Sedikit Cerita tentang Suku Sasak, Lombok
Lombok. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Lombok. Kali pertama saya juga menggunakan jasa penerbangan. Sejuta pesona Lombok membuat saya berani menyisihkan sebagian pemasukan bulanan untuk datang ke sana.
Bicara Lombok, bicara backpacking, bicara juga tentang keunikan pulau dengan panganan khas Sate Bulayak dan Nasi Balap Puyung ini. Sejak memutuskan menghabiskan waktu di Lombok, saya berusaha mencermati apa saja keunikan yang ada. Termasuk kebiasaan dari warga setempat dan suku asli penghuni pulau di Timur Pulau Bali, suku Sasak.
Suku Sasak adalah suku asli dari Pulau Lombok. Tepatnya di Dusun Sade, Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Sebagai suku asli Pulau Lombok, kawasan Sade dibuat menjadi tempat jujukan para wisatawan. Pekerjaan utama masyarakat suku Sasak adalah menenun dan hasilnya dijual di depan rumah mereka sendiri. Ada sekitar 150 kepala keluarga yang menempati kawasan Sade dan semuanya merupakan suku Sasak. Namun jangan salah, ada pula suku Sasak yang memilih hidup di luar rumah wisata Sade. Alasannya beragam. Beberapa orang yang saya temui beralasan ingin membangun rumah dengan desain modern. Tanpa lantai berbahan tanah, tai sapi atau kerbau sebagai bahan membersihkan lantai dua minggu sekali, atap jerami, dinding beranyaman bambu, patung kepala sapi, mesin penenun, lumbung padi di bagian atap rumah--yang hanya diperbolehkan bagi kaum laki-laki untuk mengambil padi. Kalau perempuan ditakutkan akan menghambat rezeki--dan perabot berbahan kayu.
Indonesia dikenal dengan negara beragam suku, adat, dan istiadat. Ada satu tradisi menarik di sini. Yaitu, tradisi kawin lari. Jika suku Jawa melarang kawin lari, maka suku Sasak justru menganggap itu adalah tradisi yang harus dipertahankan. Jadi, jika ada sepasang remaja yang saling suka, maka harus melarikan si cewek tanpa sepengetahuan orang tua. Jika berhasil melarikan si cewek, mereka lalu dinikahkan oleh orang tuanya. Lalu setelah menikah, pasangan ini diwajibkan menginap di salah satu bilik kosong di Sade. Istilahnya untuk honeymoon. Biliknya sederhana, tidak jauh berbeda dengan rumah lainnya. Hanya bentuknya persegi saja. Tidak ada ruangan lain.
Merupakan desa adat, penduduk di Sade biasanya juga masih suka menginang. Itu terlihat dari giginya yang berwarna merah akibat dari mengunyah biji pinang, kapur, dan sirih. Menurut kabar, dulunya, suku Sasak adalah penganut Islam wektu telu. Namun, belakangan sudah menganut ke wektu limo. Apa bedanya? Sebenarnya, dari jumlah salat yang dikerjakan antara wektu telu dan wektu limo tidaklah berbeda. Hanya, waktu mengerjakan salat yang berbeda membuat wektu telu terlihat beda. Wektu telu mengerjakan salat subuh tepat waktu, zuhur di waktu hampir memasuki ashar, kemudian dilanjutkan ashar, maghrib di waktu nyaris memasuki isya, dilanjutkan salat isya. Mengerjakan salat di akhir waktu itulah yang disebut wektu telu. Seolah-olah salatnya hanya ada di tiga waktu. Namun, jumlah salatnya tetap lima.
Menenun adalah pekerjaan utama perempuan bagi suku Sasak selain berjualan. Memasuki Desa Sade, pengunjung pun akan disuguhi anak-anak yang bermain di bale-bale dan satu-dua di antaranya akan lari begitu melihat asa wisatawan. Mereka lari ke depan rumah dan mempromosikan dagangan yang dijual. Mulai dari kain hasil tenunan, kaus, gelang, sampai peralatan masak. Namun, siapa sangka jika anak-anak ini juga berani berjualan di lokasi wisata lain? Ya, mereka berjualan di tempat wisata terdekat dari desa. Tanjung Aan, misalnya. Mereka umumnya naik angkot menuju Kuta lalu oper menuju Tanjung Aan. Anak-anak seusia SD itu berjualan jika hari libur sekolah tiba. Menurut cerita mereka, berjualan untuk membantu orang tua. Ayahnya seorang buruh tani dan ibunya seorang penenun sekaligus ibu rumah tangga yang bertugas memasak untuk disajikan saat pulang sekolah. Barang yang mereka jual amatlah sederhana. Gelang dari benang tenun dililitkan yang dihargai lima ribu rupiah, kalung, dan gantungan kunci seharga tujuh ribu lima ratus rupiah. Kata mereka, uang yang didapatkan untuk sekolah dan menambah pemasukan keluarga. Sebagai pemasukan keluarga tambahan, mereka juga menyewakan motor. Motor didapat dari hasil menjual sapi muda.
Selain anak-anak, di tempat wisata yang sama juga banyak sekali warga Sade berjualan. Mereka menawarkan kain songket, sarung, dan kaus dengan harga miring. Biasanya, mereka akan datang dan menyerbu satu wisatawan beramai-ramai. Kalau tidak terkecoh, penjual-penjual ini akan memaki pembeli. Entah dibilang parah--karena tidak mau beli-- atau bahkan dibilang pelit. Bisa juga dibilang curang karena tidak membeli barang padanya.
Geliat wisata dan hiruk pikuk Pulau Lombok memang memesona. Sejuta ceritanya tidak akan pernah habis dikupas. Ya, sepenggal cerita, sependek apapun ceritanya, akan memberikan makna baru bagi setiap orang yang melihatnya. Di sini, di Lombok.
Comments