Medio Rasa
Sibuk nggak? Atau masih capek?
Aku mengeja pesan instan yang masuk ke ponsel di tengah rapat. Rapat sore ini terbilang menjemukan. Bertemu klien dari media dan perusahaan tempatku bekerja mengkalkulasi keuntungan yang disampaikan. Bosan. Marketing media cetak itu ngotot menghitung keuntungan besar yang akan perusahaan kami dapat jika deal dengan penawaran kerja sama yang diajukan.
Ck. Dia lagi. Ada apalagi?
Aku mengeluh dalam hati. Tanganku menggenggam ponsel. Berhitung. Sementara bibirku merapal mantra sakti menenangkan hati.
Bisa bertemu?
Pesan berikutnya sampai tanpa sempat kubalas terlebih dahulu. Semakin membuat hatiku tak tenang. Pikiranku menerawang cuplikan-cuplikan kejadian masa lalu dengan laki-laki yang namanya seharusnya tak lagi ada dalam kehidupanku. Sudah cukup menyakitkan mengingat masa itu. Tetapi, untuk apa dia datang lagi? Masih kurang menyakitkankah sikapnya melukai hatiku?
Ada apa?
Pelan aku mengetik pesan balasan. Lalu kuhapus. Ada jengah menyusup hati. Masa lalu itu membayang-bayang. Sementara genggaman tangan pada ponsel semakin erat, ragu, pandangan mataku berputar, melihat satu-persatu peserta rapat. Nyaris klir. Terserah. Untuk saat ini aku benar-benar buntu ide. Menyumbangkan suara pun malas. Bagaimanapun keputusan akhir dari penawaran kerja sama ini, aku angkat tangan. Benar-benar penat.
Jemariku menari di layar ponsel. Menyusun satu persatu kata.
Ada apalagi? Waktuku terbatas.
Sengaja. Kalau tidak begitu aku yakin urusan hati ini akan semakin runyam. Serunyam satu-dua tahun lalu menghapus namanya dari ingatanku.
Aku menghela napas, lelah. Pesanku terbaca.
***
"Ibu," dia membuka kalimatnya.
Sial. Aku paling benci dengan skenario kali ini. Apalagi ada satu nama yang hampir selalu membuat jantungku berdetak disebut. Bagus. Dia cerdas memakai nama itu.
Aku menggumam dalam hati. Membisikkan kalimat penenang agar tak tampak risau. Padahal jangan ditanya. Bukan hanya hati, pikiranku nyaris lumpuh.
Laki-laki itu menatapku serius. Aku masih terdiam menenangkan.
"Ibu sakit."
Ide bagus! Begitu saja lebih baik. Teruskan saja kalimat persuasif itu. Buat aku terus merasa bersalah dengan posisiku saat ini. Posisi yang sejujurnya memang tidak pernah dikehendaki.
"Ibu..." aku mencecap kata. "Ada apa?"
***
Ini betul-betul di luar dugaanku. Setelah sekian lama dia menghilang, sore ini dia datang lagi. Mengajak bertemu dan memberi kabar tak masuk akal. Aku muak, sejujurnya. Muak sejadi-jadinya. Membayangkan sikap acuhnya yang setiap saat ditunjukkan. Tetapi kembali asuh saat membutuhkan. Tanpa pernah peduli dengan kabar hatiku. Memang, aku butuh kepastian laijnya wanita lain. Wajar jika aku marah begitu dia hanya mendekati kala butuh. Katakan, wanita mana yang senang dengan perilaku lelaki demikian? Nyaris tidak pernah ada.
"Kenapa kamu selalu berpikir rekayasa?"
Lorong rumah sakit malam ini lengang. Beberapa lampunya mati. Hanya ketukan sepatu saling beradu terdengar. Tidak ada perawat menjaga di setiap blok kelas. Tumben.
"Kenapa aku harus berpikir serius?" Aku membantah. Berharap tak masuk perangkapnya lagi.
"Kenapa tidak?"
Aku tersenyum sinis. "Kenapa harus?"
Hening. Secepatnya kami terdiam. Saling mencerna kalimat perkalimat.
"Kali ini aku serius, Dilla."
Kudengar kami saling mendekap jantung. Merasakan deru napas beradu. Sementara waktu membawa kami bertautan menghantarkan impuls ke dalam sel syaraf. Menyadari hal yang tak seharusnya dielak.
"Ibu butuh kita."
Comments