Dari Pantai Senggigi ke Sate Bulayak
Jumat sore, kami sampai di Mataram. Kami memutuskan untuk menginap di Oka Homestay, dengan harga 100.000 rupiah perhari. Nuansa Hindu sangat terasa di sini. Saat kami datang, misalnya. Bu Oka dan Mbak Rini--pemiliknya--sedang menyiapkan sesajen untuk diletakkan di pura di depan rumah dan di titik-titik lain. Meski nuansa Hindu sangat kental, homestay dengan lima kamar itu cukup sejuk. Kali pertama datang, saya langsung merasa klik. Sebab, di depan deretan kamar disuguhi pemandangan teduh dan rimbun pepohonan. Belum lagi, kondisi kamarnya yang bersih dan pemiliknya yang ramah. Kloplah.
Sesampai penginapan, Mbak Rini langsung menawari kami minum teh atau kopi hangat. Mungkin dia tahu kalau kami ngos-ngosan nyari penginapannya :)). Setelah sedikit lega, kami pun langsung menyewa motor di penginapan untuk melihat sunset di Pantai Senggigi. Harga sewa motor di Mataram lebih mahal dan nggak bisa ditawar. Di Oka Homestay, sewa motor perhari dihargai 60.000 rupiah dengan full bensin.
Dari Cakranegara, letak Pantai Senggigi tidak cukup jauh. Paling sekitar setengah jam ditempuh motor bagi yang belum tahu medan sama sekali. Saat itu, kami langsung berkejaran dengan sunset. Kabarnya, sunset di Pantai Senggigi bagus. Kami tertarik, meski sebenarnya perut lebih memberontak minta diisi.
Tidak cukup lama berkendara, akhirnya kami sampai di Pantai Senggigi. Sayang, sunset baru saja tandas menyisakan rona kemerahan di kaki langit. Sedikit kecewa tidak bisa memotret sunset. Tapi melihat partner, saya justru lebih kasihan. Dia membonceng, kelaparan, dan selalu saya buru-buru. Jadi, setelah beberapa saat kami mengambil foto seadanya, kami memutuskan untuk kembali ke Mataram, nongkrong di alun-alun.
Anyway, menurut saya, Pantai Senggigi bisa jadi pantai yang indah untuk melihat sunset. Banyak juga pedagang jagung dengan kursi dan meja tertata rapi. Suasana pas dan romantis, sebenarnya. Sayang, Pantai Senggigi kotor. Meski hari mulai gelap, saya masih bisa melihat tumpukan sampah di beberapa spot dan bibir pantai. Ditambah dengan lokasi Pura Batu Bolong yang bersisian. Senja itu, umat Hindu baru selesai sembahyang. Mereka terlihat ramai menyisakan sesajen di depan pura yang tepat berada di bibir pantai. Mungkin itu bagian dari ritual, saya tidak tahu. Tapi di sisi lain pantai, sampah ada di mana-mana. Kalau kata partner, tidak ada bedanya dengan Pantai Kenjeran di kota kami. Yah, karena alasan itu pulalah yang membuat kami akhirnya memilih pulang untuk menghabiskan malam sambil makan Sate Bulayak.
Hanya 13.000 rupiah untuk seporsi Sate Bulayak, makanan khas Lombok. Tidak ada yang berbeda dengan jenis sate lainnya. Dagingnya terbuat dari ayam, sapi, dan usus. Disajikan dengan lima lontong dalam kulit jagung--di Surabaya, bentuknya mirip kue lepet. Yang istimewa terletak pada bumbu kacangnya yang pedas dan nagih. Saya suka dengan masakannya, enak! Apalagi harganya, nggak semenyakitkan saat makan Ayam Taliwanglah :))).
Comments