Reporter Mengajar di Kelas Inspirasi
Relawan pengajar, fotografer, dan fasilitator Kelas Inspirasi Magetan
Menjadi bagian dari dunia pendidikan sudah pernah saya
alami, bahkan hingga kini. Entah sebagai siswa, guru, atau reporter pos
pendidikan. Ada banyak hal yang ingin saya komparasi. Mulai dari metode
pengajaran efektif, medan menuju tempat belajar, guru pengajar, hingga
fasilitas penunjang pendidikan di antarsekolah.
Selama sekolah, saya banyak menghabiskan waktu di Surabaya
dan tiga tahun di Singosari Kabupaten Malang. Selebihnya, hanya informasi
melalui surat kabar dan televisi yang bisa menggambarkan kondisi menyedihkan
pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia. Menyedihkan? Ya, tentu saja. Ada
banyak hal yang perlu dikupas tuntas jika mulai bicara pendidikan. Dan itu
tidak sebentar. Tapi biarlah perubahan kecil dunia pendidikan dimulai dari saya
sendiri.
Sebutlah Kelas Inspirasi. Sudah dua tahun Kelas Inspirasi
diselenggarakan. Namun, masih sangat banyak orang tidak tahu menahu tentang
kegiatan ini. Kelas Inspirasi (anggaplah sebagai) turunan dari Indonesia
Mengajar, gerakan mengajar setahun di tempat dengan akses terbatas. Gerakan ini
didominasi oleh mahasiswa baru lulus dengan IPK sebagai hard skill fantastis
dan kemampuan organisasi sebagai soft skill mumpuni. Bedanya, Kelas Inspirasi
hanya mengajar satu hari saja oleh pekerja dengan minimal dua tahun bekerja di
bidangnya. Misalnya saya, sebagai reporter televisi lokal Jawa Timur, JTV.
Relawan pengajar Kelas Inspirasi Magetan
Saya bergabung Kelas Inspirasi pada 29 September lalu.
Kabupaten Magetan menjadi pilihan. Kontur pegunungan, tidak ada tempat wisata
menarik, supersepi, daerah dengan UMK paling rendah di Jatim, dan belum pernah
mampir, menguatkan saya untuk memilih dan membandingkan secara langsung.
Jalanan menuju SDN Sukowidi 2, dekat Gunung Lawu
Sebelum masuk sekolah, siswa membersihkan halaman sekolah
Di SDN Sukowidi 2, Panekan, Magetan atau pos ketiga Gunung
Lawu saya ditempatkan. Berbagai persiapan seadanya-sebisanya saya lakukan.
Mulai dari menyiapkan peraga berupa televisi dan microphone berbahan sterofoam,
materi bernyanyi, dan ice breaking, juga doorprize berupa majalah dan buku. Doorprize
sepenuhnya disumbang oleh adik saya yang masih berusia sembilan tahun, Tita.
Dia mau menyumbang buku setelah saya menceritakan kondisi sekilas dan foto
tentang siswa SD yang akan saya ajar. Merasa iba pada teman sebaya, Tita
menyumbangkan buku dan majalah yang menjadi benda favoritnya:’). Sementara
televisi dan microphone dibuat untuk memudahkan cerita tentang profesi saya.
Peraga sebisanya. Televisi dan microphone
Doorprize dari Tita buat teman sebayanya
Saat mengajar, kelas dibagi menjadi dua, masing-masing 45
menit. Kelas 1-3 dan kelas 4-6. Metode pengajaran antarkelas dibuat berbeda. Di
kelas dengan usia siswa lebih kecil, 7-9 tahun, saya lebih banyak bernyanyi,
bertepuk tangan, ice breaking, dan sedikit memaparkan materi. Materi yang saya
ajarkan di kelas hanya membandingkan antara film kartun dan berita. Saya juga
memberikan candu bahwa menjadi reporter bisa keliling Indonesia, bahkan dunia.
Peraga televisi dan microphone serta handycam dibawa serta untuk meyakinkan
bahwa pekerjaan saya menarik :p. Doorprize saya berikan bagi siswa yang mau
maju dan menceritakan cita-citanya atau mau menerangkan kembali tentang profesi
reporter.
Berpindah ke kelas
yang lebih tinggi membuat saya lebih nyaman. Sebabnya, hampir semua murid sama
konyol dengan Tita. Jadi, saya menghadapi mereka seperti berbicara dengan adik
bungsu. Menyenangkan!
Materi mengajar juga saya buat sama sederhana dengan
sedikit modifikasi. Yakni mendeskripsikan pekerjaan reporter melalui tanya
jawab, membandingkan berita dengan film kartun, lalu memeragakan layaknya
reporter di depan kelas, serta mengajarkan nilai positif saat bekerja nantinya.
Saya terinspirasi di kelas ini. Jika saya pernah grogi saat bicara di depan
kamera, maka anak-anak ini tidak. Mereka dengan santai dan cengengesan
melaporkan kebakaran dan banjir bandang lengkap dengan wawancara teman sebagai
narasumber. Saya tidak banyak bernyanyi di kelas ini. Hanya lebih sering
melakukan tepuk diam untuk mendiamkan kelas jika sedikit gaduh sementara saya
harus berbicara. Mengakhiri kelas, saya
berikan ice breaking yang diajarkan fasilitator (panitia Kelas Inspirasi
Magetan) saat briefing.
Di kedua kelas, saya awali dengan pola reportase. Saya masuk seolah-olah sedang melaporkan kejadian di kelas dengan siswa pandai. Dengan pola seperti itu, siswa bisa langsung fokus pada saya. Kalau pun tidak paham, pasti cuma melihat tapi memperhatikan :)).
Mengendalikan kelas
Belajar reportase
Siswa sebagai narasumber
Selesai materi dan istirahat, siswa diajak menuliskan
harapan di kain putih. Harapan ditulis dengan menempelkan tangan menggunakan
cat warna-warni lalu menuliskan nama dan cita-citanya. Tidak hanya siswa,
fasilitator, relawan pengajar, dan fotografer juga ikut menuliskan
cita-citanya. Bukan tanpa alasan, menuliskan cita-cita sejak dini bisa membuat
siswa merasa terpacu untuk meraihnya. Saya hanya satu hari berinteraksi dengan
mereka. Bisa saja apa yang saya sampaikan tidak sepenuhnya diserap. Mereka
memang tidak ada yang ingin jadi reporter, tapi semoga apa yang saya sampaikan
tersimpan—baik sedikit ataupun banyak—dan memberikan semangat tersendiri agar
mereka mau belajar lebih tinggi. Karena penutup ilmu hanya berada di liang
lahat.
Menulis cita-cita di tongkat impian
Bersama guru di SDN Sukowidi 2, Panekan, Magetan
Relawan pengajar, fotografer, dan fasilitator SDN Sukowidi 2, Panekan, Magetan
Saya bersama Taufik, murid yang persis dengan Tita
Comments