Taman Narmada, Hutan Suranadi, dan Bandara Internasional Lombok
Minggu pagi adalah hari terakhir kami di Lombok. Rencana kami hanya keliling ke sekitar Mataram dan beli oleh-oleh. Entah kaus atau mutiara di Pasar Sekarbela.
Pagi itu, kami menghabiskan waktu dengan duduk di depan kamar dan sarapan. Selebihnya, ngobrol dengan tetangga kamar asal Prancis dan Belgia. Dua orang itulah yang bercerita kalau biaya hidup di Asia super duper murah, apalagi Indonesia. Analoginya, biaya hidup di apartemen mini tanpa makan, air, listrik, hanya tidur selama sebulan di Eropa setara dengan hidup sebulan keliling Indonesia menginap di resort dan makan mewah. Ngok. Perbandingannya jauh banget. Kami juga saling bercerita pengalaman snorkling di laut Indonesia. Karena saya baru snorkling di Karimun Jawa dan Gili Amatra, ya hanya bisa membandingkan keduanya saja. Tapi menurutnya, snorkling di Amed, Utara Bali juga jauh lebih bagus. Bodohnya, saya nggak tahu dimana Amed sebelum dijelaskan. Menyedihkan sekali pengetahuan saya tentang negara sendiri :((.
Selain ngobrol sama dua bule itu, Mbak Rini banyak banget ngasih kami referensi tempat belanja murah dan wisata yang ada di sekitar Mataram. Salah satunya Pasar Sekarbela, Pasar Sayang-Sayang, Pasar Cakranegara, Taman Narmada, dan Hutan Lindung Suranadi.
Entah jam berapa pastinya, kami berangkat menuju Taman Narmada di Narmada atau 10 kilometer arah Timur dari Mataram. Masuk ke Taman Narmada dipatok 6.000 rupiah perorang. Tidak ada pemandu di sini. Jadi saya pun buta sebuta-butanya. Hanya sempat dikabari Mbak Rini jika Taman Narmada adalah refleksi Gunung Rinjani dan Danau Segara Anakan, Lombok Utara. Refleksi itu dilihat dari banyaknya kolam air yang ada di Taman Narmada. Sejauh mata memandang, Taman Narmada memang dikelilingi oleh kolam air, petilasan, pura, dan halaman luas. Usut punya usut, ternyata dulunya Taman Narmada digunakan oleh keluarga Raja Anak Agung untuk tempat istirahat selama musim kemarau. Selain itu, juga digunakan untuk tempat beribadah. Hal itu dibuktikan dengan adanya pura jagat untuk sembahyang umat Hindu yang ada di dalamnya. Di tempat ini juga ada sumber mata air suci yang dipercaya bisa membuat wajah tampak awet muda. Saya sempat mengantre untuk mengambil air suci ini, tapi nggak jadi. Ya, abisnya, di dalam ruang sumber mata air banyak umat Hindu sembahyang dipimpin pemuka agamanya. Masa iya saya ikutan :D.
Oh iya, di tempat ini juga sering kali dijadikan tempat wisata ibadah oleh umat Hindu dari Bali. Kata orang Bali yang saya temui, ibaratnya semacam wali songo di tanah Jawa.
Setelah dari Taman Narmada, kami beranjak menuju Hutan Lindung Suranadi yang letaknya berdekatan. Untuk masuk Suranadi hanya dipatok 2.000 rupiah perorang. Serius, saya sampai bengong loh pas petugasnya bilang kami hanya perlu membayar 5.000 rupiah termasuk parkir. Murah banget dan memangnya setara dengan pendapatan petugasnya? Mana kami juga mendapat buku panduan dan map wisata di kepulauan seluruh Nusa Tenggara Barat pula. Ckck.
Namanya juga hutan, pemandangannya ya pohon dimana-mana. Jadi berasa penelitian kayak zaman kuliah dulu, hehe. Tapi, sebagai lulusan Biologi, ternyata nyali saya ciuuut banget! Gimana nggak? Rute pertama kami di Suranadi penuh dengan monyet liar! Huahahahha. Ya mana beraniii. Mana tatapan monyetnya liar banget pula. Belum lagi monyet anakannya pakai acara berantem dan saling mengerik. Hiih, males banget! :))). Di rute pertama itu saya bertemu dengan turis asal Amerika yang juga takut untuk masuk rute. Saking takutnya, saya mau memotret pakai hape pun masih mikir. Takut hape nggak selamat, sayang banget. Akhirnya, kami pun berbalik badan bareng-bareng sambil cekikikan =)))). Oh iya, Hutan Suryanadi ini juga terdapat bumi perkemahan.
Dari Hutan Suranadi, kami langsung menuju Pasar Cakranegara buat cari kaus. Tapi, alangkah kagetnya saya ketika masuk pasar yang isinya nggak beda dengan pasar tradisional di dekat rumah. Huahaha. Ya udah, sih, kami balik arah menuju Pasar Sekarbela pusat kerajinan mutiara air tawar. Lagipula, kaus yang saya cari nggak ada.
Pasar Sekarbela dikenal dengan sentra kerajinan budidaya mutiara air tawar. Dalam bayangan saya, aksesoris mutiara itu harganya selangit. Tapi ternyata, harganya luar biasa terjangkau kantung saya. Hal itulah yang membuat saya urung tidak membeli oleh-oleh mutiara untuk keluarga. Ya gimana nggak? Harganya dari 7.000 rupiah-ratusan ribu saja. Huahahaha, murah ya? Iyalah! Secara setelah saya bandingkan dengan mutiara teman yang beli di Surabaya, harganya bisa sampai delapan kali lipat!! Untungnyaaa saya beli :))).
Dari Pasar Sekarbela, kami menuju Pasar Sayang-Sayang buat mencari pernik unik khas Lombok. Jaraknya juauuuuhh amit-amit. Sampai sana, kami pun kena zonk gegara deretan tokonya tutup dan ternyata bukanya hanya saat malam. Ngoook.
Akhirnya, daripada muter-muter nggak jelas, sementara waktu tempuh Mataram-Praya sekitar satu jam, ditambah belum check in pesawat, pukul 15.30 kami pilih untuk balik ke penginapan mengambil tas. Sekaligus menunggu mobil Abid Travel (0370) 622056 menjemput. Oh iya, kami pilih travel karena memang nggak nemu angkutan menuju Praya. Jadi, lebih baik naik travel harganya 55.000 rupiah.
Berbeda dengan perjalanan SUB-LOP yang ngaret, perjalanan LOP-SUB tepat waktu banget. Kami yang mau motret di depan tulisan Bandara Internasional Lombok Praya pun harus menanggung malu gegara diobrak petugas keamanan bandara =)))). Noraaakk!
Anw, total perjalanan saya ke Lombok selama 5N4D sekitar 880.000 rupiah tidak termasuk pesawat PP. Kata teman saya, harga segitu terhitung murah.
Comments