Menakar Hati

Gita meremas tangan kuat-kuat. Mimpi buruk lagi. Rambutnya berantakan, matanya basah, saat dia tiba-tiba terduduk dari tidurnya. Dua laki-laki yang pernah mengisi hatinya datang lagi. Bersamaan. Ck. Gita mendesah panjang. Bisa-bisanya mereka datang di mimpi, kompakan pula. Gita mengusap-ngusap wajah, menghalau sedih. Seandainya saja cerita cintanya selalu berakhir indah, tentu dia nggak harus menganggap mimpi tadi adalah buruk.

Cerita cinta Gita selalu berakhir tragis. Maksudnya, dua kali dia jatuh cinta, dua kali pula dia dicampakkan. Nggak heran, lagu-lagu cinta Kahitna khusus bagian patah hati menjadi number one di hati wanita belum genap 25 tahun itu. Entah Cinta Sendiri, Tak Kan Terganti, Andai Dia Tahu, atau single Hedi Yunus yang Sebatas Mimpi. Padahal, Gita wanita--yang punya banyak teman laki-laki dan dibilang tomboy--yang masuk tipikal susah jatuh cinta garis keras. Kalau udah jatuh cinta, jangan harap bisa gampang lupa. Tapi, ada gitu lebih dari sepuluh orang yang sakit hati gara-gara dia nggak peka dan nggak suka. Masalah hati memang susah dipahami, selalu begitu kilahnya.

Salah satu laki-laki yang paling dia sayang adalah Rio. Usianya tiga tahun di atas Gita. Dia senior yang jago banget sama sepak bola di sekolah. Mereka satu sekolah beda jenjang. Rio SMA, Gita SMP. Seperti umumnya anak sekolah satu yayasan, jatuh cinta sering banget terjadi. Ya sama seperti Gita. Dia jatuh cinta pada Rio saat laki-laki kurus dengan tinggi 175 senti menendang bola ke gawang. Keringatnya bercucuran dengan wajah semringah. Katanya, laki-laki yang berkeringat selalu tampak dua kali lebih cool. Padahal, kalau dipikir-pikir, yang ada malah bau. Coba aja lirik kuli angkut di pelabuhan, keringatnya bercucuran setiap saat dan bau. Dasar Gita sok romantis!

Gita naksir Rio lama banget. Sekitar lima tahun sebelum dia bertemu dengan Iyan--yang juga seniornya. Kebetulan, saat Gita ketemu Iyan, Rio akan menikah. Jadi Gita cepat banget buat move on--meski rasa nyinyir dalam hati mendarah daging. Sekarang, Rio sudah berkeluarga. Anaknya satu berumur dua tahun, istrinya wirausaha muda, dan dia sendiri bekerja sebagai pilot. Mapan untuk ukuran keluarga kecil. Gita sudah nggak mau tahu sama urusan keluarga yang bikin hati mendadak perih ini.

Sementara Iyan, senior Gita di kampus. Iyan ini tipikal laki-laki yang Gita suka banget. Mirip-mirip sama Rio. Nggak begitu ganteng tapi eye catching dan rapi. Yang paling penting bukan perokok. Iyan senior satu jurusan beda setingkat aja sama Gita. Sosok yang pendiam membuat Iyan kelihatan beda di mata Gita. Padahal ya sama aja, sebenarnya. Laki-laki, potongan rambut cepak, gaya kasual, dan cuek. Ya, kalau difilmkan miriplah sama Rangga di Ada Apa Dengan Cinta yang heboh banget itu. Iyan suka banget sama fotografi--yang nggak Gita pahami sama sekali. Kemana-mana, dia suka bawa kamera. Nggak tahu motret siapa, yang penting ada kamera gelantungan di lehernya. Gita kadang suka sebel kalau sudah begitu. Soalnya dia jadi dicuekin. Iyan yang udah cuek, makin cuek gara-gara ada kamera.

Gita dan Iyan bertemu di student centre kampus. Saat itu mereka sedang mengerjakan tugas kuliah sampai Gita menyenggol monopod Iyan yang tergeletak di tepi meja. Jatuh dan menimbulkan bunyi keras. Gita meringis minta maaf.

