampah plastik yang dibuang ke laut membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk hilang dari muka bumi. Dan lagi, dampak bagi ikan-ikan di laut juga sangat membahayakan. Akibatnya, berbalik lagi pada manusia. Pada kita semua. Parahnya, ironi ini tidak hanya di laut, tapi di beberapa tempat wisata pun. Warga lokal masih sering membuang sampah sembarangan. Buktinya di sejumlah tempat wisata tampak penduduk lokal semena-mena membuang sampah. Ini diperparah oleh wisatawan yang juga membuang sampah sembarangan. Ya, tentu saja ini ironi di antara kemolekan panorama Pulau Lombok. Ironi di gugusan kepulauan Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan