Setangkup Cemburu
Salah satu sudut kamar tidur dini hari itu cukup kacau. Seorang wanita sedang mencari selembar kertas yang menurutnya sudah disiapkan di malam sebelumnya. Dari satu laci ke laci lain. Lemari satu ke lemari lain. Tas jinjing, tas punggung, tas selempang, dompet. Nihil. Wanita itu mengaduh keras sementara jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi.
Dini hari itu, bukan dini hari pertama bagi Dita untuk bangun dan sibuk dengan kegiatan. Sebabnya, setiap dini hari sebelumnya, dia hampir selalu bangun dan gedubrakan. Entah mengerjakan tugas kuliah atau sekadar belajar untuk materi presentasi. Ya, kehidupan Dita berubah sejak dia memutuskan untuk melanjutkan sekolah. Tepatnya, bekerja sambil kuliah. Itulah alasan kenapa dia ngotot sekali untuk liburan ke Kepulauan Bangka Belitung. Bahkan mengaturnya tiga bulan sebelumnya. Dia terlampau stres dengan segudang tugas kuliah dan pekerjaan yang sama nggak manusiawi. Sama. Persis.
"Aduh, dimana tiketnya?" Dita menggosok rambutnya yang masih setengah basah. Bete akut. Tiket pesawat Jakarta-Tanjung Pandan hilang. Hilang? Kok bisa?
Dita membuka-buka kembali backpack siap perginya. Dibuka, ditata ulang, ditutup. Dibuka lagi, sambil misuh-misuh stres, ditutup lagi. Nihil. Tiketnya enggak ada.
Aku udah otw. Kamu siap-siap ya. Di depan gang.
Dita mendengus. Masa iya dia harus jujur sama Jaka kalau tiketnya hilang? Nggak mungkin. Pasti didamprat. Atau minimal dibentak, diceramahin panjang lebar, lalu nggak disapa seminggu. Hiiih...
Tiket aku hilang tauuu. Kok kamu udah jemput aja.
Dita membalas sambil kalut. Akhirnya jujur juga.
***
"Bodoh! Apa fungsinya coba semua penerbangan aku yang urus, hah? Ya antisipasi kejadian kayak gini. Kayak kamu lagi ngacak-ngacak backpack, misuh-misuh pagi," suara Jaka tertahan. Kesal. Berkali-kali dia mengingatkan Dita agar tidak ceroboh. Enggak tahunya kejadian juga. Di waktu genting pula.
Wanita di sebelahnya hanya manyun. Mulutnya mengerucut. "Ck! Berisik, Jak! Kenapa kamu enggak maklum aja, sih? Tahu aku pelupa masih aja diceramahin. Ini masih jam tiga pagi, tau." Dita membuang muka ke luar jendela. Masih pagi. Jalanan Surabaya masih lengang. Sepi. Sekali dua saja taksi mereka bersapa dan bersisian dengan pengendara motor membawa sayur mayur. Pedagang di pasar, pasti.
"Jam empat. Kamu pikir dari kamu cari tiket sampai sekarang, jamnya enggak jalan?"
Yaelah. Jaka belum puas berdebat. Dita tahu kok, dia salah. Tapi, kan, nggak begitu juga nyalahin orang. Masa iya sepanjang perjalanan yang dibahas tiket hilang. Kenapa nggak bahas rencana perjalanan di Belitung coba?
Ya, itulah hebatnya Jaka. Berani berdebat panjang dan enggak penting sama Dita. Padahal seumur-umur, justru Dita yang biasa dan dikenal lebih nggak penting kalau ngajak berdebat. Ternyata Jaka lebih. Lebih nggak penting.
Tapi Dita sayang. Sayang banget.
Halah, kalau bahas sayang memang susah. Jadi apa-apa keliatan benar.
"Teman-teman udah sampai mana, Jak?" Dita bertanya, mengalihkan.
Perjalanan Surabaya-Jakarta-Tanjung Pandan kali ini mereka tidak hanya berdua. Ada Rani, Yuda, Adit, dan Chika. Keempatnya saling kenal nggak sengaja. Rani teman Jaka. Yuda teman Dita. Adit teman Yuda. Chika teman Rani. Ya begitu. Saling kenalan. Mereka juga nggak berangkat bareng. Meeting pointnya di Cengkareng. Rani dan Yuda berangkat dari Jogjakarta. Sementara Adit dari Bandung dan Chika dari Bogor.
"Empat hari tiga malam. Nggak sabar ya, Jak? Ntar aku mau diving. Nggak snorkling lagi." Dita tertawa. Nggak menunggu jawaban Jaka. Terus saja berceloteh.
"Diving, Jak! Keren, ya?" ulangnya.
Pantas Dita tertawa. Seminggu lalu dia sengaja ikut kelas diving komunitas diving Surabaya. Biayanya 125.000 selama tujuh jam di kolam renang salah satu hotel bintang empat di Kota Pahlawan. Bayangkan, tujuh jam belajar diving dalam sehari demi bisa tahu keindahan bawah laut Belitung. Apa coba kalau bukan niat?
"Iya. Niat. Banget. Dibelain. Keren." Jaka, dengan wajah innocent hanya menjawab singkat. Lalu wajahnya dibuang ke luar jendela. Mengulum senyum.
"Kalau enggak ikhlas gitu aku jadi nggak bangga, deh." Dita mencubit pinggang Jaka. Gemas. Laki-laki di sebelahnya tertawa kesakitan.
Dasar perasaan. Bisa banget bikin orang kegirangan.
***
Maskapai penerbangan nomor satu di Indonesia sudah siap. Penumpang tujuan H.A.S Hanandjoeddin satu persatu mulai naik. Ini pengalaman pertama Dita naik maskapai yang katanya paling oke di Indonesia. Kembang kempis hidungnya merasakan sensasinya. Secara, maskapai penerbangan paling keren dan dikenal mahal. Yah, meskipun dia dan teman-temannya ada di kelas ekonomi. Yang penting judulnya: naik maskapai penerbangan paling bergengsi. Gimana nggak keren? Kerenlah.
Wanita-wanita cantik berjejer menyambut penumpang. Sementara Dita dan Jaka masih terlibat percakapan seru yang membuatnya abai dengan sekitar. Sesekali tangannya bergandengan mirip pengantin baru. Ceileh, padahal pacar juga bukan. Baru gebetan.
Satu, dua, tiga, sampai anak tangga terakhir keduanya masih asyik bercakap. Nggak ada peka-pekanya dengan sekitar. Sampai yang menyapa bukan lagi wanita berparas cantik. Tapi lelaki berwajah tampan. Tampan sekali. Saking tampannya, sampai membuat Dita seketika melepas genggaman tangan Jaka.
"Hei, kamu?"
Namanya Althaf. Dia mantan terakhir Dita. Tiga tahun mereka berpacaran sampai memutuskan untuk menikah. Sayang, masih nyaris. Althaf terlalu sibuk dengan keluarganya. Dengan ibunya, khususnya. Mimpi-mimpi ibunya untuk menjodohkan dia dengan teman masa kecilnya. Sounds weird. Itu kenangan paling gila dan menyakitkan bagi Dita. Ya, gimana nggak? Mereka nyaris menikah. Sudah saling berjanji sehidup-semati harus berpisah hanya karena... perjodohan. Siti Nurhaliza aja enggak begitu.
Waktu itu Dita hampir gila rasanya. Pekerjaannya terlantar. Dia jarang makan, cuma merenung. Dia jarang bergaul, cuma menangis. Lalu sekarang dia bertemu lagi dengannya. Dengan lelaki itu. Lelaki yang di jemari manis tangan kirinya sudah melingkar cincin keperakan.
Althaf nggak bisa menyembunyikan raut terkejut di wajahnya. Antara kaget juga senang. "Andita..." tangannya terjulur berniat bersalaman.
Di depannya, Dita susah payah tersenyum. Lalu membawa jemari Jaka kembali di genggamannya. Meremasnya. "Ini Jaka, Al. The next you."
***
Siapapun nggak akan pernah mengira kejadian berapa jam, menit, bahkan detik berikutnya. Dengan siapa bertemu, apa yang terjadi, dan ada pengaruh apa di baliknya. Siapapun nggak akan tahu. Termasuk Dita.
Dia nggak akan tahu, ada dua hati memanas karenanya. Satu dari masa lalu. Satu dari masanya kini.
Dita nggak tahu, bagaimana Jaka menjaga hati untuknya. Dita nggak tahu, bagaimana Althaf setengah mati menahan rindu terpendam dan diluapkan hampa karena statusnya telah berganti. Lalu saat rindu itu ingin diucapkan, ada sosok lain di depannya. Lelaki lain di dekat kekasih tiga tahunnya. Penggantinya. Dita nggak tahu, jika sikapnya membuat keduanya saling menahan amuk cemburu. Dita nggak akan pernah tahu, jika caranya melukai keduanya. Dita nggak akan pernah mau tahu itu. Karena menurutnya, yang terpenting saat itu adalah bagaimana menyembuhkan hati yang pernah pecah kembali utuh. Tanpa memedulikan siapa Jaka. Tanpa pernah peduli dengan rekayasa buatannya.
Dita nggak peduli dengan setangkup rasa cemburu bukan lagi memanas, tapi perlahan membeku. Di sana, di sudut hati lelaki bernama Jaka.
Comments