Permen Karet Terakhir
Rin melempar clutch bag di kasur, menyusul tubuhnya. Sebelah tangannya meraih bantal kuat-kuat, membawanya tepat di atas wajah, menenggelamkan dalam-dalam. Nafasnya memburu. Antara nafsu dan kecewa. Teramat sangat. Seandainya saja dia lebih peka. Seandainya saja dia lebih peduli pada orang yang kerap mengajaknya bertengkar. Seandainya saja dia lebih paham arti dari godaan-godaan menjengkelkan. Seandainya saja dia tidak galak. Tidak cuek bebek pada gurauan menyebalkan. Pasti dia tidak perlu kecewa. Tidak perlu menahan napas ketika harus bersalaman pada kedua mempelai. Pasti separuh hatinya tidak mencelos sakit. Kepanasan. Seandainya saja.
Rin masih telentang dengan bantal menutupi wajahnya. Bayangan pada kedua mempelai berkelebat. Matanya panas mengingat ekspresi kaget pada lelaki yang pernah diam-diam disimpan dalam hatinya. Tidak pernah ada dalam bayangannya jika lelaki yang menikah dengan Jingga, sahabatnya, adalah lelaki yang kali terakhir mengisi hatinya. Tidak pernah dia duga.
Panas. Rin mengusap matanya. Dadanya bergemuruh. Bagaimana mungkin, Jingga merahasiakan hal ini? Bukankah dia tahu kalau lelaki bernama Bara itu adalah lelaki yang pernah dia sia-siakan? Bukankah dia paham kalau sebenarnya ada rasa teramat dalam yang dipendam? Kenapa bisa Jingga melakukan hal ini padanya? Kenapa harus Jingga?
***
"Permen karet, Rin?" Bara menawarkan permen karet pipih lonjong di hadapan Rin. Senyumnya terkembang sempurna.
Rin mengangkat wajahnya, mendengus sebal. "Lagi? Harus berapa kali nawarin permen karet, sih, Bar?" Mulutnya mengerucut. Ini kebiasaan Bara yang tidak pernah dia suka. Menawarkan permen karet sekenaknya. Berkali-kali dalam sehari dan hampir selalu dia tolak.
Wajar saja Rin menolak, sejatinya dia menunggu Bara menawarkan hati. Bukan permen karet. Manis di awal, hambar di akhir.
Bara tersenyum. "Kenapa, sih, nggak pernah suka sama permen karet? Padahal aku suka permen karet karena kamu."
"Apaan?"
"Gara-gara kamu benci perokok, aku jadi putar otak buat berhenti merokok. Ya, permen karet ini penggantinya," Bara membetulkan letak kacamatanya. Wajahnya beralih pada sisi lain Rin, menjadi lebih serius.
Rin abai. Dia masih sibuk dengan ponselnya.
"Ya, kali saja suatu saat nanti aku nggak bakal nawarin permen karet lagi ke kamu," Bara melanjutkan kalimatnya. Permen karet di tangannya dimasukkan kembali ke saku kemeja. Mencampurnya dengan kepingan perak putih.
Dua garis di dahi Rin tercetak. "Kok bisa?" Ada perasaan tiba-tiba was-was dalam hatinya. Kok Bara bilang gitu?
Dua tangan Bara terlipat di depan dada. Senyum teduh menghiasi wajah bersihnya. "Kenapa nggak bisa?"
Pias. Perasaan Rin kala itu kebat-kebit. Dia bingung setengah mati. Bara tiba-tiba memutuskan menghilang darinya. Susah dicari dan sering tidak peduli lagi padanya. Tidak ada lagi tawaran permen karet yang menjengkelkan. Rin bingung.
***
Dua bulan lalu, Jingga, sahabatnya datang dengan wajah berbinar-binar. Di jari manisnya tersemat cincin putih. Sambil berseri-seri dia bercerita panjang lebar. Siapa lelaki itu. Pekerjaannya. Reputasinya. Jingga semringah. Dia lupa dengan kondisi sahabatnya yang sedang patah hati. Lupa sekali.
"Namanya Dipa. Pekerja IT. Umur 28 tahun. Mapan dan tampan." Jingga cekikikan. "Kami bertemu di seminar telekomunikasi. Pekerja IT dan humas operator telekomunikasi. Masuklah ya, Rin?" Tawa Jingga berderai. Matanya menyipit. Rin ikut tertawa.
"Kapan rencananya? Ikut senang, deh, nasibnya nggak kayak aku." Rin terkikik menutup mulut. Nasibnya kurang beruntung. Menyukai lelaki yang dekat dengannya tapi hobinya nawarin permen karet.
Jingga memeluk Rin erat. "Filosofinya persis permen karet. Manis di awal, tak berasa di akhir. Tapi cinta nggak selalu begitu. Ada kalanya saat mulai bosan, permen karet rasanya tetap manis. Kenapa? Karena si pencicip mencampurkan manisan di dalam mulut. Cinta harus begitu. Nggak menunggu orang lain yang bekerja. Harus sama-sama kerja agar tetap langgeng dan manis." Jingga tersenyum.
"Tunggu waktunya ya, Sayang."
***
Rin tidak mendapatkan undangan. Karena dia salah satu wedding organizer Jingga. Dia sibuk sekali. Mengurus katering, format panggung, dan souvenir. Sementara undangan, prewedding shoot, busana, dan make up sepenuhnya diserahkan pada Anggie, temannya yang jago mengurus detil pernikahan.
***
Seingatnya, namanya bukan Bara. Tapi Dipa. Kok bisa-bisanya sekarang Bara yang ada di samping Jingga? Rin memutar otak buru-buru. Matanya menemukan satu buah undangan di meja tamu. Dibukanya dengan cepat. Bara Dipayana dan Jingga Permata. Rin membeku.
Comments