Mereka kembali bertemu saat Gita jalan terburu-buru menuju Gramedia Convention untuk melihat konser Kahitna. Sementara Iyan menuju toko buku seorang diri. Gita beneran baru tahu kalau Iyan ternyata juga suka baca buku. Kisah kasih mereka nggak pernah jelas. Gita yang suka ngarep Iyan, nggak mendapat sambutan baik. Iyan lempeng. Pernah, Gita dongkol berat dan misuh-misuh sambil bilang kalau Iyan homo. Tapi dasar lempeng dan nggak ngeh sama maksud Gita, cerita mereka ngambang. Gita menyimpulkan, dia cinta sendiri. Tapi kalau dibandingkan dengan Rio, kisahnya dengan Iyan jauh lebih berwarna. Mereka pernah jalan berdua ke konser musik klasik, terus jauhan. Jalan bareng-bareng teman, terus pura-pura nggak pernah kenal. Begitu terus. Pokoknya Iyan nggak asik tapi suka bikin jantungan.

"Suddenly I miss you..."Gita mendesis pelan. Wajahnya kusut. Mestinya dia semangat pagi ini. Tapi semua berubah hanya gara-gara mimpi.
***

"Ya, aku tahu, itu bukan mimpi biasa," Tiar, teman sebelah kubikel Gita berkata diplomatis. Sebelah tangannya bertumpu pada meja. Jari telunjuk dan jempolnya menempel ke dagu membentuk huruf V.

"Betul. Nggak ada yang lebih menyakitkan dibanding mimpiin mantan, masa lalu. Apalagi kalau mimpi mantan calon pacar. Perih banget," Tiar berkata lagi. Gayanya yang pede banget membuat Gita gerah, sebenarnya. Tapi apa daya dia butuh tempat curhat.

Gita menggerakkan mouse komputer malas. Bibirnya manyun.

Tiba-tiba Tiar menjentikkan telunjuk ke udara. "Aha!" serunya kemudian. Suaranya melengking mengagetkan Gita yang ada di sisinya. Sontak Gita melotot tajam.

"Bisa nggak pakai acara ngagetin, nggak? Kaget, dudul!" Gita melempar pen yang langsung ditangkis Tiar.

Tiar sontak berdiri. "Filosofinya aku tahu. Kayaknya, kamu lari dalam mimpi itu sebuah pertanda," wajahnya berubah serius.

Bibir Gita mengerucut, mencibir. "Cih! Lagaknya."

Ini kali kesekian Gita diramal Tiar yang--sok tau--sok diplomatis. Gayanya seratus persen meyakinkan sekaligus menyebalkan. Sejujurnya, dia sudah ampun-ampun dengan gaya Tiar. Tapi bagaimana lagi? Cuma Tiar sahabat terbaiknya. Jadi dia maklum saja.

Pernah satu saat, dia dengan problem yang sama bercerita ke Tiar. Jawabannya panjang berkali-kali lipat. Padahal intinya seiprit. Hanya, urusan menakar hati selalu rumit. Nikmati saja prosesnya. Gita pusing.

Tiar masih memasang wajah serius. Tangannya menyentuh lengan gadis tomboy berparas ayu. "Ya, memang itu nggak sepenuhnya betul, Ta. Tapi, alangkah baiknya kalau bersiap-siap. Daripada jatuh dua kali, kan?"

Ruangan kantor terasa senyap. Gita diam.

"Ya, siapa yang tahu, lari dalam mimpi pertanda diminta move on dari kenyataan? Your heart has stolen."

Nggak pernah ada ceritanya Gita nggak paham dengan fakta itu. Her heart has stolen. Always. Again and again.
***

Hari yang berat. Untung saja dia bisa menyelesaikannya dengan sedikit baik.

Gita mendengus menutup pagar rumah. Motornya sudah masuk lebih dulu. Urusan mimpi masa lalu tidak juga berlalu di penghujung harinya. Iyan masih berkeliling dalam pikirannya. Kepalanya pening. Semakin pening saat lembaran bercorak emas bersitatap dengan matanya. Urusan takar menakar hati tidak pernah mudah. Semakin kencang berlari, semakin cepat terkejar.
***

Comments

Popular posts from this blog

Pengobatan Anak Alergi: Skin Prick Test dan Imunoterapi

Pengalaman Menginap di Bandara Ngurah Rai Bali

Makanan Khas Negara ASEAN Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan