Travel Writer VS Jurnalis
Saya menyukai dunia kepenulisan sejak kecil. Selain karena
mengenal buku cerita sejak dini, mungkin bakat suka membaca dari ayah dan menulis
ibu menurun. Belakangan, kemampuan menulis saya diuji ketika diterima menjadi copywriter
di salah satu portal media terkenal di Indonesia dan kini sebagai jurnalis di televisi
lokal Jawa Timur.
Kemampuan menulis saya masih selalu under reconstruction. Itulah sebabnya, saya memilih untuk mengikuti
workshop travel writing, fotografi, dan sosial media yang diadakan oleh
Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Batu, 3-4 September ini. Saya tertarik
dengan isi materi yang ditawarkan. Terlebih, pematerinya keren-keren. Ada Mas
Setiyadi Darmawan (Fotografer), Barry Kusuma (Travel Foto Blogger), dan Himawan
(Travel Writer).
Semua sesi menarik. Sangat menarik. Tapi, saya terkesan
dengan materi yang ditawarkan oleh Mas Him. Yakni, how to be a great travel
writer? Sampai saat ini, belum ada definisi lain yang bisa menerjemahkan arti
travel writer selain, penulis perjalanan yang bukan hanya menulis. Tapi juga
merasakan, mendengar, melihat, dan mengalami.
Dalam materi yang Mas Him sampaikan, seorang travel writer
sangat berbeda dengan jurnalis. Mulai dari gaya bahasa yang dituliskan,
pendekatan saat wawancara, materi obrolan, pengalaman, bahkan semuanya dianggap
berbeda. Saya seorang amateur journalist pun writer. Saya pernah merasakan keduanya.
Apa betul perbedaannya seekstrem itu?
Seorang travel writer merupakan pejalan sejati. Dia dilarang
menulis jika tidak merasakan, mengalami, mendengar, melihat, dan berada di
dalamnya. Materi yang ditulis adalah apa yang betul-betul dia alami sendiri. Bukan
dari sekadar menyadur artikel bebas yang kemudian ditulis ulang dengan gaya
bahasa berbeda. Bukan itu.
Materi penulisan travel writer pun bukan berupa hard/
straight news maupun features. Tapi justru semi features yang bersifat
informatif dengan gaya bahasa mudah dicerna, ringan, dan berkesan. Penulisan materinya
harus disertai dengan wawancara mendalam layaknya indepth news.
Selama ini, saya mengenal kaidah penulisan 5W1H, yang meski
tidak semua unsur masuk dalam satu artikel, namun harus mencakup unsur
tersebut. Di sini, menurut Mas Him, unsur 5W1H tidak terlalu diperlukan. Karena
artikel wisata bersifat informatif namun ringan, jadi beberapa unsur yang ada tidak
harus digunakan.
Gaya bahasa penulisan artikel juga tergantung siapapun
penulisnya. Penulis bisa menggunakan gaya bahasa seperti menceritakan kembali
pengalaman perjalanan, menuliskan dalam bentuk poin atau tips numeral, atau tulisan
bersifat informatif semisal info wisata, akomodasi, how to get there, dan kuliner.
Semuanya bergantung penulis masing-masing. Karena utamanya adalah merasakan apa
yang dituliskan sendiri.
Yang terakhir, poin penting dari menulis cerita perjalanan
adalah harus jujur. Saya pikir ini mutlak bagi seorang travel writer maupun
jurnalis. Karena berita yang jujur dan informatif adalah hal yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Penulis atau jurnalis dilarang keras membohongi publik,
kecuali penulis fiksi--yang murni menggunakan imajinasi sebagai materi.
Sebenarnya, travel writer dan jurnalis tidak begitu mencolok
perbedaannya, kalau menurut saya. Sebab, penulis yang mungkin juga seorang
jurnalis pasti tahu bagaimana dia harus menulis. Mulai dari tahu apa yang
ditulis, gaya bahasa, siapa sasaran pembacanya, dan lain sebagainya.
Memang, dalam junalistik akan ada aturan baku bagaimana
harus mencari berita, dekat dengan narasumber, lalu menuliskan dengan baik. Ada
sekat yang harus dipatuhi oleh seorang jurnalis. Yaitu, menghormati privasi narasumber
yang enggan menceritakan sesuatu secara detail atau bahkan menolaknya. Berbeda dengan
travel writer yang justru harus membaur, mengakrabkan diri layaknya teman
sejati. Dengan memposisikan diri sebagai teman, narasumber akan lebih welcome
menyambut kita.
Secara umum, jurnalis dan travel writer adalah sama. Sebab, jurnalis
juga dituntut demikian. Tapi akan berbeda jika memperkenalkan diri sebagai
jurnalis dan travel writer. Keduanya pernah saya alami. Namun, kedalaman materi
yang didapat, banyak sedikit pembaca yang menanti, baik sebagai jurnalis maupun travel writer, itu tergantung
bagaimana cara penulis memposisikan diri, bersikap di depan narasumber, dan cerdik
memancing jawaban.
Comments