Ngeteng di Lombok
Ini semua berawal dari resepsionis penginapan, Mbak Erni. Jumat pagi saat sarapan, saya bertanya tentang angkot Kuta-Mataram, karena kami mau pindah penginapan. Mbak Erni bilang, antara Kuta-Mataram tidak ada angkot, taksi, dan ojek. Yang ada hanya mobil travel. Iya mobil travel yang mahalnya semena-mena--waktu itu saya ditawari mbak resepsionis travel seharga 250.000 untuk berdua, cukup sekian dan terima kasihlah ya, saya nggak minat. Saya jelas nggak percaya. Sebab, kenalan saya--pendiri Lombok Backpacker sekaligus penulis buku Travel to Lombok, Lalu Fatah--mengatakan kalau ada ojek, bemo, dan engkel yang bisa mengantar sampai Mataram. Hanya memang mesti oper sampai empat kali. Rutenya Kuta-Praya-Mandalika-Cakranegara. Pikir saya, taksi tidak bisa masuk kawasan Kuta kecuali dari bandara, travel mahal, berarti jalan satu-satunya ya cuma ngeteng karena motor harus dikembalikan. Ya sudah, selesai Jumatan, kami ngeteng. Anw, Fatah ini penunjuk lokasi dan informan terjitu selama saya di Lombok. Iyalah, secara warga asli Lombok :)).
Fatah bilang, kami bisa naik ojek dari pintu masuk Kuta, maka kami berbeda. Kami justru mencari ojek dari Sengkol, which is cukup jauh dari Kuta. Pikiran saya, emang pintu masuk Kuta dimana? Padahal pintu masuk Kuta adalah perempatan tempat saya biasa mondar-mandir. Haish. Yah, menyesal selalu datang di akhir. Setelah memesan ojek dari Terminal Sengkol--yang nggak kayak terminal--kami balik ke Kuta buat check out. Btw, jam check out di G'day Inn fleksibel, bisa ditawar kapan aja penginap mau :D. Menurut Fatah, ojek dari Kuta menuju Praya seharga 20.000 rupiah maksimal. Tapi, saat menawar, ojek tahu kami wisatawan, jadi diberi harga 50.000 rupiah. Wahaha, sori aja, saya nggak mau. Mahal, jeh. Terpaksa sekali, kami ngojek dari Kuta hanya sampai Sengkol. Biayanya 15.000 rupiah perorang. Lalu dari Sengkol kami naik engkel (sejenis oplet) warna putih menuju Praya. Namanya juga ngeteng, pastilah jalur yang kami lewati bukan jalur utama laiknya saat bermotor. Saya jadi tahu, kalau Pulau Lombok itu penuh dengan pepohonan. Iya, memang panas cuacanya, tapi sejauh mata memandang, kanan kirinya pohon dan bukit. Jadi seneng. Apalagi ngeteng membuat saya bisa berbaur dengan masyarakat lokal. Meski hanya ditanya, dari mana? Mau kemana? Seenggaknya, saling menyapa dan senyum cukup menunjukkan bahwa warga asli Lombok itu ramah.
Naik engkel dari Sengkol menuju Praya kami diturunkan di terminal, katanya. Lagi-lagi saya nggak tahu persisnya terminal. Gimana nggak, kami diturunkan di tepi jalan dengan engkel dan bemo (di Jawa mirip mobil bison) berjejer. Apalagi, sepanjang toko mencantumkan tulisan Terminal Praya, padahal persisnya terminal saya nggak tahu. Ya sudahlah. Ongkos Sengkol-Praya sebesar 7.000 rupiah.
Dari Praya, kami melanjutkan perjalanan menggunakan bemo menuju Terminal Mandalika. Di sini ngetemnya lamaaaa. Sejam persis! Padahal estimasi saya buat ngeteng Kuta-Mataram hanya dua jam dilanjutkan mengejar sunset di Senggigi. Sepanjang ngetem, penumpang didominasi oleh pedagang dengan bawaan berat. Warga lokal yang naik, jarang sekali. Di perjalanan ini, perorangnya dipatok 8.000 rupiah.
