Wonderful Indonesia: Mencari Surga di Raja Ampat
Gugusan pulau-pulau kecil di bebatuan karst dengan vegetasi tanaman. (foto: Indonesia Travel)
Saya tidak pernah membayangkan bisa
menjejakkan kaki di Raja Ampat, sebuah kepulauan di wilayah paling timur
Indonesia. Tentu saja, karena tabungan--yang saya kumpulkan selama bekerja dua
tahun menjadi seorang kuli tinta--tidak cukup untuk membeli tiket ke sana. Sebegitu
mahalnyakah transportasi menuju kepulauan yang katanya surga dunia? Tampaknya memang
begitu. Tapi, tidak salah juga kalau saya berandai-andai untuk mampir barang
seminggu ke destinasi wisata yang mendunia itu. Melihat langsung kultur,
kebiasaan, adat, dan kehidupan langsung masyarakat sekitar kepulauan surgawi.
Raja Ampat terletak di timur Indonesia,
tepatnya di Provinsi Papua Barat. Indonesia bagian timur dikenal sebagai
wilayah dengan biaya hidup yang sangat tinggi. Itu karena akses menuju ke
daerah sangat sulit, tidak terkecuali untuk menuju Raja Ampat. Sebutlah dari
kota saya, Surabaya. Dari Surabaya menuju Raja Ampat, wisatawan harus menempuh
perjalanan udara ke Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, dan dilanjutkan menuju
Pelabuhan Sorong menggunakan angkutan umum. Di Pelabuhan Sorong, wisatawan bisa
menggunakan kapal feri atau speedboat
dengan tujuan Waisai, ibu kota Raja Ampat. Di Waisai inilah wisatawan bisa mencari
penginapan dari murah hingga mahal.
Perpaduan biru langit dan laut menghadirkan suasana tenang dan syahdu. (foto: Indonesia Travel)
Bepergian ke
Raja Ampat, setiap orang memiliki tujuan masing-masing. Entah untuk melihat
indahnya hasil karya Tuhan, membandingkan kultur masyarakat sekitar, atau
justru memiliki misi positif seperti meningkatkan perekonomian masyarakat
melalui ekonomi kreatif dan pendidikan. Tujuan mulia yang siapa saja bisa
merealisasikannya. Penduduk di sekitar Raja Ampat dikenal sebagai penduduk yang
ramah. Bahkan, tidak jarang wisatawan yang datang diajak untuk menginang. Bagi mereka,
menginang adalah simbol perdamaian.
Beberapa literatur
yang saya baca--Tabloid Jubi--menyebutkan, penduduk asli Raja Ampat umumnya menggantungkan
hidup pada ikan hasil tangkapan. Tentu saja itu karena wilayah Raja Ampat
merupakan wilayah kepulauan. Sehingga dominan masyarakat sekitar adalah
nelayan. Cara menangkap ikan pun masih tergolong sederhana. Yakni menggunakan
kalawai atau penikam dan kerambah dari kayu yang dipasang memanjang atau
melingkar. Selain itu, mereka juga masih menggunakan teknik menangkap ikan
dengan molo (senapan dari kayu dan kawat) yang digunakan sambil menyelam. Meski begitu, tidak
sedikit dari mereka bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Pulau Misool nan eksotis. (foto: Indonesia Travel)
Sebagai daerah kepulauan, Raja Ampat memiliki
empat pulau terbesar. Yakni Pulau Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta. Umumnya, wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat akan berburu panorama
indah di Waigeo dan tempat diving
terindah di Misool. Apa pasal? Waigeo memiliki gugusan pulau-pulau kecil nan
indah dengan batuan karst yang ditumbuhi vegetasi tumbuhan. Menurut Indonesia Travel, tempat ini sangat bagus digunakan untuk melihat sunset yang indah nan
romantis. Gugusan pulau-pulau kecil inilah yang seringkali diabadikan wisatawan
dari atas bukit. Sementara pemandangan air Pulau Misool (yang berada di wilayah
segitiga karang dunia) dikenal memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat
kaya. Data The Nature Conservancy menunjukkan, kajian ekologis yang mereka
lakukan bersama Conservation International (CI) menunjukkan bahwa Raja Ampat
merupakan rumah bagi 75% jenis terumbu karang di dunia dengan 553 jenis terumbu
karang dan 1.437 jenis ikan karang. Wow!
Pemandangan bawah laut Raja Ampat. (foto: Indonesia Travel)
Kalau saya berkesempatan untuk terbang
ke Raja Ampat, saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang tergolong emas
tersebut. Namun, setali tiga uang, saya juga tidak akan lupa untuk mampir
menyambangi Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC). Sebab, menurut Indonesia Travel, TNTC merupakan kawasan konservasi terbesar di Indonesia sekaligus menjadi pusat penelitian hiu paus atau whale shark (Rhincodon typus). Di perairan ini juga memiliki persentase
karang hidup mencapai 65,64%. Selain itu, juga terdapat 36 jenis burung, 196
jenis moluska, 209 jenis ikan, serta paus dan lumba-lumba. Kawasan ini juga
menjadi tempat bagi empat jenis penyu yang dilindungi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys
imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), dan
penyu belimbing (Dermochelys
coriacea). Sungguh kekayaan wisata bahari yang
sangat memesona.
Sayang, semakin banyak wisatawan berkunjung ke Raja Ampat, ancaman kerusakan lingkungan juga semakin tinggi. Namun, yang patut dibanggakan adalah adanya tradisi Sasi (dalam bahasa modern disebut konservasi) yang masih dilestarikan. Menurut artikel online G-Priority, tradisi tidak tertulis ini mewajibkan masyarakat setempat untuk tidak melakukan penangkapan hewan laut dalam kurun waktu 24 bulan. Mereka baru bisa menangkap hewan laut dalam waktu yang juga ditentukan dan biasanya hanya satu bulan. Istilahnya, masa panen. Tradisi ini secara tidak langsung dapat memertahankan kelestarian biota laut sebab mereka diberi waktu untuk berkembang biak. Semoga dengan tradisi tersebut kelestarian alam Raja Ampat bisa terjaga. Sehingga berdampak pada kemakmuran masyarakat sekitar dan membawa nama harum Indonesia ke kancah Internasional.
Sayang, semakin banyak wisatawan berkunjung ke Raja Ampat, ancaman kerusakan lingkungan juga semakin tinggi. Namun, yang patut dibanggakan adalah adanya tradisi Sasi (dalam bahasa modern disebut konservasi) yang masih dilestarikan. Menurut artikel online G-Priority, tradisi tidak tertulis ini mewajibkan masyarakat setempat untuk tidak melakukan penangkapan hewan laut dalam kurun waktu 24 bulan. Mereka baru bisa menangkap hewan laut dalam waktu yang juga ditentukan dan biasanya hanya satu bulan. Istilahnya, masa panen. Tradisi ini secara tidak langsung dapat memertahankan kelestarian biota laut sebab mereka diberi waktu untuk berkembang biak. Semoga dengan tradisi tersebut kelestarian alam Raja Ampat bisa terjaga. Sehingga berdampak pada kemakmuran masyarakat sekitar dan membawa nama harum Indonesia ke kancah Internasional.
Pemandangan bawah laut di Taman Nasional Teluk Cendrawasih. (foto: Indonesia Travel)
Comments