Sampai di Terminal Mandalika, lagi-lagi kami diturunkan di tepi jalan. Kami tidak tahu rupa terminal yang sesungguhnya--tapi beruntung tidak tahu. Di sini, saya membuktikan sendiri info yang saya dapat. Terminal Mandalika dikenal angker dan seram. Kenapa begitu? Calonya bertebaran! Serius. Semua orang yang saya temui untuk bertanya angkot menuju Cakranegara, pasti dia calo dan menawarkan jasa dengan harga selangit. Nggak cukup menawarkan, kalau kami nggak tertarik dengan penawarannya, jangan harap diperhatikan. Beberapa kali saya bingung harus ngapain. Sebelumnya, menurut Fatah, saya harus naik engkel kuning--engkel satu-satunya di sekitar Mataram. Tapi saat hendak naik ke engkel yang ngetem, kami dilarang, nggak boleh naik. Selama beberapa menit saya bingung sendiri--partner menyerahkan urusan angkot ke saya. Mau tanya dicuekin, mau naik dilarang, nah terus? Akhirnya, ada angkot kuning yang dipanggil orang agar mau mengangkut kami. Nah, karena sopir angkot membayar 2.000 rupiah pada orang tersebut, feeling saya seketika langsung mendeteksi aroma tidak mengenakkan akan terjadi. Bukan berlebihan, sih. Nyatanya, sopir engkel--entah sengaja atau emang beneran--tidak tahu alamat yang kami tuju, Jalan Repatmaja, Cakranegara. Sebenarnya, Terminal Mandalika ke Cakranegara itu cukup dekat. Tapi, karena sopir bilang nggak tahu lokasi, bertepatan dengan GPS di ponsel tidak berhasil menemukan jalan yang sama, saya hopeless. Hopeless karena mikir, kok bisa sih, angkot satu-satunya di Mataram nggak kenal wilayahnya sendiri? Kenapa juga sopir-sopir itu galak dan nggak ramah sama wisatawan?
Saya gemas selama di perjalanan. Berkali-kali bertanya pada penumpang--yang sialnya, kompak bilang nggak tahu jalan yang saya maksud. Sampai akhirnya, semua penumpang turun tinggal kami berdua. Dengan sok ramah, sopir berjanji mengantar kami sampai jalan yang kami cari ditemukan. Saya sih nggak percaya. Tapi saya pikir, kalau saya turun di tepi jalan tanpa tahu tujuan, malah makin stres di jalanan. Akhirnya, sopir engkel berputar hanya satu kali di wilayah Cakranegara untuk mencari Jalan Repatmaja. Saya yang was-was ditambah ekspresi sopir yang menyebalkan makin bikin pingin buru-buru turun. Hasilnya nihil. Saya minta turun di Pasar Cakranegara dengan pikiran, kalau sopir nggak tahu jalan, masa iya warga lokal juga nggak tahu? Saya turun dengan menyerahkan uang 12.000 rupiah untuk berdua--lebih banyak 2.000 rupiah dari anjuran Fatah. Namun, apa yang terjadi? Sopir meletakkan uang saya dengan gerakan sedikit kasar mirip orang membanting uang. Dia bilang, uang yang saya beri nggak sebanding dengan usaha dia mencari alamat tujuan kami. Lah, berhasil nyari aja enggak, minta bayaran lebih? Beberapa menit saya adu mulut. Sebodo amat saya wisatawan, dia aja nggak sopan. Males banget, kan. Ada pikiran saya lari dari sopir angkot. Tapi pikiran lain saya, takutnya malah ntar diapa-apain sama si sopir. Akhirnya, dengan wajah nggak rela, saya menambah uang menjadi 20.000 rupiah untuk berdua. Cih.
Petualangan ngeteng nggak berhenti samapai di situ. Selepas kesal turun di tepi jalan, kami akrif bertanya pada siapa saja yang kami temui. Termasuk menelepon pemilik Oka Homestay di Jalan Repatmaja, Mbak Rini. Sampai pucuk dicinta ulam pun tiba. Kami menemukan toko peralatan bayi Heron sesuai petunjuk Mbak Rini. Kami pun langsung menuju jalan di dekat Heron yang ternyata masih salah jalan. Gegara salah jalan inilah, saya dikejar anjing yang tiba-tiba keluar dari rumah majikan dan menggonggong dengan gerakan mengejar saya. Kata pembantu rumah itu, saya dilarang lari. Tapi, akal waras siapa yang mau nggak lari saat posisi anjing persis di belakang tubuh? Hahaha, apes!
Sambil setengah berlari, seorang sopir taksi membantu dengan melempari batu--yang pada akhirnya bapak itu ikutan lari dikejar, hahaha. Selisih satu jalan, saya segera menemukan Jalan Repatmaja dan Oka Homestay. Sesampai di sana, saya pun ambruk sambil cekikikan memikirkan betapa melelahkan dan seru-seru menyebalkannya ngeteng di Lombok! :))))
Comments